Oleh : Riza Maries
(Praktisi Pendidikan)
Harga mie instant di proyeksi akan naik tiga kali lipat. Padahal mi instant merupakan sumbangan bahan pangan kelima paling besar terhadap penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Meski isu kenaikan tiga kali lipat itu telah dibantah oleh PT. Indomie, namun pada tanggal 16 Agustus lalu kenaikan harga mi instant mulai dirasakan masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya. Harga mi instan yang sebelumnya Rp 2.500,- perbungkus menjadi Rp 3.500,- . Kondisi ini membuat masyarakat mengeluh, khususnya pedagang mi rebus dan penikmat mi instan. (Pikiran Rakyat, 16/08/22).
Terhambatnya pasokan gandum akibat konflik geopolitik Ukraina-Rusia diduga menjadi alasan penyebab kenaikan harga terigu yang berefek pada kenaikan harga produk turunannya, mi instan salah satunya. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia atau Aptindo, harga gandum per Agustus 2022 naik 76% dibanding awal 2021. Namun, harga tepung terigu baru naik 32% dalam periode yang sama.
Sementara itu pemerintah mengatakan bahwa ditengah ancaman krisis pangan di tingkat global, mereka terus berkomitmen untuk meningkatkan produksi nasional dan menjamin ketercukupan pangan di dalam negeri sekaligus memberi kontribusi bagi kondisi pangan internasional. Hal ini dikatakan oleh presiden ketika Indonesia mendapat penghargaan dari Lembaga Internasional, Pusat Penelitian Beras Dunia atau Internasional Rise Reaserch Institute (IRRI) pada 14 Agustus lalu di Istana Kepresidenan. Kala itu, Indonesia diberi penghargaan sebagai negara yang 3 tahun terakhir mampu mencapai swasembada beras secara berturut-turut.
Simpang siur kenaikan harga mi instant ini cukup meresahkan publik, dan disinyalir akan mengganggu kemaslahatan dan pemenuhan pangan masyarakat. Hal tersebut bisa saja terjadi, meski disisi lain pemerintah mengunggulkan prestasi swasembada beras. Mi instan yang dinilai cukup murah sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Indonesia, khususnya kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, kenaikan harga mi instan tentu akan berdampak pada seluruh kalangan masyarakat. Seharusnya peristiwa ini menjadi pendorong kebijakan menghasilkan swasembada pangan dengan berbagai variasi bahannya. Pemerintah tidak bisa membiarkan swasembada pada makanan pokok saja sedangkan bahan pangan lainnya bergantung pada impor.
Kelangkaan pangan muncul akibat minimnya ketersediaan bahan pangan dipasaran. Ketika stok pangan menipis, maka harganya akan melambung tinggi. Saat itu biasanya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan bahan pangan yang beredar di pasaran. Ketiadaan upaya untuk swasembada berbagai jenis pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, menjadikan negeri ini bergantung pada impor. Potensi negeri untuk mewujudkan kemandirian pangan, malah diabaikan.
Pangan adalah masalah yang sangat krusial, karena itu negara seharusnya tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara seharusnya memberi subsidi besar bagi para petani agar mereka bisa memproduksi pangan dengan biaya ringan dan memperoleh keuntungan yang besar. Rasulullah saw pernah mencontohkan bagaimana politik agraria yang berkeadilan, yaitu mengklasifikasikan kepemilikan harta dan menghidupkan tanah mati untuk dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat.
Politik agraria tersebut senantiasa mengacu pada peningkatan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil. Adapun implementasi nya bisa dikategorikan menjadi dua, yakni ;
Pertama dalam produksi pertanian. Dalam sistem Islam, negara akan menghentikan impor dan memberdayakan pertanian. Negara akan menerapkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Instensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakannya dengan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru dikalangan para petani, serta memberikan sarana prasarana, juga bahan penunjangnya. Adapun ekstensifikasi dapat dilakukan dengan membuka lahan baru dan menghidupkan tanah mati, setiap pemilik tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya.
Kedua dalam distribusi, negara akan menerapkan kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan dan permainan harga di pasar untuk menjaga stabilitas harga pangan. Kebijakan distribusi pangan dilakukan dengan melihat setiap kebutuhan pangan per kepala. Dengan begitu maka akan diketahui berapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi negara untuk setiap keluarga.
Kiranya dua kategori di atas cukup mewakili gambaran tentang bagaimana kelak sistem Islam akan menyelesaikan masalah terkait dengan pangan ini. Dan yang luar biasanya, Islam tidak hanya bisa selesaikan masalah kebutuhan pangan masyarakat, namun juga akan menciptakan kemandirian pangan di tengah-tengah masyarakat.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini