Oleh: Zamzama Annafisa
Sobat tahu ‘kan ya Istilah hijab atau jilbab? Istilah tersebut kini bermetamorfosis dari makna tabir (penutup) menjadi pakaian penutup aurat bagi perempuan muslim. Semakin banyaknya komunitas pemakai hijab alias hijabers atau jilbabers semakin banyak pula fesyen hijab di masyarakat. Satu hingga dua dekade terakhir nih, fenomena jilbab menjadi pemandangan yang umum di ruang publik. Beatutifull scenery banget gak sih, Sob?
Hijab di era millenials menjadi tren busana yang kian digandrungi terlebih oleh para muslimah. Beragam jenis fesyen di berbagai event hampir selalu menjadikan style ‘hijab syar’I’ sebagai pilihan. Mulai dari forum majelis taklim, seragam RT, seragam arisan, sampai seragam baris-berbaris, Sob. Bahkan, hijab juga dapat dikenakan berbagai usia, dari bayi hingga lanjut usia. Wow, amazing!
Hari ini, jilbab tidak hanya menjadi bagian dari tuntunan agama tentang cara berbusana tetapi juga trend fesyen, Sob. Ketika bulan Ramadhan misalnya, tampak fenomena para publik figure "mendadak" memakai hijab karena hijab dianggap sebagai identitas muslimah. Satu sisi hijab sebagai kewajiban bagi muslimah sedangkan di sisi yang lainnya sebagai style fesyen kekinian.
Tetapi eh tetapi, Sob, ada satu kasus baru-baru ini yang membuat publik geli ketika pembiasaan menutup aurat dengan jilbab di sebuah sekolah konon memicu depresi seorang siswi. Kok bisa ya, Sob, depresi di tengah maraknya trend berbusana syar’i? Terlebih lagi, dia adalah seorang muslimah. Sungguh mengganggu logika, ‘kan, Sob? Buntutnya, kasus ini lantas dianggap sebagai ‘bullying’ oleh pihak sekolah kepada siswinya. Sampai-sampai nih, Sob, Gubernur turun gunung untuk menyelesaikan. Tapi endingnya itu yang membuat publik makin terheran-heran, kenapa justru tenaga pendidik yang diganjar dengan dinonaktifkan? Publik pun berdecak bingung sambil giginya gemertak menyaksikan ‘ruwetnya’ aturan soal jilbab ini, Sob.
Kasus ini menunjukkan kepada kita betapa mirisnya ‘aturan main’ soal pakaian takwa di negeri mayoritas muslim, Sob. Dan ini adalah saat yang tepat untuk kita wake up dan melek situasi serta membaca peristiwa yang terjadi bukan dengan kaca mata kuda melainkan kaca mata akidah. Kalau kita teropong, Sob, kontroversi panjang tentang penerapan aturan Islam bagi umat islam sendiri di Indonesia memang selalu gurih, apalagi kontroversi ini dibumbui dengan isu pelanggaran HAM, perundungan, dan dianggap intoleran. Media-media seolah tidak berkedip dari memberitakan bagaimana penerapan aturan Islam akan berujung pada intoleransi dan mengganggu hak asasi.
Tudingan berbagai pihak bahwa syariat Islam melanggar HAM dan intoleran perlu kita kaji dengan jernih. Standar HAM dan kategori intoleran sendiri yang selalu dipakai sebagai tolok ukur nyatanya bermakna ganda, Sob. Hal ini terbukti ketika kasus pelarangan jilbab terjadi di hampir seluruh sekolah di Bali pada 2014 silam. Pemerintah setempat beralasan untuk menjaga kearifan lokal dan menghormati agama mayoritas. Nyatanya, alasan yang sama tidak berlaku di tempat lain, seperti kasus jilbab padang dua tahun silam, atau kasus jilbab Jogja baru-baru ini.
Bila dicermati nih, Sob, derasnya narasi islamofobia berakar dari paham sekuler yang diadopsi di negeri ini. Komplikasi dan dilema yang timbul akibat penerapan syariat Islam bersumber pada subordinasi hukum syariat pada hukum-hukum sekuler hasil karya manusia seperti HAM dan demokrasi. Akibatnya, hukum HAM dan demokrasi selalu lebih tinggi daripada hukum syariat, Sob.
Di sisi lain, ini adalah teater opini murahan kaum pemuja kebebasan alias kaum liberal dan kaum pembenci Islam. Mereka lebih tanggap pada persoalan satu orang penolak bersegaram sopan dengan jilbab, tetapi mereka buta pada pelarangan massal jilbab di Bali dan di negeri-negeri Barat seperti Jerman dan Perancis, Sob. Mereka juga lebih tertarik menuntut hak kebebasan berekspresi, namun menutup mata dari ribuan lebih kasus kerusakan moral generasi akibat pergaulan bebas. Mereka lebih tergiur mengampanyekan bahwa aturan syariat mendiskriminasi, dibandingkan memikirkan solusi untuk jutaan nyawa muslim yang didiskriminasi di Uighur, Rohingya, Palestina, India, dll karena mempertahankan agamanya. Miris ya, Sob?!
Paranoidnya mereka terhadap syariat Islam telah memicu gerakan monsterisasi syariah yang dilakukan secara massif, terstruktur dan sistemis, baik lokal maupun internasional. Mereka terus berupaya untuk mengecam dan mencari-cari kesalahan pihak-pihak yang berpegang pada kemuliaan syariah Islam dan yang kontra terhadap sekularisme liberal yang nyata-nyata cacat logika dan implementasi, Sob. Wah wah wah, dunia terbolak-balik, kan Sob?!
Sementara itu, kita tidak boleh lupa sejarah, bahwa nusantara kita ini pernah berjaya ketika menerapkan Islam secara komprehensif alias islam kafah berbilang abad di bawah Kekhilafahan Islam, Sob. Sebagian ahli sejarah seperti diungkap dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menyebut bahwa abad ke-18 dan 19 adalah era golden age bagi Islam di Asia Tenggara. Berbagai dokumen tentang berhijabnya kaum muslimah tersimpan salah satunya di museum arsip Belanda, loh. Di dokumen itu ditemukan foto-foto muslimah Nusantara dengan hijabnya, Sob. Padahal era sebelum Islam, penduduk nusantara kala itu terutama wilayah Melayu, Jawa, dan Nusa Tenggara, hanya mengenakan penutup tubuh bagian bawah dengan pundak dan leher bahkan bagian dada terbuka. Namun, Islam datang membawa perubahan style berbusana yang visioner yaitu dengan menutup seluruh tubuh wanita, kecuali muka dan telapak tangan.
Penting dicatat nih, Sob, visi Islam dalam syari'at berbusana lebih dari sekadar kewajiban apalagi sekadar fesyen. Syariat berhijab diturunkan oleh Allah SWT sebagai bentuk perlindungan dan simbol kemuliaan bagi para wanita, Sob. Keren apa keren?
Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat,” (QS. Al-A’raf [7]: 26).
Dalam Islam itu, Sob, pakaian 'lahir' berfungsi sebagai sarana menopang 'batin'. Menutup aurat bukan asal menutup melainkan pakaian yang bisa menutupi warna kulit dan bentuk/lekuk tubuh. Oleh karenanya, Sob, hijab pun ada ketentuannya, yakni tidak transparan, tidak ketat dan tidak boleh 'tabarruj', yakni menarik perhatian, baik warna, corak maupun modelnya. sebab pakaian yang transparan dan ketat tidak akan melindungi aurat yang menjadi kehormatan. Pakaian pun menjadi disfungsi. Demikian pula pakaian yang sangat mencolok dan berlebihan desain dan warnanya, akan mengundang perhatian publik. Pamer kan jadinya, Sob?!
Padahal Allah SWT berfirman yang artinya “Dan hendaklah engkau tetap di rumahmu dan janganlah berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu,” (QS. Al-Ahzab [33]: 33). Allah SWT juga berfirman dalam surah yang lain: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya ..." (QS. An-Nuur [24]: 31).
Sebegitu rincinya Islam mengatur berpakaian bukan dalam rangka untuk menyulitkan kaum perempuan, Sob, akan tetapi justru memudahkan mereka untuk dikenal dan untuk melindungi kehormatan mereka agar mereka tidak diganggu. Begitulah yang Allah SWT firmankan, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Oleh karenanya, Sob, hijab syar'i adalah desain berbusana yang sangat visioner dan paling humanis dari banyak sisi, baik kesehatan, sosial, maupun ekonomi.Jika dibandingkan dengan busana abad pertengahan Eropa, Islam jauh mengungguli. Gaya busana wanita era Victoria bisa dibilang "dressed to kill", bukan sekedar bergaya busana yang lagi tren atau sesuai mode supaya orang terkesan, melainkan 'berbusana untuk membunuh', setidaknya membunuh si pemakai. Sejarah bahkan mencatat, busana crinoline memicu kematian lebih dari 3.000 wanita saat itu. Ini lebih tinggi dari level depresi. Ngeri apa ngeri, Sob?
Yuk, Sob, waktunya move on dan menyadari bahwa syariat hijab datang untuk semua kalangan, baik bangsawan maupun rakyat biasa baik muslimah maupun bukan sebab Islam bersifat rahmatan lil'alamin. Lebih jauh, hijab sebagai pakaian fisik menopang jiwa pemakainya agar selalu mengutamakan 'pakaian' takwa. Ketakwaan itulah yang akan menuntun seorang hamba pada keridhoan Allah SWT yang Maha Melindungi hambanya di manapun ia berada tanpa dipaksa. Wallahualam bissawwab.