Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap 13 tersangka teroris di Provinsi Aceh. Mereka berasal dari dua jaringan kelompok teror, Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). “Densus 88 Antiteror Polri melakukan penegakan hukum sebagai upaya pencegahan tindak pidana terorisme terhadap 2 kelompok terorisme, JI 11 orang dan JAD 2 orang,” kara Karo Penmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Jumat (detik.com,22/7/2022).
Beberapa teori mengatakan satu kebohongan diinformasikan sebagai kebenaran secara berulang, maka ia akan menjadi kebenaran. Teori ini rasanya cocok untuk kata terorisme yang entah faktanya ada atau tidak. Namun, kemunculannya selalu bisa diprediksi misal saat ada kasus yang menyerang pejabat, anak Rohis yang berpenampilan good looking, saat perayaan hari besar kaum Muslim, atau mereka yang mengaji di sepanjang Malioboro yang kalah mulia dengan lenggak-lenggok artis pinggiran Citayam Fashion Week atau ulama lurus yang ingin mencerdaskan umat.
Terutama menjelang tahun politik, penangkapan teroris menjadi isu yang mencuat menggiring persepsi bahwa kelompok islam yang ingin menegakkan syariat bukanlah pilihan bagi publik terhadap kepemimpinan politik di kontestasi tahun 2004.
Mereka mengusung nama-nama lama yang track recordnya tak begitu bagus namun diopinikan mereka bakal membawa perubahan. Bagaimana dengan seorang pemimpin yang baru saja menikahkan anak gadisnya namun khlayak ramai bisa melihat uraian rambut berhias mahkota, pertanda tidak menutup aurat. Jika sebagai kepala keluarga beliau tidak bisa memimpin keluarganya, mengajak anak gadisnya untuk menutup aurat bagaimana bisa beliau memimpin rakyat yang lebih banyak jumlahnya dan lebih beragam persoalannya?
Dan kejinya, sebutan teroris itu selalu disematkan pada kelompok pejuang penegak syariah Kaffah yang diopinikan bertentangan dengan negara Indonesia. Sedangkan terhadap persoalan umat, abai begitu saja sebab sibuk menciptakan monsterisasi Islam, ajaran, simbol dan pemelukya. Seolah Islamlah pangkal kerusakan dan tidak sejahtera ya umat.
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Jika melihat dari definisi di atas, apakah Islam membenarkan perbuatan yang menimbulkan kerusakan atau kehancuran, meski dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan? Faktanya banyak yang diputar balikkan, padahal sistem hari ini belum menggunakan Islam, begitupun KKB di Papua juga bukan beragama Islam padahal mereka benar-benar berbuat kerusakan terutama kematian.
Secara masif, kata terorisme digaungkan sehingga seolah benar ada di sekitar masyarakat. Terkadang terlihat sebagai skenario keji untuk memalingkan perhatian umat kepada kasus besar yang melibatkan kekuatan pejabat tinggi. Harapannya, ketika masyarakat teralihkan, kasus dapat di”tuntas” kan ala mereka. Tanpa sanksi dan hukuman yang jelas. Kembali rakyat harus menelan ludah karena ketidakadilan lagi yang mereka terima.
Disela-sela riuh rendahnya isu terorisme dan berita kematian para tersangka teroris yang tak pernah memberikan bukti bahwa benar mereka teroris, sebab sudah meregang nyawa lebih dulu tanpa pernah bisa memberi kesaksian bahwa benar mereka pelaku teroris.
Para pejabat itu berpura-pura peduli akan nasib rakyat, sejatinya yang ada mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi atau partainya, dengan menggalang suara rakyat hingga di pedesaan, seoalah lebur dengan rakyat, namun rakyat sudah sangat faham akal bulus para penebar janji manis ini, tak seindah shalih dan shalihah foto-foto mereka di banner lampu merah yang dipaku di pohon hingga banner yang besar di jembatan penyeberangan orang.
Inilah sistem kapitalisme, sebuah sistem pengaturan hidup yang bukan berasal dari Allah SWT. Keluar dari kejeniusan manusia yang terbatas. Asas yang digunakan adalah manfaat, bukan halal haram. Sistem ini diemban oleh mayoritas negara kafir, akibatnya hanya manfaat yang terlihat. Maka, bagi seorang calon pemimpin dalam sistem ini, akan menghalalkan segala cara agar ia benar-benar bisa duduk di tampuk kekuasaan, sebab biayanya juga mahal, kalau tidak jadi pemimpin darimana akan membalas budi mereka yang sudah mendukung secara finansial?
Paling tidak dengan kekuasaan di tangan mereka bisa memperkaya diri dan menyenangkan tuan mereka para kapitalis. Merekalah teroris dalam artian sebenarnya, dengan kongkalikong penguasa dan pengusaha, hutan gundul karena terus menerus ditebang, SDA menjadi jurang padahal dahulunya adalah gunung, sumber gas alam atau minyak, dieksploitasi atas nama kontrak karya dan lain sebagainya.
Kekayaan alam tak mampu mensejahterakan seluruh rakyat, negeri ini salah atur, seandainya mereka mau sedikit belajar bersama tentang agama mereka tentulah akan segera mencampakkan aturan yang tak sesuai fitrah ini. Wallahu a’lam bish showab.