Oleh: Tri S, S.Si
Bullying (perundungan) makin menggila. Banyak terjadi bullying yang berujung penganiayaan, bahkan kematian. Salah satunya, kasus tragis yang dialami seorang bocah SD dari Tasikmalaya. F (11) dirundung oleh teman sebayanya, dipaksa menyetubuhi kucing, lalu direkam hingga ia depresi dan meninggal dunia (Suara.com, 21/07/2022).
Kasus perundungan ini kian marak dan merupakan problem masif yang dirasakan saat ini, semakin hari semakin banyak korban, dan tidak ada penyelesaian masalah untuk kasus perundungan ini. inilah bukti bahwa sistem sekuler telah gagal dalam membangun SDM yang berkualitas. Terus bertambahnya korban perundungan menunjukkan bahwa pemerintahan dalam sistem kapitalis ini belum memiliki solusi yang pasti untuk mengatasi masalah perundungan. Mengapa demikian? Pertama: karena sistem pendidikan yang kita pakai masih sekuler; kedua: media, tontonan yang cenderung sekuler yang bebas di tonton anak-anak; ketiga: tidak adanya ketaqwaan individu, masyarakat dan negara.
Dalam sistem yang memandang semua agama adalah sama, tidak membolehkan seorang Muslim meyakini bahwa agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam. Sistem yang berlandaskan sekularisme berusaha memisahkan antara agama (Islam) dari kehidupan. Dampaknya, masyarakat makin rusak, individualis, cuek, egois dan meninggalkan amar makruf nahi munkar. Sayangnya, negara justru abai dari tanggung jawab pengelolaan urusan rakyat. Penerapan kebijakan dan peraturan yang sekuler merusak kepribadian Islam generasi. Pembiaran bullying, pornografi, pornoaksi, kurikulum pendidikan yang sekuler bisa memperburuk kondisi generasi.
Sayangnya, negara malah memandang anak-anak yang taat syariat sebagai anak-anak radikal. Ide moderasi beragama digaungkan, menjadikan pencampuradukan ajaran agama. Ajaran penerapan syariat kaffah oleh khilafah di monsterisasi. Inilah sebab sulitnya menguatkan profil anak-anak hari ini agar saleh dan muslih. Padahal, yang bertanggung jawab atas kualitas generasi bukan hanya anak itu sendiri, tetapi juga orang tua, sekolah, masyarakat dan negara. Semua harus menjalankan fungsinya dan saling bersinergi dalam mewujudkan profil generasi Muslim yang berkepribadian Islam (saleh-muslih) dan tangguh.
Islam diturunkan untuk menjadi Rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, Islam pasti mampu memberantas bullying, apa pun bentuknya. Sistem perbudakan adalah bentuk bullying yang paling nyata karena adanya ketidakseimbangan. Islam pun datang mengatasinya. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur persoalan ini. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Abu Musa berkata, ‘Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Islam manakah yang lebih utama?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya’.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, kita tidak layak disebut Muslim sejati kalau kita masih sering menjadikan saudara Muslim yang lain celaka akibat keburukan lisan dan tangan kita. Bukan pula Muslim yang baik jika ia tidak mau menyelamatkan Muslim yang lain dengan kebaikan lisan dan tangan.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab 70-71).
Allah memperingatkan kita agar menjaga lisan untuk berkata baik dan benar. Tujuannya agar lisan tidak menimbulkan fitnah dan dosa yang kita buat sendiri. Karena, lisan lebih tajam dari pedang. Ucapan yang tidak pantas akan menyakiti hati orang lain. Dalam Islam, bullying dilarang. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula suka sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Jelas bahwa manusia sama di mata Allah. Ukuran tingginya derajat seseorang dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, dan jenis kelaminnya. Melainkan, oleh ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al- Hujarat: 13)
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, Maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang ada pada dirinya. Biarkanlah dia, akibat buruknya akan menimpa dirinya dan pahalanya untuk dirimu. Dan jangan sekali-kali mencela seorang pun.” (HR. Abu Daud at Thayalisi, Ash Shahihah 770).
Karena itu, terwujudnya generasi berkepribadian Islam yang tangguh, saleh, muslih, hamba Allah yang taat pada syariat, calon pemimpin umat dan tidak (terbiasa) melakukan maksiat adalah visi yang ditetapkan Islam untuk generasi. Mewujudkan keberadaan generasi dengan kualitas seperti ini masuk dalam ranah ikhtiar kita. Mereka lahir bukan karena kebetulan, melainkan kewajiban yang harus kita wujudkan.
Ada beberapa hal yang akan mengukuhkan profil generasi berkepribadian Islam. Antara lain:
Pertama, mengukuhkan akidah. Posisi akidah Islam ibarat akar dari sebuah pohon atau fondasi dari sebuah bangunan. Kuat lemahnya akar (fondasi) akan sangat berpengaruh pada kuat lemahnya pohon dan bangunan di atasnya. Akidah adalah pemahaman tentang dari mana asal manusia, alam semesta dan kehidupan. Untuk apa manusia dihidupkan. Dan setelah kehidupan ini berakhir, akan ke manakah manusia dan semua kehidupan ini?
Jawaban yang tepat akan membuat anak-anak memahami bahwa dirinya hamba Allah. Mereka harus menjalani kehidupan ini dalam rangka beribadah kepada-Nya, dan kelak mereka akan dikembalikan kepada Penciptanya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam menjalani kehidupan. Akidah yang benar dan kuat akan membuat mereka bisa meletakkan kehidupan dan kematian dengan tepat. Akidah yang kuat akan menghindarkan mereka dari profil lemah, penakut, mudah menyerah, malas berusaha, hedonis, materialistis, liberalis, hidup tanpa arah, tidak produktif, atau bahkan bermasalah.
Kedua, menumbuhkan kesadaran generasi untuk terikat pada syariat sebagai konsekuensi akidahnya. Menjadikan iman terpisah dari syariat, atau memisahkan syariat dari kehidupan akan menjatuhkan manusia pada kehancuran dan kerusakan.
Ketiga, melengkapkan tsaqafah (pengetahuan) Islam dan mendekatkan generasi kepada Allah. Mendekatkan diri kepada Allah akan memudahkan seseorang menundukkan nafsu. Nafsu akan berada di bawah kendali pemahaman Islam yang mereka miliki. Ibarat lampu penunjuk atau rambu-rambu, makin lengkap pengetahuan anak kita tentang halal haram, baik buruk, terpuji tercela menurut sudut pandang Islam, maka akan makin terarah jalan kehidupannya. Apalagi jika kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah senantiasa terpelihara. Sebaliknya, generasi yang tidak menguasai syariat (tsaqafah Islam), maka makin besar peluang mereka tersesat atau terjatuh dalam bahaya ketika menjalani kehidupan ini.
Keempat, membangun lingkungan (masyarakat) yang kondusif untuk tumbuh kembang anak-anak. Lingkungan yang penuh suasana keimanan, penuh amar makruf nahi munkar membuat anak-anak mudah istikamah dalam ketaatan. Sebab, mereka akan segera diluruskan saat mulai melakukan penyelewengan.
Kelima, adanya negara yang berkarakter ra’in (pemelihara) dan junnah (perisai pelindung) bagi rakyatnya, dengan penerapan kebijakan dan peraturan yang benar sesuai tuntunan-Nya. Negara semacam ini akan melindungi generasi dari segala macam penyimpangan (maksiat), juga melindungi dari berbagai pemikiran yang merusak semacam L68T, seks bebas, pacaran, HAM, juga bullying.
Di samping itu, negara semacam ini akan sanggup mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dan generasi, mendesain kurikulum terintegrasi untuk mewujudkan profil kepribadian Islam generasi, hingga menjatuhkan hukuman berat yang setimpal kepada para pelaku kriminalitas yang merusak generasi.
Islam memiliki solusi yang sempurna untuk mengatasi masalah perundungan. Islam memandang bahwa menjaga generasi bukan hanya tugas orang tua maupun guru akan tetapi butuh peran negara dan masyarakat. Negara memiliki andil yang sangat besar dalam menyaring tontonan di media, negara juga memiliki tanggungjawab untuk melindungi generasi dari segala ancaman yang hendak terjadi.
Begitupun dengan masyarakat, juga memiliki andil yang besar untuk menasehati, mengajak pada kebaikan dan mencegah pada tindakan yang buruk. Pun dengan peran orang tua sangatlah penting dalam membentuk generasi yang baik. Hal ini tentu tak lepas dari penerapan Islam secara sempurna yang akan melahirkan individu yang bertaqwa serta mencetak generasi yang memiliki visi hidup yang jelas yang akan menjadi tonggak bagi peradaban bangsa.
Wallahu'alam bishowab.