Islam Mampu Wujudkan "Anak Terlindungi, Indonesia Maju!"




Oleh: Lubna Khanza

“Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, inilah tema yang digaungkan dalam perayaan Hari Anak Nasional (HAN) 23 juli 2022, ini merupakan tema yang sama selama 3 tahun berturut-turut. Bukan tanpa sebab, tema ini diangkat sebagai bagian dari upaya penanganan pascapandemi bagi anak-anak indonesia.

Dikutip dari Tribunnews.com, tema HAN ini bertujuan untuk mendorong kepedulian masyarakat supaya memastikan anak-anak Indonesia tetap tangguh dalam rangka pemenuhan hak anak dan perlindungan pascapandemi Covid-19. Semua komponen bangsa Indonesia diharapkan dapat menjamin pemenuhan hak hidup, tumbuh, dan berkembang pada anak. Serta dapat berpartipasi secara kemanusiaan untuk mencegah kekerasan dan diskriminasi terhadap anak.

Namun, entah mengapa harapan-harapan ini terasa “hambar”, sebab inilah harapan-harapan yang selalu diangkat melihat kondisi anak-anak indonesia yang masih terbalut dengan masalah-masalah yang sama setiap tahunnya, menjadi bukti bahwa upaya yang dilakukan belum mampu mengatasi masalah yang dihadapi. Bahkan ada saja masalah baru yang datang menghampiri. Kekerasan seksual terhadap anak kian meningkat, moral yang kian surut, serta kasus bullying yang sampai memakan korban. Anak-anak tak bisa langsung disalahkan sebab mereka adalah korban dari lingkungan yang juga kian rusak.

Perlindungan terhadap anak tentu perlu didukung dari banyak faktor, tidak cukup dengan peringatan HAN semata, dimana seolah negara dan masyarakat memberikan perhatian dan dukungannya hanya bersifat seremonial dan simbolik belaka. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan menjadi salah satu faktor penting dalam menetukan apakah anak-anak mampu terlindungi atau tidak, jika tidak maka sesuai dengan tema ini negara tidak bisa dikatakan maju walaupun infrastruktur dan hubungan bilateral dengan negara maju mendapat image yang baik.

Peringatan HAN selalu dirayakan setiap tahun bukan hanya seremonial tapi juga diikuti dengan himbauan meningkatkan kepedulian terhadap anak serta peluncuran panduan pelaksanaan peringatan hari anak nasional, ini berarti momen ini merupakan momen yang penting dan seharusnya bisa memberikan dampak baik yang berkepanjangan, namun megapa hal ini hanya tercermin pada puncak peringatannya saja?.

Jika dilihat anak-anak saat ini mulai dari usia 0-18 tahun kebanyakan tidak mendapat pendidikan dan pelayanan yang memadai bahkan sampai merusak anak itu sendiri. Ambil contoh kasus kekerasan seksual yang terjadi disekolah yang pelakunya adalah pengajar di sekolah itu sendiri, dikutip dari Muslimahnews.com, berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) tercatat setidaknya 11.952 kasus kekerasan anak sepanjang 2021. Atau anak-anak pesantren yang harus menahan lapar sebab kebutuhan dapurnya yang serba kekurangan apalagi fasilitasnya, padahal dari situlah diharapkan lahir calon-calon ulama untuk perbaikan umat kedepan, masuk pesantren memadai pun tidak mudah sebab biayanya juga tidak kecil, pendidikan yang seharusnya menjadi hak penuh anak-anak dari negara terasa seperti tanggungjawab pribadi, bahkan moderasi agama yang nyatanya bisa menyimpangkan akidah terus digeruskan di sekolah-sekolah. Itu baru satu dari banyak permasalahan dari segi pendidikan dan pelayanan. Belum lagi dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Anak-anak yang seharusnya mendapat pendidikan utama dari ayah ibu malah ikut menjadi korban tekanan ekonomi, orang tua harus banting tulang bekerja dan akhirnya menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah, padahal di sekolah pun bisa menjadi tempat yang tidak aman, apalagi tanpa pengawasan langsung orang tua. Dalam pergaulan sosial anak-anak begitu bebas mengekspresikan diri, fenomena Citayem Fashion Week menjadi wadah liberalisasi yang membahayakan namun dipandang keren bagi sebagian orang. Menjadi wadah bagi kaum L687, pergaulan bebas, serta model pakaian minim dan terbuka yang digandrungi anak-anak muda, mereka berkeliaran malam hari demi nongkrong di keramaian. Padahal bukankah ini yang justru menjadi pintu terjadinya kejahatan seksual?. Hegemoni budaya barat menjadi tren yang disukai tanpa menyaring dampak negatifnya, alhasil anak-anak disibukkan dengan kesenangan duniawi semata dan berujung pada perusakan aqidah dan akhlak.

Kasus-kasus diatas bukanlah permasalahan pendidikan, ekonomi, sosial ataupun budaya semata. Masalah ini harus dipandang utuh sebagai satu permsalahan yang menimpa umat manusia. Dan momen HAN ini harusnya menjadi forum yang membahas hal-hal krusial menyangkut permasalahan anak-anak Indonesia. Namun jika salah menentukan akar permasalahan, penanganannya pun bisa jadi salah fokus bahkan bisa memunculkan masalah baru yang semakin memberatkan.

Liberalisasi masuk melalui hegemoni yang diaruskan kepada segala lini, liberalisasi pendidikan, liberarlisasi ekonomi, liberalisasi sosial dan budaya, bahkan politik dan media. Inilah yang mejadikan banyak pihak bebas melakukan apapun sesukanya tanpa memikirkan dampak negatif bagi dirinya bahkan orang lain dikemudian hari, yang penting memberikan manfaat bagi dirinya dan golongannya saja saat ini.

Setelah jelas permasalahannya adalah liberalisme, maka kini adalah bagaimana caranya menghilangkan paham ini dari masyarakat. Setiap elemen harus bekerjasama berusaha membuang paham ini dari tengah-tengah umat, terkhusus para generasi muda. Dimulai dengan mejelaskan kerusakan yang diakibatkan dari paham ini.

Liberalisme lahir dari Sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini menjauhkan agama dari benak umat sehingga membenarkan setiap perbuatan walaupun dilarang oleh agama. Padahal agama sejatinya menjadi pedoman yang akan menyelamatkan umat manusia dari kerusakan.

''Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Alquran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.'' (Ar-Ra'du [13]: 37.

Al-qur’an diturunkan dalam bahasa arab bukan berarti Al-qur’an hanya milik orang arab saja, Al-qur’an adalah “..Hudallinnas..” yaitu petunjuk bagi seluruh manusia. Maka tentu sekularisme adalah penyakit yang harus dihindari dan dimusnahkan.

Keluarga menjadi tempat terpenting dalam mendidik generasi, peran ibu harus dikembalikan kepada syariat, yaitu sebagai rabbatul bayt (yang mengurusi urusan rumah tangga) dan madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anaknya. Serta peran ayah sebagai pemimpin rumah tangga yang giat mencari nafkah dan bertanggungjawab terhadap kehidupan dunia dan akhirat anggota keluarganya.
Dalam dunia pendidikan pun, kurikulum dan sistem pendidikan harus terdepan dalam menjauhkan generasi dari Liberalisme, mulai dari menanamkan akidah yang benar agar generasi ini tidak kehilangan jati dirinya. Anak harus sadar akan tujuan hidupnya yaitu mencari ridha Allah ta’ala, agar perbuatnnya dalam hidup terarah sesuai syariat, dan mendatangkan kemaslahatan bagi hidupnya.

Negara pun turut menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melindungi masyarakatnya dari segala mara bahaya termasuk paham Liberalisme Sekuler ini. Dalam kebijakannya harus tercermin aturan Islam, dalam pelaksanaan saknsi pun harus mampu menjadi penebus dan menjerakan, serta negara pun wajib menjaga suasana keimanan masyarakatnya agar ia bisa fokus menjalankan misinya sebagai hamba mulia yang bermanfaat bagi sesamanya. Dan untuk itu tentu perlu adanya sistem yang mampu mengcover semua itu dengan berlandaskan ideologi yang sahih yaitu Islam yang pastinya rahmatan lil’alamin.
Wallahu a’lam bishawab.








Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak