Sumber gambar: UIDownload
Oleh: Ummu Diar
Di balik viralnya sejumlah ajang fashion yang di gelar di trortoar jalan raya beberapa waktu lalu, menyimpan banyak tanya akan hakikat fashion sebenarnya itu apa. Sebab gawai anak muda yang cenderung ‘bebas’ menentukan gaya busana mereka, justru mendapat banyak perhatian dari khalayak. Tak sedikit yang memberikan apresiasi positif dan bangga dengan euphoria demikian.
Sebaliknya di wilayah yang lain, persoalan busana remaja di sekolah justru menjumpai problema. Arahan membiasakan busana sesuai keyakinan agama diterjemahkan negaif, ada yang menganggapnya sebagai bentuk perundungan. Menganggap masih remaja hasrunya diberikan kebebasan. Jadi, urusan busana ini sebenarnya bagaimana sih? Apakah benar-benar harus bebas?
Menjawab pertanyaan ini memang memerlukan waktu, untuk mengingat kembali hakikat busana, untuk merenungkan kembali demi siapa kita berbusana, dan standar apa yang menentukan layak tidaknya busana yang kita sandang. Dan jawaban ini mau tidak mau berkorelasi dengan point of view terhadap hakikat kehidupan. Bergantung pada paradigma yang diikuti selama menjalankan aktivitas kehidupan.
Mereka yang mengikuti paham sekuler (diakui langsung ataupun tidak-tapi tetap dikerjakan), maka akan mengaminkan adanya konsep kebebasan sebagaimana yang sekularisme tuntunkan. Menurut sekularisme manusia tidak usah terlalu terikat dengan aturan agama ketika menjalankan kehidupan, sebab agama itu tempatnya di ruang ibadah. Jadi kalau di luar urusan ibadah, manusia diberikan kewenangan menentukan apa yang terbaik baginya.
Dari landasan itu kemudian lahirlah konsep manusia bisa membuat aturan dalam hidup. Manusia juga bisa menikmati hidup tanpa paksaan, sebab kebebasan bertingkah laku, berpendapat, beragama, dan kepemilikan semuanya diakui. Silahkan saja berkepresi, berpendapat, beragama, atau memiliki apa saja selama tidak menggangu orang lain, selama tidak merugikan orang lain. Begitu kurang lebih intinya.
Di permukaan kelihatannya bijak, sebab nampak memberikan ruang bagi manusia untuk berkreasi, mengembangkan kemampuannya masing-masing. Namun, pada faktanya akan muncul standar ganda. Yang seirama akan dibiarkan, yang beda akan dipandang mengganggu dan disuarakan negatif hanya karena tak sejalan. Pada akhirnya tidak akan pernah ditemukan bebas mutlak, sebab kontradiksi antarisi kepala yang berbeda sulit dihindari.
Maka demikian juga ketika memandang soal busana. Yang dianggap mewakili paham kebebasan, ya diapresiasi atas nama kreativitas, sebaliknya yang menunjukkan identitas beda dan kebetulan ndak disukai akan dipandang negatif. Inilah sebenarnya letak kelemahan jika batasan standar kebaikan itu diserahkan mutlak kepada manusia, sulit menemukan titik temunya. Manusia serba memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam banyak hal.
Padahal hakikat zat yang sempurna tanpa keterbatasan, telah memberikan perangkat main sempurna bagi manusia guna menjalani hidupnya. Dalam Islam, Allah adalah Rabb, yang bermakna sebagai Alkhaliq, Almalik, sekaligus Almudabbir, menciptakan, menguasai, sekaligus mengatur. Sehingga menjadi hal yang tepat bila kemudian makhluk ciptaan Allah tunduk padaNya sekaligus patuh pada aturanNya, termasuk aturan dalam hal berbusana.
Pada tataran remaja urusan busana pun sudah harus patuh pada RabbNya. Karena zaman sekarang sudah banyak remaja yang baligh lebih awal. Setiap muslim yang baligh, ia sudah memiliki kewajiban menjalankan aturan dari RabbNya tanpa nanti-nanti. Begitu juga dlam urusan busana. Islam mengatur busana untuk menutupi aurat yang dimuliakan. Batasan auratnya dimana dan dengan apa menutupnya, semuanya dijelaskan berbasis dalil yang diyakini.
Oleh karena itu, landasan iman yang dimiliki remaja muslim haruslah dikoneksikan dengan ketaatan dan ketundukan pada Allah dalam hal busana ini. Sehingga walaupun hanya sekedar busana, jatuhnya bisa berdampak surga atau neraka. Sebab berkaitan dengan ketaatan ataukah pengabaian dengan aturan yang sudah ditetapkan.
Perbuatan muslim yang baligh semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Dan untuk kepentingan inilah peran iman mengendalikan.
Maka menjadi PR besar bagaimana caranya setiap remaja memiliki paradigm berbusana bervisi surga. Agar apapun yang menempel pada tubuh bukan sebatas gaya, bukan sebatas tenar dan mengejar kaya belaka. Melainkan dilandasi niatan mematuhi aturan Zat Maha Baik yang telah menciptakan fisiknya dengan kelengkapan dan kesempurnaan fungsinya.
Individu remaja memang perlu sholih, masyarakat juga perlu peduli dengan saling mengingatkan ketaatan. Tetapi peran negara lebih vital, memainkan peran mengedukasi perihal busana secara masal, dan juga membentengi dari bablasnya paham kebebasan yang sejatinya bertolak belakang dengan paradigma ketaatan. []