Sumber gambar: iStock
Oleh: Rinica M
Fenomena peragaan busana di area penyebrangan jalan raya masih terus hangat diangkat media. Pasalnya, kegiatan adu penampilan yang dipandang sebagai “ajang menuangkan kreativitas” tersebut semakin dipehatikan oleh banyak kalangan. Dari yang sekedar menyampatkan diri melihat, menyempatkan ambil bagian berlenggok di area yang sama, menyempatkan membuat konten di lokasi, hingga ada yang diberitakan ingin mendaftarkan HAKI.
Apresiasi yang bermunculan karena viralnya kegiatan ini mengandung efek domino yang panjang juga. Dikabarkan ada beberapa daerah yang kemudian juga menyelenggarakan kegiatan serupa. Rata-rata alasannya untuk memberikan ruang berekspresi, menyalurkan kreativitas remaja agar tidak mengarah pada hal yang lebih buruk (misalnya balap motor liar, narkoba, tawuran, dll).
Namun, benarkah demikian adanya? Dengan sudut pandang yang berbeda, fenomena berkumpulnya remaja usia sekolah hingga berhari-hari di suatu tempat sebenarnya memberikan banyak pelajaran. Bukan sekedar yang dianggap baik, namun juga sisi lain dibalik itu semua, yang sebenarnya perlu dipikirkan mendalam bagaimana efek jangka panjangnya.
Pertama, soal busana. Mindset yang tertanam secara umum “semakin kreatif, semakin keren, semakin viral, semakin besar peluang dapat cuan”. Dari pola pikir seperti ini adakhirnya munculah sikap adu outfit. Memilih mana yang sekiranya ‘nyentrik’, lalu dipakai berlenggok untuk bisa dilihat publik. Effort untuk bisa menarik ini konon dianggap sebagai hal yang menarik juga, sebab dengan dana yang tidak selalu harus banyak, mereka tetap percaya diri meramaikan kegiatan.
Padahal mindset tentang busana seperti ini, bisa dikatakan mencederai makna berbusana itu sendiri. Terlebih bagi yang berkeyakinan Islam, esensi busana bukan untuk sekedar gaya, melainkan ada tujuan utama yang berkorelasi dengan ketundukan manusia sebagai seorang hamba, yaitu untuk menutup aurat sebagaimana yang diperintahkan oleh RabbNya.
Oleh karenanya dalam urusan busana pun ada aturan yang membahasnya, ada adab yang menyertainya. Hanya saja ketidaktahuan atau bahkan ketidakpahaman akan tujuan mulia berbusana ini membuat sebagaian remaja mudah terseret arus busana ala sekuler. Yang popular dengan menjadikan busana sebagai ajang adu gaya, yang penting unik tanpa harus memedulikan apa kata agama.
Kedua, fokus perhatian. Ajang adu outfit ini menunjukkan bahwa invasi ‘food, fashion, fun’ sudah sampai ke negeri ini. Secara kasat mata, bisa disaksikan berapa banyak remaja yang rela menghabiskan dana, tenaga, dan waktunya untuk bisa ada di acara seperti ini. Rela mencurahkan kemampuan untuk sekadar datang melihat, ambil foto, atau bahkan turut berlenggok sekalian. Artinya fokus perhatian mereka sukses tersedot ke ‘ajang fashion’.
Viralnya penolakan tawaran beasiswa menjadi salah satu bukti, bahwa ada remaja yang fokus perhatiannya bukan lagi mementingkan kualitas keilmuan. Mungkin bagi mereka, ilmu tidak begitu mendesak apabila dibandingkan dengan kesempatan bisa mendapatkan pemasukan, bisa mendatangkan kesenangan.
Fenomena ini menerangkan betapa suksesnya fokus perhatian remaja dialihkan. Dari yang seharusnya mencurahkan kemampuan dan kesempatan untuk mengupgrade kualitas diri, mempersiapkan kemampuan unggul agar bisa melanjutkan peradaban, justru hanya berkutat ‘asalkan mendapatkan kebahagiaan”. Lantas apakah akan dibiarkan saja begini? Bukankah yang ingin dituju adalah generasi emas selama bonus demografi berlangsung?
Ketiga, yang tampil bukan sekedar gaya busana. Selama kegiatan adu busana berlangsung, sejumlah potret yang beredar menunjukkan adanya ‘penumpang gelap’ yang turut meramaikan. Wanita dengan dandanan laki-laki, laki-laki dengan dandanan wanita. Secara terang-terangan dan berani mereka menunjukkan eksistensi. Menampakkan ke publik bahwa mereka juga happy dengan pose yang tak pantas, memaksa nalar dan moral publik menerima bahwa perilaku mereka juga bagian dari kreativitas yang perlu diapresiasi.
Jika sampai beneran dianggap wajar, bagaimana nasib generasi lain ke depan? Apakah ada jaminan tidak akan ikut-ikutan?
Maka, atas nama kreativitas tidak selalu kebaikan yang menyertai. Itulah mengapa tameng kreativitas tetap perlu mendapatkan pengawalan norma dan rambu-rambu, khususnya pandangan agama. Jangan sampai apa yang dipandang buruk diopinikan baik, yang dilarang dikampanyekan agar diperbolehkan. Sebab jika demikian adanya, bukan kemajuan yang didapatkan. Bukan kebahagiaan yang dirasakan, tapi justru peringatan dari Tuhan yang bisa datang kapan saja secara mengejutkan.
Dari ketiga poin di atas, sudah selayaknya mengambil pelarajan bahwa kreativitas remaja sebenarnya tidak harus dengan ajang adu gaya busana. Potensi muda seharusnya diarahkan dan difasilitasi untuk menyiapkan mereka sebagai penerus estafet peradaban dengan kualitas unggul. Sehingga dukungan elemen keluarga, lembaga, masyarakat, dunia keartisan lebih mantap bila fokus pada bagaimana baiknya adab, ilmu pengetahuan, dan ketinggian teknologi tepat guna bagi remaja. Terlebih jika negara mengulurkan tangannya secara langsung, menyiapkan pemuda sebagai generasi pemimpin, maka kualitas panglima muda sekaliber Muhammad Alfatih niscaya akan ada lagi.[]