Oleh : Netty al Kayyisa
( Homescholer, bidang kurikulum Sekolah Anak Tangguh)
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) telah berakhir. Pembelajaran telah berlangsung per 18 Juli 2022. Tetapi mash ada beberapa catatan yang perlu kita tengok dari pelaksanaan PPDB tahun ini, yang masih mempertahankan sistem zonasi.
Pelaksanaan PPDB dengan sistem zonasi ini dianggap salah satu upaya meningkatkan akses layanan pendidikan yang berkeadilan. Logikanya dengan sistem zonasi, maka tidak hanya sekolah favorit yang diserbu peminat. Sekolah pinggiranpun menjadi alternatif. Tidak hanya yang pintar saja yang bisa masuk sekolah favorit atau sekolah negeri, tetapi bisa merata secara kemampuan akademik. Juga barangkali banyak alasan lain.
Sekilas tampak manis. Memukau dan bisa menjadi solusi atas ketidakmerataan pendidikan di negara kita. Tetapi pada faktanya sistem zonasi dalam PPDB ini meninggalkan banyak kesan buruk. Bahkan seribu masalah bermunculan.
Misalnya apa yang terjadi pada seorang kawan yang ingin menyekolahkan putrinya di salah satu SMK Negeri di kota Malang. Rumahnya di wilyaah Kabupaten Malang. Maka si putri ini tidak bisa diterima dengan alasan zonasi 1 km di sekitar sekolah. Nyatanya malah diberi solusi sekolah di SMK yang ada di Kabupaten Malang yang jaraknya justru hampir 30 km dari rumahnya. Akhirnya dengan bekal jalur prestasi, dengan keribetan pengurusan surat-suratnya, si putri ini tetap bisa sekolah di SMK yang diinginkan.
Akibat sistem zonasi ini juga ada sekolah yang tidak ada siswanya. Di SDN 197 Sriwedari Surakarta contohnya hanya mendapatkan 1 siswa saja. Sedikitnya jumlah siswa ini, akan berpengaruh pada waktu mengajar guru yang berkurang. Sehingga tidak memenuhi syarat tunjangan kesejahteraan. Maka kesejahteraan guru dipertaruhkan.
Masalah berikutnya tidak semua wilayah memiliki sekolah. Di kecamaatan tempat kami tinggal misalnya, hanya ada satu SMPN yang dekat dengan delapan kelurahan. Sementara jarak satu kelurahan dengan kelurahan lainnya cukup jauh dengan kondisi geografis pegunungan naik turun. Dengan diterapkannya sistem zonasi bagaimana anak-anak bisa merasakan sekolah sejauh ini?
Dengan sistem zonasi juga rawan menimbulkan penipuan. Mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan kemaksiatan. Memanipulasi data pribadi. Kartu keluarga, alamat tinggal, nilai di atas raport, surat keterangan dari aparat terkait, semua tak luput demi satu misi, sekolah di tempat yang diinginkan.
Jadi, meski dikatakan sistem zonasi adalah solusi, tetapi menimbulkan masalah baru yang justru tak bertepi dan mengancam kelangsungan generasi.
Agar Zonasi Mampu Menjadi Solusi
Tak bisa dipungkiri jika sistem zonasi ini juga hasil pemikiran anak negeri. Yang berharap ada kemajuan dalam pendidikan ini. Apalah daya, jauh panggang dari api. meski tak bisa dikatakan gagal secara keseluruhan, masih ada sisi yang bisa dibenahi agar sistem zonasi mampu menjadi solusi.
Diantara yang paling mendasar adalah mengubah mindset pendidikan. Jika selama ini pendidikan dianggap sebagai komoditi yang pantas dijual, saling berlomba memberikan yang terbaik dengan fasilitas mahal harga juga mahal. Dalam istilah orang jawa “Ana rega ana rupa”, maka dalam dunia pendidikan prinsip ini tak seharunya dijalankan. Pendidikan harus dimaknai sebuah pelayanan negara pada rakyatnya. Sebuah kebutuhan mendasar yang menyangkut keberlangsungan hidup suatu bangsa. Membentuk peradaban yang mulia. Ini tentunya memberikan sebuah konsekuensi adanya anggaran pendidikan yang cukup. Jika tak bisa dikatakan tinggi.
Dengan adanya anggaran pendiidkan yang cukup, maka negara bisa membenahi sekolah-sekolah yang kurang dari sisi fasilitas menjadi memadai fasiltasnya bahkan memiliki fasiltas yang lengkap. Dengan anggaran pendidikan yang cukup negara juga bisa mendirikan sekolah-sekolah sesuai dengan kebutuhan. Jika zonasi ditetapkan 1 km disekitar sekolah, maka setiap jarak 1 km dari pemukiman penduduk harus didirikan sekolah dengan fasilitas yang merata. Didukung dengan kualitas guru yang seimbang.
Tidak hanya sekolah favorit saja yang mengsyaratkan guru harus memilki kompetensi yang dibutuhkan tetapi di setiap sekolah, negara harus mampu menjamin ketersediaan guru sekaligus menunjang kesejahteraan mereka.
Dengan pola seperti ini, andaikan diterapkan sistem zonasi maka tidak akan menjadi masalah yang berarti. Sayangnya itu tak akan terjadi. Karena kondisi seperti ini hanya akan terjadi jika ada perkawinan antara sistem politik tingkat tinggi, sistem ekonomi dan sistem pendidikan itu sendiri.
Sistem politik merupakan pengaturan urusan dalam negeri. Bagaimana penguasa memiliki pemahaman bahwa mereka adalah perisai bagi umat. Pelayan umat. Menyediakan kebutuhan umat. Termasuk menyediakan kebutuhan pendidikan. Memandang pendidikan adalah sebuah investasi mahal untuk sebuah generasi. Kemajuan peradaban dan bangsanya akan terwujud jika pendidikannya berkualitas.
Dengan pandangan semacam ini, maka negara akan berusaha menyediakan dana dari berbagai pemasukan di negaranya. Kepemilikan umum akan digelontorkan untuk pembiayaan pendidikan. Kekayaan alam akan dikembalikan pada umat. Bukan diserahkan pada asing bahkan dirampas. Sementara penduduk pribumi hanya mendapatkan ampas. Mendapat imbas kesengsaraannya. Dengan pemasukan negara dari kekayaan alam ini, tentu cukup untuk pembiayaan pendidikan.
Apalagi Allah telah menyediakan berbagai kekayaan alam dengan melimpah. Emas, hasil hutan, hasil laut, minyak, batu bara dan masih banyak lagi yang lainnya. Dengan pengeloalaan yang benar, pemanfaatan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat, maka tak hanya biaya pendidikan yang bisa tercukupi, bahkan kesejahteraan gurunpun terjamin.
Sayang, pemikiran seperti ini, aspek politik dan ekonomi seperti ini tak akan pernah kita jumpai pada sistem hari ini. Semua itu akan terwujud hanya dalam sistem Islam. Yang paripurna dan sempurna. Telah dibuktikan berabad-abad lamanya. Dan sekarang tinggal menunggu fajarnya. Insyaallah.
Tags
Opini