Oleh: Noneng Sumarni
Sungguh miris SDN 197 Sriwedari Surakarta, Jawa Tengah hanya mempunyai satu murid baru hasil Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi Tahun Ajaran 2022/2023. Hal ini dikarenakan letak sekolah tersebut di lingkungan perhotelan dan perkantoran yang tidak banyak hunian rumah penduduk. Kebijakan zonasi ini diharapkan meningkatkan akses layanan pendidikan yang berkeadilan. Namun, sejak dilaksanakan tahun 2017 hingga kini, keadilan akses pendidikan yang menjadi tujuan diadakannya jalur ini belum dapat terealisasi dan malah menyisakan beberapa permasalahan.
Sistem ini tidak menekankan pada nilai dari calon peserta didik (NEM), namun pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah. Sementara tidak semua tidak semua kelurahan memiliki sekolah negeri, termasuk kota besar seperti Jakarta. Kondisi sekolah negeri yang tidak merata bukan hanya di Jakarta tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan satu sekolah kelebihan siswa karena berada dekat pemukiman penduduk, sementara sekolah yang lain kekurangan siswa karena sulit diakses atau dianggap tidak favorit. Adapun sekolah yang berada dekat dengan perumahan penduduk pun fasilitasnya belum memadai dan tidak bisa menampung semua siswa yang berada di wilayah zonasinya (cakaplah.com, 14/7/2022). Pada akhirnya beberapa siswa tidak dapat diterima di sekolah negeri manapun dan harus bersekolah di sekolah swasta yang kebanyakan sekolah swasta berkualitas mematok biaya lebih mahal.
Salah satu Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai kasus SDN Sriwedari merupakan bentuk nyata dampak buruk sistem zonasi tanpa pemetaan wilayah dan kesenjangan kualitas (Tirto.id,8/7/2022). Peningkatan atau pemerataan kualitas pendidikan seharusnya dimulai dari pemerataan prasarana dan sarana untuk setiap sekolah, begitu juga kualitas dan jumlah guru di setiap sekolah. Seharusnya antar sekolah memiliki kualitas pendidikan yang sama. Baik sekolah di daerah maupun di perkotaan.
Tags
Opini