USIA MENJADI BIANG MASALAH TINGGINYA KASUS PISAH RUMAH TANGGA, BENARKAH?



 
Oleh : Ummu Aqeela 
 
Miris, angka kasus perceraian di Pengadilan Agama Bojonegoro tinggi selama enam bulan terakhir. Sebanyak 1.580 kasus pasangan suami istri (pasutri) memutuskan bercerai di Bojonegoro, Jawa Timur. 
 
Panitera Pengadilan Agama Bojonegoro H Solikin Jamik mengatakan bahwa jumlah tersebut didominasi kasus istri menggugat cerai suami. Rata-rata yang menjadi penyebab gugatan perceraian tersebut adalah pernikahan usia dini. Banyak pasutri berusia muda yang menggugat perceraian. Rata-rata usia istri yang mengajukan gugatan cerai di bawah 27 tahun. Kesulitan ekonomi juga menjadi pemicu tingginya angka perceraian di Bojonegoro. Banyak pasutri muda yang tidak dapat mencukupi nafkah dalam kehidupan sehari-harinya dan akhirnya sepakat untuk bercerai. (Medcom.id, 11 Juli 2022)
 
Perceraian dalam pandangan Islam bukan sesuatu yang dilarang. Namun, Allah membenci adanya sebuah perceraian. Dan apabila terjadi perceraian, itu adalah sebagai jalan terakhir ketika semua upaya mempertahankan rumah tangga telah dilakukan namun tidak membuahkan hasil. 
 
Satu hal yg perlu ditekankan bahwa pernikahan merupakan ibadah dengan kedudukan yang sangat penting dan sakral dalam Islam. Hingga disebut sebagai mitsaqan ghalizha dalam AlQuran, berarti perjanjian yang amat kukuh atau kuat. Sehingga tidak baik bila menyepelekannya, hingga menganggap enteng perceraian. Tujuan menikah dalam Islam memiliki arti begitu dalam bagi Allah SWT dan Nabi-Nya. Selain menciptakan generasi yang sholeh/sholehah, Allah menyampaikan berbagai berkah di balik pernikahan. Meski aktivitas bersama pasangan halal itu dianggap sederhana, namun bernilai pahala dan sedekah.
 
 
Sebenarnya apa yang dimaksud pernikahan dini, pernikahan usia dini merupakan ikatan pernikahan antara pria dan wanita yang dilakukan saat kedua belah pihak masih berusia dibawah 18 tahun atau masih dalam sekolah menengah yang sudah akil baliqh. Untuk masyarakat yang hidup pada era awal abad ke-20 dan sebelumya, pernikahan wanita di usia 13 atau 14 tahun dan juga pria pada usia 17 atau 18 tahun menjadi hal yang biasa untuk dilakukan. Namun pada masyarakat sekarang ini, pernikahan dini menjadi hal yang aneh dan wanita berusia dibawah 20 dan pria dibawah 25 tahun sudah dianggap sebagai pernikahan dini.
 
 
 
Menikah dini pada dasarnya merupakan sebuah pernikahan seperti lainnya, namun dilakukan oleh pasangan yang masih berusia muda. Karena pernikahan dini sama halnya dengan pernikahan pada umumnya, maka hukum yang berhubungan dengan pernikahan dini juga harus ada di semua pernikahan. 
 
 
Hukum Islam sendiri memiliki beberapa prinsip yakni perlindungan pada agama, harta, jiwa, keturunan dan akal. Dalam Islam sendiri tidak melarang adanya sebuah pernikahan, entah itu dianggap dini ataupun matang, asalkan sudah baligh dan sudah sanggup memberikan nafkah jasmani serta rohani. Istilah pernikahan dini sendiri merupakan istilah kontemporer yang dikaitkan dengan awal waktu tertentu. Untuk masyarakat yang hidup pada era awal abad ke-20 dan sebelumya, pernikahan wanita di usia 13 atau 14 tahun dan juga pria pada usia 17 atau 18 tahun menjadi hal yang biasa untuk dilakukan. Namun pada masyarakat sekarang ini, pernikahan dini menjadi hal yang aneh dan wanita berusia dibawah 20 dan pria dibawah 25 tahun sudah dianggap sebagai pernikahan dini.
 
 
Ada tiga tolak ukur yang dijadikan landasan agar sebuah pernikahan mampu mewujudkan sakinah, mawadah, dan warohmah. Yaitu :

Kesiapan Ilmu

Kesiapan ilmu adalah kesiapan pemahaman dalam hukum hukum fiqih Islam yang terkaiyt dengan pernikahan baik dalam hukum sebelum menikah seperti hukum khitbah atau melamar, hukum pada saat menikah seperti syarat dan rukun aqad nikah dan juga kehidupan setelah menikah yakni hukum nafkah, talak serta ruju’.
Syarat pertama ini didasari dengan prinsip jika fardhu ain hukumnya untuk seorang muslim mengetahui apa saja hukum hukum perbuatan yang dilakukan sehari hari atau yang akan segera dilakukan. Ilmu disini sangat berperan penting, karena ibadah apapun termasuk pernikahan tidak akan bisa diwujudkan tanpa adanya ilmu yang mendasarinya.

Kesiapan Materi

Yang dimaksud dengan kesiapan materi atau harta terdiri dari dua jenis yakni harta sebagai mahar atau mas kawin dan juga harta sebagai kewajiban laki laki setelah menikah yakni nafkah suami pada istri untuk memenuhi segala kebutuhan primer, sandang, pangan dan papan. Mengenai mahar sebetulnya bukan mutlak berupa harta akan tetapi juga dapat berupa manfaat yang diberikan suami pada istri seperti mengajarkan ilmu pada istri. Sementara kebutuhan primer adalah wajib diberikan dalam kadar yang layak atau bi al ma’ruf yakni setara dengan nafkah yang diberikan pada wanita.
 

Kesiapan Fisik

Kesiapan fisik khususnya untuk laki laki adalah bisa menjalani tugasnya sebagai seorang laki laki alias tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 berkata, “al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hal.163).
 
 
 
Oleh karena itu, pernikahan dalam islam merupakan sesuatu yang sakral, jadi sebisa mungkin dipersiapkan, dijaga bahkan hingga maut memisahkan. Allah SWT memberikan keterangan mengenai keutamaan menikah. Bahkan, Allah SWT akan memberikan karunia-Nya kepada laki-laki dan perempuan yang menikah karena-Nya. Masalah dini atau matang bukanlah menjadi penyebab utama segala permasalahan yang ada, namun dipengaruhi banyak faktor, dan yang utama adalah niat awal ketika menikah. Jika memang segalanya dilandaskan karena ibadah dan lillah maka syari’at akan menjadi ikatannya. Namun, jika niat hanya karena melampiaskan nafsu dunia maka cepat lambat akan pupus, tanpa memandang dini ataupun matang. 
 
Wallahu’alam bishowab
 
 
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak