Perundungan Berakibat Kematian, Pendidikan Sekuler Biangnya



Oleh: Hamnah B. Lin

Harapan setiap orang tua adalah mendamba memiliki anak shalih dan shalihah, anak yang baik, anak yang menjadi permata hati orang tua. Hati orang tua mana yang tidak sedih dan amat terpukul ketika anaknya meninggal dalam kondisi yang tidak wajar.

Berita perundungan atau bullying yang berakhir kematian berhasil kami ambil dari sumber detik.com tanggal 21/6/2022, Bocah di Tasikmalaya meninggal dunia usai depresi dibully setubuhi kucing. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) mengidentifikasi pelaku berjumlah empat orang. "Pelaku terduganya empat orang," ujar Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto kepada detikJabar, Kamis (21/7/2022).

KPAID mengantisipasi para terduga pelaku juga tidak jadi korban bully lagi setelah kejadian ini. "Yang kami khawatirkan para pelaku jadi korban bully juga karena kejadian ini. Mereka kan anak-anak juga yang mungkin juga korban karena perkembangan medsos atau lainya. Makanya kami akan dampingi," tutur Ato.

Meski demikian, kasus hukum peristiwa ini akan terus berlanjut. Rencananya KPAID akan melaporkan dugaan perundungan ini ke kepolisian siang ini.

Betapa miris, anak usia 11 tahun atau SD kelas 6 telah menjadi korban juga pelaku perundungan yang berakhir kematian. Dokter rumah sakit umum daerah (RSUD) Tasikmalaya mengungkap penyebab kematian bocah yang dibully setubuhi kucing. Dokter menyebut bocah SD itu didiagnosis mengalami peradangan otak.

Sebelum meninggal dunia, bocah itu dibawa ke rumah sakit pada Minggu (17/7) malam. Saat dibawa ke rumah sakit, bocah mengalami kondisi penurunan kesadaran sehari sebelumnya. Bahkan, bocah tersebut tak mau makan dan minum serta mengalami demam.

Sedangkan menurut Kriminolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Yesmil Anwar turut menyoroti kasus perundungan yang dialami bocah asal Tasikmalaya, PH (11), yang berujung kematian. Yesmil menyatakan ada beberapa faktor yang membuat pelakunya tega melakukan aksi tersebut meski sama-sama berstatus sebagai anak di bawah umur.

Pertama, ia menyoroti kasus ini merupakan efek dari faktor kenakalan remaja. Ada pengawasan yang kurang dilakukan di lingkungan anak pelaku perundungan, terutama di lingkungan keluarganya. Sehingga mengakibatkan aksi perundungan itu terjadi terhadap bocah kelas 6 SD di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.

Kedua, Yesmil mengungkap karena faktor itu biasanya akan muncul sikap antisosial terhadap anak. Terlebih, jika aksi perundungan itu sudah biasa sang anak saksikan di lingkungannya, maka penyimpangan perilaku pun akan terjadi terhadap anak yang menjadi pelaku tersebut.

Ketiga, karena sudah terbiasa dengan hal-hal buruk itu, sang anak lalu membawa kebiasaan tersebut ke lingkungan seumurannya. Anak yang menjadi pelaku perundungan ini pun menurut Yesmil, lalu mulai meniru dengan menyasar anak sebanyanya yang lebih lemah secara fisik maupun mental.

Terakhir, Yesmil ingin menegaskan jika anak pelaku perundungan pun harus bisa mendapat perhatian semua pihak. Sebab jika dibiarkan begitu saja, baik pelaku maupun korban, di kemudian hari bisa menjadi seseorang yang akan terlibat dalam tindak kejahatan lebih ekstrem.

"Karena anak yang melakukan bully di masa depan dia juga akan menjadi penjahat. Begitu juga korbannya akan mengalami situasi yang sama, karena dia bisa saja melakukan balas dendam. Itu berdasarkan teori dan riset, karena bisa saja penjahat itu di masa kecilnya merupakan korban kejahatan, seperti bully ini," pungkasnya.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) , menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus. Dari jumlah tersebut, paling banyak atau 1.138 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik dan atau psikis.

Lalu apa sebenarnya yang menjadi penyebab utama kasus perundungan terus meningkat? Akar masalahnya adalah karena negara menerapkan aturan yang berasaskan sekulerisme dan liberalisme. Negara tidak mendidik warganya untuk takut kepada Allah Subhanawata'ala dan takut akan melakukan bulyying. Agamapun hanya sebagai pelengkap yang tidak tercermin dalam kehidupan sehari-harinya. Pendidikan sekulernya telah menjadikan generasi yang tidak takut dosa, tidak takut kepada Allah Subhawata'ala. 

Sekarang Indonesia termasuk negara yang terkategori darurat kasus perundungan di lingkungan pendidikan. Sehingga penting bagi kita sebagai orang tua dan pendidik untuk meningkatkan kewaspadaan dan kepekaan  berkaitan dengan kasus perundungan ini.   

Luangkanlah waktu saat anak-anak kita curhat, kemudian segera kita mencari solusinya sesuai Syariat. Walau sulit untuk menelusurinya, tapi tetap harus dilakukan demi kesehatan mental anak-anak kita. Jangan sampai stres berkelanjutan dan berujung pada bunuh diri. 

Kita tentu berharap ada penyelesaian totalitas untuk memutus mata rantai perundungan. Ada tiga aspek :
1.  Individu, yaitu anak yang kuat iman dan adabnya
2.  Lingkungan yang bertakwa sebagai kontrol sosial, yaitu teman-teman, orang tua dan guru yang salih-salihah
3.  Peran negara yang bertakwa yang senantiasa mengedukasi secara masif, baik formal maupun non formal, untuk menguatkan iman, takwa dan adab masyarakatnya. Dan negara yang siap menegakkan sanksi atas pelanggaran Syariat. 

Negara yang bisa mewujudkan sistem Islam kafah ini hanyalah Khilafah. Karena Khilafah terbukti mampu menciptakan peradaban gemilang yang sukses memunculkan generasi cemerlang seperti Muhammad Al-Fatih, Imam Syafi’i, Shalahudin Al-Ayyubi, Ibnu Sina dan masih banyak lagi. Semoga “Khairu Ummah” alias umat terbaik segera hadir. Perundungan pun hanya tinggal kenangan. 
Maka solusi atas kian meningkatnya perundungan ini adalah dengan kembali kepada aturan Islam, menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara Islam menjadikan aqidah Islam sebagai landasan negara dan pendidikannya. Hingga akan tercetak generasi yang takut kepada Allah Subhanawata'ala. 
Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak