Oleh : Bunda Hanif
Baru saja kita memperingati kembali Hari Anak Nasional, tepatnya pada tanggal 23/07/2022. Tema yang diusung adalah “ Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Di tengah semaraknya peringatan HAN ini, nyatanya kondisi anak di negeri ini masih jauh dari kata layak.
Anak adalah pribadi yang seharusnya dilindungi, diberikan kasih sayang dan dipenuhi semua haknya. Namun kenyataannya, sering kali kita jumpai anak kerap menjadi korban kekerasan seksual, korban dari rapuhnya keluarga, putus sekolah, terpapar pergaulan bebas hingga penyalahgunaan narkoba. Inilah potret kelam kehidupan anak di bawah sistem kapitalisme.
Anak merupakan amanah, cahaya, dan permata keluarga. Kehadirannya di tengah keluarga mampu menghadirkan kehangatan dan keceriaan. Anak juga generasi harapan bangsa. Sebab di tangan merekalah terletak estafet keberlangsungan satu peradaban. Kondisi anak pada saat ini menggambarkan bagaimana kondisi bangsa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya negara berperan menjamin seluruh hak-hak anak. Bagaimana jika negara gagal menjaminnya?
Berdasarkan data mengenai jumlah korban kekerasan terhadap anak, terlihat tren peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Merujuk data 2019, kasus kekerasan pada anak sebanyak 12.285, sedangkan pada 2020 menjadi 15.972. (Muslimahnews.com, 22/7/2022)
Pada 15 Juli lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Perpres 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak. Ada tujuh strategi yang termaktub dalam peraturan ini.
Pertama, penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi, dan penegakan hukum. Kedua, penguatan norma dan nilai anti kekerasan. Ketiga, penciptaan lingkungan yang aman dari kekerasan. Keempat, peningkatan kualitas pengasuhan dan ketersediaan dukungan bagi orang tua / pengasuh. Kelima, pemberdayaan ekonomi keluarga renta. Keenam, ketersediaan dan akses layanan terintegrasi. Ketujuh, pendidikan kecakapan hidup untuk ketahanan diri anak. Sayangnya, langkah tersebut belum menyentuh ranah sistem.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sendiri melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak sepanjang Januari 2022, terdapat 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Jumlah tersebut setara 9,13% total anak korban kekerasan seksual pada 2021 lalu yang mencapai 8.730 kasus.
Data tersebut di atas sungguh sangat memprihatinkan. Hati siapa yang tidak miris melihat kasus pelecehan seksual pada anak yang kian meningkat? Yang lebih miris lagi, dalam beberapa kasus justru pelakunya adalah orang terdekat.
Masa anak-anak, seharusnya menjadi masa yang paling membahagiakan pada siklus hidup manusia. Di masa ini seharusnya anak mendapatkan kasih sayang dan terpenuhi semua haknya. Namun kenyataannya, masih banyak kita jumpai anak yang turut menanggung beban. Ekonomi yang serba sulit, membuat mereka harus turun tangan membantu perekonomian keluarga. Akhirnya banyak anak yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah lantaran mereka harus bekerja. Apalagi biaya pendidikan yang semakin mahal, membuat mereka tidak bisa memperoleh pendidikan.
Faktor ekonomi seringkali dinilai sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. Ditambah lagi dengan rapuhnya institusi keluarga, kemarahan terhadap pasangan, menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak. Ketika anak memilih untuk hidup di jalanan, mereka pun harus bertaruh dengan preman jalanan dan pelaku kejahatan seksual.
Selain kasus kekerasan, masih banyak lagi kasus lainnya. Di antaranya adalah kecanduan gadget/gawai. Orang tua seringkali memberikan gawai kepada anak lantaran kesibukan mereka sehingga tidak bisa mengawasi anak sepenuhnya. Mereka dibiarkan menggunakan gawai agar tetap tenang dan tidak mengganggu aktivitas orang tua.Alhasil, anak menjadi kecanduan. Karakter mereka pun akhirnya terbentuk sesuai apa yang mereka tonton. Saat anak sudah tidak bisa lagi dikendalikan, barulah orang tua menyadarinya, dan semuanya sudah terlambat. Sudah banyak psikolog yang bersuara atas fenomena ini.
Dari fenomena penggunaan gawai tersebut, banyak bermunculan masalah baru. Mulai dari bullying kepada temannya, menyelesaikan masalah dengan tindakan kekerasan, sampai kepada meniru adegan berbahaya yang mereka lihat atau mainkan dalam sebuah game.
Peringatan HAN, terkesan hanya sebatas seremonial belaka. Sejumlah masalah yang dihadapi anak merupakan dampak dari kebijakan negara. Contohnya, kenaikan harga kebutuhan pokok berimbas pada tidak stabilnya ekonomi keluarga. Sehingga aanak harus putus sekolah dan memilih bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Jika negara benar-benar ingin mewujudkan perlindungan terhadap anak, selayaknya negara menempuh langkah strategis dan sistemis untuk melindungi anak.
Bagaimanakah Islam Memberikan Perlindungan Kepada Anak?
Di dalam Islam, anak dipandang secara fitrah berhak memperoleh perlindungan dan kasih sayang. Oleh karenannya, keluarga berperan menciptakan kehangatan, mendampingi tumbuh kembang anak dan mengenal konsep dasar keimanan sehingga anak tumbuh sebagai hamba Allah yang taat.
Masyarakat juga berperan dalam perkembangan anak, dengan menciptakan sistem sosial yang sehat dan ramah anak. Islam mengajarkan bagaimana menjaga hak sesama muslim, tidak saling mengejek, saling menjaga hak, juga menumbuhkan karakter untuk saling membantu. Orang tua lah yang berperan besar mengenalkan sistem sosial islami kepada anak.
Bagaimana dengan negara? Negara berkewajiban untuk menetapkan kebijakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat. Negara juga wajib memperhatikan aspek sosial masyarakat, ekonomi, pergaulan, pendidikan dan seluruh aspek kehidupan lainnya. Jaminan terhadap keamanan dan keselamatan rakyatnya juga menjadi tanggung jawab negara.
Negara juga memberikan perlindungan pada institusi keluarga sehingga anak terlindungi dan terpenuhi semua haknya. Melindungi anak agar kelak mampu menjadi generasi penerus peradaban memerlukan langkah strategis. Semua itu hanya dapat terwujud jika Islam benar-benar diterapkan di seluruh aspek kehidupan.
Wallahu ‘alam bisshowab