Pasal Penghinaan RKUHP, Mengibiri Suara Rakyat




Oleh : Nabila Sinatrya

Pasal penghinaan presiden dalam Racangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai polemik, karena dipandang mengebiri suara kritis. Dalam Pasal 218 ayat (1) RKUHP bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Sedangkan pasal 218 ayat (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. (nasional.tempo.co/06/07/2022)

Terlebih pembahasan RKUHP terkesan tertutup dan mengabaikan kritik publik yang menunjukkan pola berulang dalam pengesahan undang-undang sebelumnya, seperti undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law Cipta Kerja, serta revisi undang-undang P3. Analis senior PKAD Fajar Kurniawan mengatakan “Diduga menjadi ciri khas rezim ini bahwa setiap RUU selalu tersembunyi. Kalau perlu disahkan tengah malam.” Padahal objek pembuatan undang-undang adalah rakyat tapi dalam perencanaannya malah disembunyikan. Hal ini menimbulkan kesan pemerintah anti kritik, apabila delik penghinaan tersebut masuk ranah pidana tentu kepolisian dan kejaksaan yang akan menanganinya. 

Aturan tersebut berpotensi yang mengarah seolah masyarakat akan berbuat makar dan hal-hal lain yang dianggap sebagai penghalang jalannya pemerintahan. Juga dinilai aturan hanya pasa karet tergantung interpretasi aparat penegak hukum. Harusnya terlebih dulu mencari faktor yang memicu lahirnya respon masyarakat terhadap kekuasaan dan melakukan evaluasi apakah dalam pelayanan terhadap rakyat sudah memberikan kesejahteraan atau bahkan sebaliknya. Mengingat beberapa kebijakan cenderung mempersulit rakyat ditengah sumber daya alam yang melimpah, seperti kenaikan BBM, kenaikan TDL, kenaikan pajak, dan lain sebagainya.

Inilah akibat dari mengadopsi sistem demokrasi yang berasaskan sekulerisme. Dalam sekulerisme membuat kebijakan didominasi oleh kepentingan segelintir orang dan menyingkirkan peran agama dalam pengaturannya. Padahal islam memiliki pengaturan secara lengkap  baik ranah individu, masyarakat, atau bahkan kenegaraan. Hal ini sebagai mana diterapkan dalam sistem politik Khilafah yang berasaskan akidah islam.
Dalam pengaturan islam kritik terhadap pemerintah adalah fardlu kifayah, sebagaimana dalam kitab mukadimmah dustur pasal 20 bahwasannya “kritik terhadapa pemerintah merupakan salah satu hak kaum muslim dan hukumnya fardlu kifayah.” Karena Khalifah sebagai pemimpin adalah manusia biasa yang tidak menutup kemungkinan melakukan kesalahan, oleh karenanya butuh muhasabah atau kritik terhadap penguasa agar dalam pengaturannya tidak keluar dari syariat islam. Karena tugas penguasa adalah menjalankan syariat islam secara kaffah.

Dari Abu Sa'id Al-Khudri Rasulullah Saw bersabda “jihad yang paling utama adalah kata-kata yang adil (haq) di depan penguasa yang zalim atau amir yang zalim.” Dalam islam rakyat dan penguasa memiliki kedudukan yang sama di depan hukum syariah. Rakyat dalam khilafah diberi hak untuk melakukan muhasabah terhadap penguasa baik dilakukan secara langsung atau melalui Mahkama Madzalim, sehingga keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat terwujud. Begitulah pengaturan islam dapat menghilangkan kedzaliman penguasa terhadap rakyatnya. 

Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak