My Aplikasi, Bukan Solusi

 


Oleh Elly Waluyo

(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)


 Berkaitan dengan pembatasan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite dan solar yang berlaku mulai 1 Juli 2022, Alfian Nasution Direktur Utama Pertamina Patra Niaga menyampaikan pada masyarakat supaya menggunakan aplikasi untuk mendaftarkan datanya melalui website, kemudian menunggu konfirmasi kendaraan dan identitasnya terdaftar. 


Setelah terdaftar pengguna mendapat kode QR yang bisa digunakan untuk membeli pertalite dan solar, sehingga seluruh transaksi tercatat secara digital. Terdapat 11 daerah di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi yang diujicobakan aplikasi My Pertamina (okezone.com, 1/7/2022)


 Meski kebijakan tersebut menurut pemerintah dapat menghemat konsumsi BBM tahun ini hingga 10% dan sesuai dengan Ketentuan pembatasan pembelian BBM subsidi dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM, namun menuai kontroversi. 


Menurut Bhima Yudhistira yang merupakan Direktur Center Of Economics and Law Studies (Celios), kebijakan tersebut tidak tepat sasaran dan merupakan cara halus untuk memaksa masyarakat untuk menggunakan Pertamax, dan dianggap tidak memikirkan 115 juta orang ekonomi kelas menengah di Indonesia.


 Pengamat Minyak dan Gas (Migas), Komaidi Notonegoro menilai bahwa tidak ada skema penyaluran subsidi yang tepat sasaran selain subsidi langsung, menurutnya kebijakan ini berpotensi menimbulkan masalah baru yaitu antrean panjang saat pembelian karena pembeli yang gagap teknologi juga kelompok miskin yang tak mampu membeli smartphone. 


Belum lagi konflik yang timbul dilapangan karena definisi mampu dan tidak mampu yang agak sulit dibedakan (cnnindonesia.com, 29/6/ 2022)


 Wajah buruk sistem kapitalis yang hanya mampu melahirkan kebijakan yang tak pernah berpihak pada rakyat. Sistem demokrasi yang ironis karena secara teoritis meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, tapi malah menganggap rakyat sebagai beban dan pengemis subsidi. Tak pernah sekalipun memandang keadaan rakyat yang sedang kesulitan setelah melalui masa pandemi. 


Jangankan membeli smartphone agar dapat menggunakan aplikasi untuk membeli BBM, untuk sesuap nasi saja rakyat miskin tak mampu membelinya karena harus berhadapan dengan kebutuhan pokok yang melambung tinggi, akibat kenaikan tarif dasar listrik yang membuat bengkak biaya produksi.  


Ketidaktepatan sasaran subsidi sebenarnya hanyalah sebuah kamuflase untuk menutupi kelemahan sistem kufur kapitalis yang hanya memikirkan untung rugi dalam menyelesaikan setiap permasalahan dan penyelenggaraan bisnis publik. Kebutuhan publik yang seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat tak terbatas kalangan, diperjualbelikan pada pihak asing, dikuasakan oleh individu, bahkan dijual pada rakyatnya sendiri. 


Neoliberal yang bercokol dalam sistem kapitalis menganggap subsidi sebagai intervensi pemerintah pada mekanisme pasar sehingga keberadaannya harus dihapuskan. 


Berbeda-beda dalam sistem Islam, yang memandang subsidi merupakan bantuan pemerintah pada bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Seperti pada produsen dalam bidang pertanian, bantuan secara gratis atau dengan biaya yang sangat murah sesuai biaya produksi diberikan oleh negara dalam bentuk penyediaan pupuk dan benih. 


Demikian pula di bidang konsumen, yang apabila melibatkan kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah) seperti listrik, bahan pokok, bahan bakar dan lain-lain, negara hanya sebagai pengelola saja, keuntungannya dikembalikan kepada rakyat karena harta milik umum adalah hak rakyat, haram bagi negara untuk mengambil keuntungan sekecil apapun.


 Sedangkan pada sektor pendidikan, kesehatan dan keamanan, subsidi tidak berlaku karena negara harus menyediakan secara gratis pada seluruh warga negaranya.


Pada harta milik negara, seorang khalifah diperbolehkan memberikan harta negara pada sektor tertentu, golongan tertentu atau individu dengan pertimbangan secara syar’i, pendapatnya dan ijtihadnya untuk kemaslahatan umat. Hal tersebut merupakan hak seorang khalifah dalam mengelolanya.


Setelah melihat realita di atas apakah kita akan bertahan dengan sistem yang ada saat ini? Atau justru berusaha untuk beralih kepada sistem Islam yang telah terbukti mampu membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat?


Wallahu a'lam bishawwab



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak