Oleh: Hamnah B. Lin
Akan segera datang tahun baru Islam, yakni 1 muharam penanggalan Hijriyah. Ada peristiwa luar biasa yang mengawalinya, yakni hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekkah ke Madinah, yakni dari dar kufur menuju dar Islam guna menjalankan syariat Allah SWT secara menyeluruh mulai dari pemerintahan yang Rasulullah pimpin langsung.
Peringatan 1 muharam yang tiap tahun kita lakukan, jangan sampai hanya seremonial semata tanpa pengaruh berarti sebagaimana hakikat dibalik peristiwa 1 muharam yakni hijrah yang sejati, berpindah dari aturan kufur menuju aturan Islam.
Kata “hijrah” sendiri merupakah isim (kata benda) dari fi’il “hajara” yang berarti tarku al-ulaa li ats-tsaniyah (meninggalkan dari yang pertama menuju yang kedua). Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 218)
Dalam ayat lain disebutkan, “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa: 100)
Menurut Imam Al-Jurjani, hijrah berarti berpindah dari dar kufur menuju dar Islam. Menurut Ibnu Hazm, hijrah adalah tobat meninggalkan segala dosa. Sedangkan menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, hijrah berarti meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai, dan mendapatkan kebaikan.
Patutlah kita merenungi secara mendalam makna hijrah sebagaimana Rasulullah ﷺ sampaikan, “Seorang muslim adalah orang yang menjadikan muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah.” (HR Bukhari, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Hakim, Ibnu Hibban, Humaidi)
Fenomena hijrah patut kita apresiasi, namun harus terus kita dorong agar hijrah tidak sebatas pada individu mereka. Semangat hijrah bagi seorang muslim adalah bersegera melaksanakan seluruh perintah Allah SWT sampai tataran negara.
Harus kita pahami bahwa saat ini negeri kita belum hijrah, sejak kemerdekaan Indonesia kita belum banyak berubah. Justru kian hari kian mengkhawatirkan, Indonesia dalam ancaman kehancuran. Buktinya adalah:
Pertama, dari segi politik. Indonesia masih menerapkan sistem demokrasi. Sistem ini menghasìlkan pemerintahan yang korup. Karena pemilu mahal biayanya, jika jadi maka peluang korupsi menjadi impian balik modal, jika tidak jadi stres dan kebangkrutan menjadi resikonya. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2021, Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara. Sementara itu, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, Indeks Perilaku Antikorupsi berada di kisaran 3,88%. (Katadata, 08/02/2022).
Kedua, dari segi ekonomi. Sistem kapitalis yang negeri ini terapkan telah melanggengkan para kapital atau pemodal memiliki peran utama pengendali harga barang-barang dipasaran, sedangkan pemerintah hanya sebagai regulator, yakni berperan membuat kebijakan yang sesungguhnya kebijakan itu kembali lagi berpihak kepada para kapital. Maka tak heran jika dalam sistem kapitalis sekarang harga-harga melambung tinggi tidak terkendali, bisa-bisa negeri ini rusuh seperti di srilangka. Rakyat terus menjadi tumbal pemuas kerakusan penguasa dan pengusaha. Rakyat makin di injak-injak dan terjepit, hingga meninggalkan keluarga dan agamanya demi uang untuk menyambung hidupnya. Sungguh miris.
Ketiga, dari segi sosial. Sistem sekuler telah merusak tatanan bermasyarakat mulai dari akarnya. Pergaulan makin bebas tanpa batas antara laki dan perempuan. Generasi makin masif dihancurkan secara terencana lewat kurikulum sekuler dalam sekolahnya. Hingga makin menggunung kita jumpai kasus aborsi, LGBT, perundungan berakibat kematian, zina, narkoba, mabuk, judi hingga bunuh diri. Remaja kreatif dan inovatif namun arahnya kepada hedonistik dan liberal justru dipuji dan difasilitasi, namun remaja taat dan ahli ibadah justru dipersekusi dan di awasi sebagai calon teroris yang membahayakan negara.
Keempat, dari segi hukum. Sudah jamak kita ketahui hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Terhadap rakyat biasa, hukum sangat tegas. Namun, terhadap penguasa, hukum mudah dikangkangi kepentingan. Bahkan, yang lebih parah, hukum dijadikan alat pukul bagi siapa pun yang berseberangan dengan penguasa. Inilah lemahnya hukum buatan manusia. Tidak bisa memberikan keadilan dan jaminan perlindungan bagi seluruh warga negaranya. Inilah buktinya bahwa mengandalkan hukum buatan manusia, kesengsaraan dan ketidakadilaan akan terus terjadi.
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Seorang mukmin tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.”
Hadits diatas menjadi cambuk bagi kita kaum muslim, kesengsaraan yang kita alami saat ini jangan dibiarkan terus berulang dan berulang sampai anak keturunan. Pemimpin silih berganti tapi kondisi kita malah semakin jauh dari Allah SWT, justru makin terhinakan. Oleh karenanya, mari jadikan peristiwa hijrah sebagai bekal melakukan perubahan secara fundamental, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial, hukum, maupun pemerintahan, yakni perubahan menyeluruh menuju tegaknya sistem Islam kafah.
Sebagaimana hijrahnya Rasulullah saw., berpindah dari sistem kufur menuju sistem Islam, maka kita patut meneladani beliau. Berjuang memahamkan umat agar turut berjuang dengan senang hati dan ikhlas demi terterapnya aturan Islam. Inilah hakikat hijrah yang sesunggguhnya.
Wallahu a'lam.