Mengusung Calon yang Benar dalam Demokrasi, Hanya Ilusi!




Oleh : Nabila Sinatrya

Pemilu terlihat masih lama tapi gaungnya sudah nyaring sampai hari ini, beberapa partai politik sudah mulai menyiapkan dan menentukan calon yang akan diusung pada pilpres 2024 mendatang. Bahkan saling tuding dalam satu anggota partai untuk mendapatkan kedudukan nantinya. Segenap daya dan dana dikeluarkan agar bisa mendapatkannya. Calon pemimpin harus menyiapkan dana yang cukup besar untuk bisa menduduki kursi jabatan. 
 
Sudah menjadi rahasia umum juga untuk menjadi calon pemimpin tidak gratis, biaya yang cukup tinggi harus dikeluarkan. Dilansir dari djpb.kemenkeu.go.id/2019 dalam artikel “pemilu itu mahal, kawan” yang ditulis oleh Kepala KPPN Makassar I, Saor Silitonga mengatakan bahwa Dalam Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) tahun 2019 tercatat Rp 427,1 miliar sebanyak 79,1% berasal dari sumbangan caleg sedangkan parpol hanya berkontribusi 20,9% saja. 
Dalam Demokrasi yang berasaskan Kapitalisme menyuburkan politik transaksional. Sekjen Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Djayadi Hanan menjelaskan politik transaksional tidak hanya terjadi antara pemilih dengan calon yang dipilih, tapi juga antara calon yang akan diusung oleh partai politik dengan partai politik itu sendiri, Kompas.tv/16/06/2022. Hal ini akan sulit dihilangkan karena dana yang dibutuhkan untuk mencalon diri cukup besar, sehingga seringkali didominasi sumbangan dari individu dan kelompok lainnya. 
 
Dampak dari politik transaksional ini akan melahirkan para pemimpin yang gila kekuasaan untuk mendapat keuntungan dari modal yang sudah dikeluarkan. Kapabilitas dan komitmen terhadap rakyat dihiraukan. Demokrasi sejatinya tidak terlepas dengan proses-proses transaksi antara satu pihak dengan pihak yang lain. Di awal pemilihan, para pemilik modal menyumbang dana dengan harapan calon yang diusung bisa duduk dikursi kekuasaan. Ketika sudah terpilih, timbal baliknya dengan memberikan kebijakan yang pro terhadap pemilik modal. Tak cukup sampai disitu, Ketika keuntungan yang didapat tak cukup besar, korupsi dijadikan langganan.
 
Itulah mengapa dalam mengatur kehidupan bermasyarakat tidak cocok jika menggunakan aturan yang dibuat oleh manusia. Manusia adalah makhluk yang lemah, jangkauan akalnya juga lemah, tak heran aturan yang disusun semakin menambah persoalan yang lebih rumit. Sehingga hak pembuat hukum hanya Allah SWT. 
 
Sistem Islam (Khilafah) tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin rakyat, tidak ada pula politik transaksional. Karena setiap kepemimpinan adalah amanah besar yang kelak akan dipertanggung jawabkan, juga menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam menjalankan proses pemilihan. Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz II bab “Syarat-Syarat Khalifah”, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa seorang khalifah wajib memenuhi tujuh syarat yaitu muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas-tugas kekhalifahan.  
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari)
 
Pemilihan kepala daerah juga berbeda dengan demokrasi, dimana kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat melainkan diangkat oleh khalifah. Demikianlah yang Rasulullah SAW contohkan dan juga diamalkan oleh para khalifah dari kalangan sahabat, sehingga kita pun wajib mengamalkannya. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak