Oleh : Sindy Utami, SH.
Perempuan dalam Ranah Politik
Sejumlah organisasi perempuan di Banyumas, mengapresiasi langkah Bawaslu yang melibatkan pernanan perempuan dalam pemilu.
Sebelumnya, Bawaslu Kabupaten Banyumas menggandeng sejumlah organisasi perempuan, untuk dibekali edukasi politik, dan pengawasan pemilu, menjelang pemilu 2024.
Ketua Organisasi PC Muslimat NU Sokaraja Muslimah menjelaskan Senin (20/6/2022), dirinya mengapresiasi langkah tersebut, pasalnya perempuan saat ini memang memerlukan wadah untuk turut berpartisipasi aktif dalam pemilu.
Ia melanjutkan, nantinya pada organisasinya dirinya akan mengedukasi anggotanya, untuk turut mengawasi jalanya pemilu 2024 mendatang, agar dapat membantu menciptakan iklim positif dlaam pemilu, seperti terbebas dari money politik.
“Dari kegiatan kemarin kami mendapat bekal untuk terus mengedukasi bagi anggota kami agar turut mensukseskan pemilu 2024 yakni terbebas dari money politik” ungkapnya. (rri.co.id 20 Jun 2022)
Perempuan dan Politik dan Bias Kesetaraan Gender
Demokrasi konon mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta perempuan dan laki-laki atas dasar persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama posisi pengambilan keputusan. Hal ini telah juga telah termaktub dalam Platform Aksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan segala bentuk Diskrimasi terhadap Perempuan (Convention on the Ellimination of All Form of Descrimination Against Women /CEDAW).
Grace Natalie seorang politikus PSI mengatakan bahwa Persoalan perwakilan dalam politik menjadi penting Manakala telah adanya sebuah kesadaran bahwa dalam kehidupan sehari-hari tidak adanya keterwakilan Perempuan yang terlibat langsung secara proporsional dalam politik. Hal tersebut cukup miris, mengapa? Karena dilihat dari komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan yang hampir berimbang. Sementara bentuk keterwakilan perempuan di legislative masih sangat minim. Sehingga merangkum hal tersebut sangat perlu adanya sebuah revolusi paradigma perempuan dalam politik serta kesetaraan gender.
Kaum feminisme yang peduli pada pentingnya kesetaran gender dalam membantu watak bangsa, menuntut perubahan yang progresif antara posisi perempuan, seperti tercermin dalam polemik isu poligami, isu kekerasan dalam rumah tanggal, isu hak-hak reproduksi perempuan atau isu peraturan daerah pelacuran. Menurut Gadis Alivia (2005) hampir seluruh regulasi yang terkecil dengan soal perempuan mengandung bias gender, sebab dalam struktur patriarkis konstruksi sosial-budayaa perempuan kerap digunakan sebagai alat legitimasi politik.
Posisi perempuan memiliki tempat strategis untuk mengurusi urusan umat. Melakukan pendidikan politik pada umat agar melek politik dan mendidik generasi. Contohnya termasuk mengoreksi penguasa. Peran strategis perempuan banyak tidak melulu harus bertarung untuk mendapatkan kepemimpinan. Ada teori kesesuaian peran, mengasumsikan bahwa kesulitan perempuan masuk ke ranah kepemimpinan adalah ketimpangan, kepemimpinan perempuan dianggap feminin dan laki-laki dianggap maskulin.
Ada 4 tipologi berdasarkan research di masyarakat. Pertama, religion political feminity. Yaitu, perempuan ideal tidak diperbolehkan bekerja di ranah publik apalagi menjadi pemimpin.
Kedua, etical feminity. Yakni, perempuan boleh menjadi pemimpin di ranah publik, ada batasan tertentu perempuan sebagai patner laki-laki. Akan tetapi tidak meninggalkan peran utama perempuan sebagai ibu.
Ketiga, equal feminity. Yakni, pandangan setara antara perempuan dan laki-laki. Mendorong perempuan untuk berkiprah di ranah publik termasuk menjadi pemimpin.
Keempat, empower feminity. Yakni, perempuan sebagai super hero. Dia mampu memimpin dan bahkan berkompetisi dengan laki-laki. Akar persoalan masalah perempuan bukan pada kekosongan kepemimpinan perempuan. Hal ini karena adanya partisipasi perempuan 30 persen justru kekerasan perempuan dan anak semakin meningkat. Agenda global kesetaraan untuk kesejahteraan belum terbukti hingga hari ini.
*Islam dan Peran Strategis Perempuan*
Kaum perempuan dan umat secara keseluruhan semestinya paham soal konstelasi politik internasional hari ini. Hubungan yang dibangun oleh negara adidaya pengusung kapitalisme dengan negara berkembang terutama negeri-negeri Islam sejatinya jauh dari kata “kerja sama” atau kata “saling membela”.
Watak sejati paham kapitalisme adalah destruktif eksploitatif. Spirit menguasai dan menjajah lahir dari paham kebebasan dan sekularisme yang menjadi asas ideologinya. Wajar jika kesenjangan sosial di tengah masyarakat dunia cenderung makin lebar. Sementara kerusakan lingkungan dan moral senantiasa mengiringi apa yang mereka sebut sebagai kemajuan iptek, industrialisasi, dan modernisasi.
Bagi mereka, tak ada kata halal dan haram. Berbagai strategi digunakan untuk mengeruk keuntungan. Termasuk dengan menjadikan kaum perempuan sebagai alat atau jalan menyukseskan penjajahan.
Salah satu senjatanya adalah pengarusderasan ide pemberdayaan ekonomi dan politik perempuan. Melalui gagasan ini kaum perempuan digiring untuk sedikit demi sedikit menanggalkan peran strategisnya sebagai ibu pencetak generasi cemerlang. Lalu mereka dilibatkan secara penuh dalam proyek-proyek pembangunan ekonomi dan politik di bawah arahan para kapitalis secara global. Sebagai tenaga kerja sekaligus ceruk pasar.
Saat tenaga dan waktu mereka diperas, mereka diiming-imingi dengan kata “berdaya” dan “produktif” yang dinilai dengan ukuran-ukuran material. Padahal saat mereka punya daya beli, mereka otomatis menjadi ceruk pasar potensial bagi produk-produk industri para kapitalis. Begitu pun saat mereka punya posisi politik tinggi, suara mereka tetap saja merepresentasi kepentingan para pemodal yang mensponsori kursinya sendiri.
Terbukti, sejak gagasan ini digaungkan dan perempuan berhasil diberdayakan, persoalan-persoalan masyarakat, termasuk masalah yang diklaim sebagai masalah perempuan, tetap saja tidak kunjung selesai. Apa yang menjadi isu global pun tetap saja tidak mampu dikendalikan.
Problem krusial yang berakar dari hegemoni kapitalisme global dengan mendorong para puan untuk go international hanya dapat diselesaikan dengan menumbangkan sistem batil ini. Lalu menggantinya dengan sistem Islam yang tegak di atas asas iman dan memiliki tata aturan yang menyolusi seluruh problem kehidupan sesuai fitrah penciptaan.
Sistem ini terbukti telah membawa umat dan dunia pada kesejahteraan, serta diliputi rahmat dan keberkahan. Terlebih Islam telah memberikan kaum perempuan agenda pemberdayaan secara hakiki. Yakni dengan menempatkan mereka pada posisinya yang strategis dan mulia, sebagai ibu arsitek generasi cemerlang.
Posisi inilah yang kini sedang menjadi target penghancuran musuh-musuh Islam. Karena siapa pun mengakui, di balik sejarah tegaknya peradaban emas Islam yang tak tertandingi, ada profil generasi emas yang dididik oleh perempuan-perempuan muslim sejati. Perempuan tetap bisa produktif dalam sistem yang berlandaskan pada Syariah. Contoh beberapa tokoh perempuan yang berpengaruh antara lain Fatima al-Fihri pendiri universitas pertama di dunia, Sutayta al-Mahmali sosok ilmuwan muslim perempuan, Gevher Nesibe Sultan perempuan muslim di ilmu medis, Al-Ijliya perempuan berjasa dalam astrolab, Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah ibunda dari Abu Abdullah Muhammad Idris Asy syafi’i atau kerap dipanggil dengan Imam Syafi’i yang berhasil mendidik anandannya sehingga beliau (Imam Saya Syafi'i) dikenal sebagai salah satu imam mazhab empat, yang dikenal memiliki khazanah keilmuan yang begitu luas. Bahkan, mayoritas masyarakat Indonesia sendiri memilih pendapat beliau sebagai mazhab utamanya.
Ijtihad hukum Imam Syafi’i juga begitu berkembang di Mesir melalui wasilah Salahuddin Al-Ayyubi sampai saat ini. Pemikiran beliau, nyatanya begitu sesuai dengan kemodernisasian dari zaman ke zaman, karena tidak berpihak ke kanan maupun ke kiri.
Dari usia tujuh tahun, Syafi’i kecil telah selesai mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya dengan fasih dan mutqin. Bahkan, beliau pernah pada suatu ketika mengkhatamkan hafalan qur’annya sebanyak 16 kali dalam suatu perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Tidak cukup sampai disitu, setahun kemudian kitab Al-muwatha’ karya Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan, juga berhasil dibabat habis oleh Imam Syafi’i diluar kepala.
Pada umurnya yang ke-15, ia telah diangkat menjadi mufti kota Mekkah dan telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Dan karya-karya besarnya sampai saat ini, masih diakui dan menjadi rujukan utama di seluruh penjuru dunia.
Syahdan, berangkat dari pencapaian-pencapaian luar biasa dari sosok Imam Syafi’i ini, tentunya tidak terlepas dari peran utama sang ibunda yang merupakan madrasatul ula bagi Syafi’i kecil. Ma Sya Allaah.
Wallahu'Alam Bish shawwab
Tags
Opini