Matikan Mikrofon, Mungkinkah Penguasa Anti Kritik ?

Oleh : Imroatus Sholeha ( Relawan Opini) 

Ketua DPR RI Puan Maharani kembali menjadi sorotan karena kembali mematikan mikrofon anggota dewan yang sedang melakukan interupsi. Putri Megawati tersebut mematikan mikrofon saat pimpin rapat paripurna DPR yang digelar pada Selasa (24/5/2022). Aksi matikan mikrofon tersebut juga dilakukan Puan Maharani pada tahun 2020 lalu.

Hanya saja 'korban' Puan Maharani tahun 2020 dan tahun 2022 berbeda. Mereka juga berasal dari fraksi berbeda. Kini, Komisi VI DPR asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Amin AK yang dimatikan mikrofonnya saat instrupsi. Saat itu, Amin tengah menyampaikan interupsi dan menyinggung ihwal penting. Amin mempersoalkan kekosongan hukum ketiadaan pengaturan mengenai L687 dalam KUHP.

Sementara pada tahun 2020 lalu, Puan Maharani mematikan mikrofon (mic) saat politikus Partai Demokrat, Irwan atau Irwan Fecho, sedang interupsi. Saat itu DPR RI Puan juga memimpin rapat paripurna pengesahan UU Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu.

Dalam sebuah tayangan menampilkan Puan dan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sempat berdiskusi singkat saat politikus Demokrat bicara "Menghilangkan hak-hak rakyat kecil. Kalau mau dihargai tolong ha.." Irwan belum sempat mengakhiri kalimatnya, Puan sudah mematikan mikrofon.

Mengomentari sikap mengabaikan interupsi itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut bahwa sikap Puan justru merugikan, karena publik dapat menilai sikap tersebut sebagai otoriter (TribunTimur.com) 

Kejadian serupa kembali terulang ketika Puan Maharani memimpin rapat dengan agenda Persetujuan Jenderal TNI, Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, pada November 2021 yang lalu. Saat itu Anggota Komisi X dari Fraksi PKS, Fahmi Alaydroes mengajukan interupsi dan memohon agar Puan tidak menutup rapat dan memberinya waktu sebentar. 

Lagi-lagi Puan tidak menggubris dan lalu mematikan mikrofon. Setelah itu ia langsung menutup jalannya rapat dengan mengetuk palu sebagai tanda berakhirnya rapat, (Suara.com) 

Sangat disayangkan tindakan seperti ini dilakukan oleh pimpinan rapat yang berstatus sebagai ketua DPR-RI. Tentu ini bertentangan dengan nilai pancasila yang ke-tiga, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab yang di gembor-gemborkan harus di amalkan, sebab hal ini menunjukan hilangnya adab dalam musyawarah. Mirisnya lagi, terjadi dalam negara Demokrasi yang katanya menjamin HAM. 

Nyatanya, kebebasan berpendapat di dalam Demokrasi bersifat Multitafsir. Kebebasan Berpendapat berlaku bagi orang-orang yang sekubu atau sejalan dengan Pemerintah. Sedangakan, bagi yang berseberangan/Oposisi hal ini tidak berlaku. Bahkan, bagi orang-orang yang menentang kebijakan penguasa tak jarang mendapat tekanan dan dibungkam. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, diluar itu, rakyat kembali gigit jari. 

Inilah potret buruk negara Demokrasi yang bersumber dari akal manusia yang lemah, terbatas, dan serba kurang. Aturan dibuat bisa berubah kapan pun, disesuaikan dengan kondisi atau kepentingan pihak tertentu, terutama penguasa dan pengusaha. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang diteken pemerintah yang lebih pro terhadap para pemilik modal ketimbang kepentingan dan hak rakyat. Karena sistem ini berada dalam kubangan kapitalisme, dimana pemilik modalah yang berkuasa. 

Seorang pemimpin tidak boleh bersikap anti kritik atau abai terhadap masukan. Baik dari kalangan politik maupun rakyat biasa. Apalagi, jika hal itu berkaitan dengan hak-hak rakyat yang belum ditunaikan, maupun terkait hukum bagi pelaku perbuatan keji. Karena sebagai manusia tentu berpeluang melakukan kesalahan, apalagi seorang pemimpin tentu tak terlepas dari itu. Namun, saat ini tak jarang kekuasaan/jabatan yang dimiliki disalahgunakan. Tak jarang juga dalam sistem Demokrasi saat ini penguasa bersikap culas dan sulit menerima kritikan.  Padahal seyogianya, menjadi seorang pemimpin berarti harus siap menerima masukan dan kritikan terkait kepemimpinannya. 

Berbeda dengan sistem Islam. Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk seluruh manusia. Tak hanya untuk satu kaum saja, didalamnya terdapat kebaikan untuk semua manusia. Akidah Islam bersifat universal dan aturan-aturannya berlaku global. Dalam Islam terdapat syariat untuk seluruh persoalan kehidupan. Di dalam Islam seorang penguasa (khalifah) adalah penanggung jawab (qawam) dalam mengelola seluruh urusan rakyat dengan berlandaskan hukum Islam tersebut. Juga bertanggung jawab dalam mencegah berbagai kemungkaran,  baik yang dilakukan oleh individu maupun jama'ah. 

Rasulullah bersabda: “Imam itu adalah penggembala dan dia bertanggung jawab atas apa yang digembalakannya.” (HR Muttafaq alaih)

Allah SWT telah memberikan kewenangan kepada penguasa (khalifah) untuk memaksa manusia,  melaksanakan segala kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Allah juga memerintahkan penguasa untuk mencegah manusia dari upaya mengerjakan yang haram. Dan jika diperlukan boleh  mempergunakan kekuatan untuk memaksa mereka agar melaksanakan kewajibannya dan mencegah dari perbuatan yang mungkar. 

Namun, jika penguasa melakukan kemungkaran, seperti berbuat zalim, memakan harta rakyat, melalaikan urusan rakyat, meremehkan sebagian kewajibannya, melanggar salah satu hukum syariat, dan berbagai kemungkaran lainnya, maka seluruh elemen masyarakat berkewajiban mengingatkan dan memberi masukan/kritik, serta berusaha melakukan perubahan baik individu maupun jamaah. Jika umat Islam berdiam diri atas kemungkaran yang terjadi, maka mereka akan berdosa. 

Rasulullah SAW memuji tindakan mengkritik penguasa dzalim, dalam sabdanya Rasulullah SAW berkata : 
 “Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya.” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath). 

“Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kebenaran di hadapan penguasa zalim.” (HR Ibnu Majah dan An-Nasa’i)

Juga firman Allah Swt. dalam ayat, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [03]: 104).

Keberadaan kritik bagi penguasa adalah fitrah. Sebab, manusia tempatnya salah dan lupa. Di dalam pemerintahan Islam, terdapat struktur Majelis Umat sebagai tempat rujukan bagi Khalifah (Pemimpin) untuk meminta nasihat mereka dalam berbagai urusan. Majelis Umat ini mewakili sejumlah kalangan masyarakat. Mereka melakukan kontrol dan muhasabah pada penguasa (muhasabah lil hukam). Dengan tujuan menyampaikan pengaduan tentang kedzaliman penguasa kepada rakyatnya. Jika kezaliman terus berlanjut, maka akan di tangani oleh Mahkamah Mazalim yang memiliki wewenang untuk mengadili dan menjatuhkan sanksi kepada penguasa atas kedzliman yang terjadi. 

Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Umat sama seperti khalifah berlandaskan kepada syariat Islam. Anggota Majelis Umat harus terdiri dari  orang-orang yang amanah, karena mereka adalah representasi dari rakyat. Agar kritik dari rakyat dapat sampai ke telinga penguasa dan sebagai penguasa harus berlapang dada dalam menerima kritik , selama untuk kebaikan dan menyandarkan semuanya pada hukum syara, bukan hawa nafsu semata. 

Muhasabah penguasa pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Khalifah Umar pernah dikritik seorang perempuan setelah beliau menyampaikan ketentuan terkait uang mahar. Peristiwa tersebut terekam dalam kitab tafsir Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur karya Syekh Jalaluddin as-Suyuthi. Dan sikap khalifah Umar pada saat itu berlapang dada mengakui kesalahannya  dan membenarkan ucapan perempuan tersebut. 

Demikianlah seorang pemimpin seharusnya, menerima jika dikritik dan memperbaiki kesalahannya. Mekanisme seperti ini hanya ada dalam sistem Islam yang berjalan sempurna diatas akidah yang lurus, ditegakkan atas dasar keimanan kepada Allah SWT. Jangan ada keraguan untuk mengambil Islam sebagai rujukan dalam seluruh aspek kehidupan, karena hanya hukum islam yang terbaik dan sesuai fitrah manusia sebab berasal dari zat yang maha sempurna yakni Allah SWT. Wallahualam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak