Oleh: Dini Koswarini (Mahasiswi)
Pada tahun 2018, Data Riskesdas (riset kesehatan dasar) menunjukan jika banyaknya remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental. Gejala yang ditunjukkan diantaranya depresi dan kecemasan dengan rentan usia 15 tahun ke atas mencapai 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia, atau setara dengan 11 juta orang.
Depresi berat akan mengalami kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri. Bahkan sebesar 80-90% kasus bunuh diri merupakan akibat dari depresi dan kecemasan. (Pepustakaan Fakultas Geografi UGM, 27/11/2020)
Meski fakta tersebut diangkat beberapa tahun silam, nyatanya pada tahun 2022 didapati berita kasus remaja yang bunuh diri.
Dikutip dari Hops.ID, seorang siswi di Semarang bernazar bunuh diri jika tidak lolos di PTN impian, kondisi ini pun dipengaruhi faktor sang pacar yang bersikap abusive.
Belum cukup sampai di sana, fakta lainnya di dapati dari sebuah survei yang di lakukan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Teddy Hidayat. Ia mengatakan jika dalam waktu tiga bulan membuktikan tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja.
Ditemukan sebesar 30,5 persen mahasiswa depresi, 20 persen berpikir serius untuk bunuh diri dan 6 persen telah mencoba bunuh diri seperti cutting, loncat dari ketinggian dan gantung diri. (Grid.id/15/5/2022)
Lalu sebenarnya apa sih faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa depresi sampai bunuh diri?
Ternyata hal umum yang menjadi permasalahan mahasiswa ialah tekanan akademis, ketidakjelasan kelulusan, dan ancaman drop out.
Kondisi ekonomi pun ikut serta menjadi faktor yang berpengaruh. Belum lagi ditambah dengan hubungan dengan dosen, orangtua, serta muda mudi. (Grid.id/15/5/2022)
Bagaimana peran negara saat ini?
Sangat disayangkan dan mengherankan jika kini negara tidak mengurusi dan memfasilitasi biaya penderita depresi dan korban bunuh diri, karena dianggap peyakit yang dibuat sendiri.
Padahal nyatanya, kondisi yang demikian dikarenakan banyaknya mahasiswa yang kehidupannya masuk pada taraf ekonomi menengah ke bawah. Jangankan untuk berobat, untuk biaya hidup sehari-hari saja pas-pasan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem kapitalis saat ini menghilangkan peran negara sebagai pengurus dan pelindung masyarakat. Serta sistem ini telah melahirkan para pemimpin yang tidak amanah padahal setiap kepemimpinannya akan dimintai pertanggung jawaban.
Bagaimana Islam memandang hal ini?
Jika melihat pada statusnya, seorang mahasiswa ialah seorang penuntut ilmu yang mana dengan tujuan memiliki ilmu yang mampu mengangkat derajatnya sebagai hamba yang bertakwa. Namun ketika keinginan menuntut ilmu dipersulit dengan berbagai macam faktor, maka jadilah para penuntut ilmu ini mengalami gejala depresi sampai akhirnya bunuh diri.
Sungguh sangat memprihatinkan, padahal jika kita bahas bagaimana tujuan pendidikan dalam Islam, serta peran negara seharusnya itu sangat berkaitan erat.
Sebagaimana tujuan pendidikan ialah mewujudkan peserta didik yang berkepribadian Islam sehingga menjadi sokso yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Bahkan sebenarnya pendidikan merupakan hak individu dan menuntut ilmu itu merupakan kewajiban. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim." (HR Ibnu Majah)
Negara dalam sistem Islam akan memfasilitasi pelaksanaan kewajiban warganya dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Di dalam sistem Islam, kepribadian Islam menjadi tujuan utama dalam pendidikan, sehingga akses Pendidikan pada semua warga negara terjamin dan menghasilkan masyarakat yang kokoh dan sejahtera.
Dengan demikian hanya sistem Islam lah satu-satunya sistem yang mampu menjadi solusi atas semua permasalahan yang di hadapi umat.
Wallahua’alam bi shawab
Tags
Opini