Oleh : Vindy W. Maramis, S.S
(Pegiat Literasi dan Kontributor Opini Islam)
Sesuai tuntunan Syariat Islam, seorang muslim haruslah mengikat diri pada hukum-hukum yang ada dalam Islam. Salah satunya terkait hubungan dengan dirinya sendiri (hablum minan nafsi), yakni berupa pemenuhan jasmani seperti persoalan makan, dan minum.
Syariat telah menganjurkan bagi seorang muslim agar mengonsumsi makanan yang halal lagi baik.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, muslim di Indonesia seharusnya tak khawatir akan kehalalan produk makanan di dalamnya.
Namun benarkah demikian?
Dilansir dari TribunMedan.com (21/6) – Plt Asisten Ekonomi Pembangunan Setdako Medan, Mansursyah dalam Sosialisasi Izin Halal dan Izin Edar Produk Makanan Olahan, di Ruang Rapat III, kantor Wali Kota Medan, Selasa (7/6/2022), mengungkapkan kegiatan ini sangat penting agar para pelaku UMKM bisa mendapatkan informasi yang lengkap dan komprehensif tentang bagaimana cara pengurusan beberapa izin tersebut. Kabar gembiranya adalah, beberapa proses perizinan tersebut bisa didapatkan tanpa biaya alias gratis selama memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tetapi, persyaratan apa saja yang harus dipenuhi belum dijabarkan secara detail.
Apakah hal ini memang merupakan kabar gembira atau malah menimbulkan kecurigaan?
Mengingat persoalan sertifikasi halal ini sudah diambil alih oleh pemerintah melalui kemenag, bukan lagi MUI, maka sejak saat itu pula mulai menurun rasa percaya umat Islam terhadap validasi kehalalan produk olahan makanan yang ada.
Apalagi pemerintahan Indonesia yang menganut sistem kapitalisme ini memang tak menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam bernegara, melainkan untung dan rugi yang dijadikan acuan.
Demi menggenjot produktivitas UMKM, sampai menggratiskan biaya administrasi sertifikat halal. Memang ini akan memudahkan para pelaku usaha mikro, namun tak menutup kemungkinan akan terjadi pengabaian terhadap mutu produk dan kehalalannya.
Pasalnya, menjamin kehalalan produk bukan semata soal pengurusan sertifikasi semata, tetapi juga harus benar-benar dilakukan cek laboratorium dan melibatkan para ahli fiqih yang mengetahui perihal proses dan zat-zat haram dalam produk tersebut.
Kapitalisme yang identik dengan kerakusannya akan profitabilitas tak dapat dipercaya akan menjamin kehalalan produk yang beredar.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang asasnya aqidah Islam. Standar yang digunakan dalam pemerintahan Islam adalah hukum syarak yang bersumber dari Al Qur’an dan AS Sunnah.
Menyoal produk halal, justru dalam Islam tak ada produk olahan makanan yang berlabel halal.
Karena dalam pemerintahan Islam, segala produk yang beredar di masyarakat sudah melalui proses kurasi kehalalan. Sehingga masyarakat, terutama kaum muslimin tidak perlu khawatir dalam mengonsumsi produk olahan makanan yang beredar.
Mengapa bisa demikian, kembali lagi, karena asas yang digunakan dalam pemerintahan Islam bersumber dari hukum syarak, dimana Allah telah memerintahkan manusia agar mengonsumsi segala sesuatu yang halal lagi baik.
Tidakkah kita ingin agar bebas membeli dan mengonsumsi produk yang dijual tanpa rasa khawatir akan kehalalan dan kualitasnya?
Maka sudah semestinya kita mengedukasi masyarakat dengan sempurnanya Islam dalam mengatur kehidupan manusia.
Allhua'lam Bishshawab.
Tags
Opini