Oleh: Putri Efhira Farhatunnisa
Pernikahan beda agama kini tengah menjadi isu yang hangat diperbincangkan, terlebih setelah Pengadilan Negeri (PN) Surabaya melegalisasikannya. Hal ini tentu menuai kontroversi, ada yang pro dan tentu tak sedikit pula yang menentang nikah beda agama ini. Bahkan dalam batas-batas tertentu telah menciptakan keresahan di berbagai kalangan masyarakat, khususnya umat Islam.
Putusan PN Surabaya ini didasarkan antara lain pada Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: (a) perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan (b) perkawinan warga negara asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga negara asing yang bersangkutan. (nasional.sindonews.com 24/06/2022)
Diketahui bahwa pertimbangan hakim mengabulkan permohonan nikah beda agama ini ialah untuk menghindari praktik kumpul kebo dan memberikan kejelasan status sang anak. Pernikahan disebut sebagai penyempurna agama seseorang, namun bagaimana dengan pernikahan beda agama yang kini tengah banyak diperbincangkan?
Derasnya arus paham moderasi beragama dan toleransi, menjadi latar belakang ramainya jalan pernikahan beda agama ini. Menggiring opini publik untuk beranggapan bahwa agama seharusnya tidak menjadi sekat atau halangan di masyarakat termasuk urusan pernikahan. Apalagi ada anggapan bahwa identitas agama seringkali membuat seseorang menampik nilai-nilai kebenaran dari kalangan lain.
Moderasi beragama dan toleransi yang kebablasan ini menjadi angin segar bagi para pejuang cinta beda agama, membuat mereka semakin mantap di jalan salah yang dipilihnya. Nikah beda agama tidak dapat dilegalisasi dengan alasan apapun, termasuk alasan untuk menghindari praktik kumpul kebo seperti yang disebutkan. Kumpul kebo merupakan praktik perzinaan, dan hal tersebut dilarang dalam Islam.
Namun pernikahan beda agama pun adalah hal yang dilarang dalam Islam, pernikahannya dianggap tidak sah sehingga hubungan mereka dianggap sebagai zina. Pernikahan merupakan ibadah terpanjang untuk semakin mendekatkan diri pada Sang Ilahi, tak lain untuk menggapai ridla Allah SWT. Lalu bagaimana bisa kita mendapatkan ridla dari Allah ketika keyakinannya saja sudah berbeda? Allah melarang pernikahan seperti ini, Ia berfirman :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi laki-laki musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221)
Ada pula terkait kejelasan status sang anak, telah jelas bahwa sang anak tidak dapat dinasabkan pada ayahnya, karena secara hukum Islam tidak pernah terjadi akad pernikahan. Dalam artian seperti yang telah dipaparkan tadi bahwa pernikahannya tidak sah dan hubungannya dianggap zina sampai keduanya beriman, dan sudah kita ketahui bahwa anak hasil perzinaan dinasabkan pada ibunya.
Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam menyatakan tentang anak zina:
ِلأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
"(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada…"
Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, kitâbuth Thalâq, Bab Fi Iddi’â` Walad az-zinâ no. 2268. (Shahîh Sunan Abi Dawud no. 1983)
Romantika pasangan beda agama tidak lantas mengubah hukum syari'at. Telah jelas bahwa muslim dan muslimah tidak dapat menikah dengan non-muslim, bahkan disebutkan bahwa menikah dengan budak muslim lebih baik daripada menikah dengan non-muslim. Selain melanggar aturan Allah, pernikahan model ini akan banyak menghasilkan mudharat. Allah SWT tentu Maha Mengetahui, apa yang terbaik untuk kita, maka Allah menurunkan Islam untuk mengatur kehidupan.
Perizinan pernikahan model ini menjadi bukti tidak adanya peran negara dalam pemeliharaan akidah dan perzinaan hingga terjaganya nasab. Beginilah kekacauan yang terjadi ketika Islam tidak diterapkan sebagai sebuah ideologi negara. Pernikahan yang seharusnya menjadi jalan untuk mendekatkan diri pada Sang Khaliq, malah dibiarkan menjadi alat untuk menentang syari'at-Nya seperti ini. Wallahua'lam bishshawab.
Tags
Opini