Ketika Jantung Demokrasi Terbunuh oleh Dirinya Sendiri



Oleh : Sindy Utami, SH.



Penembakan di Parade Hari Kemerdekaan AS

Polisi mengumumkan telah menangkap seorang tersangka penembakan di Chicago Highland Park, Senin (4/7/2022). Enam orang tewas dan 36 orang lainnya terluka ketika seorang pria dengan senapan berkekuatan tinggi melepaskan tembakan dari atap pada parade Hari Kemerdekaan AS, Fourth of July.

Polisi mengkonfirmasi bahwa mereka menangkap Robert E. Crimo III (22 tahun) yang berasal dari daerah tersebut. Sebuah video dari ABC News merekam polisi terlihat mengelilingi sebuah mobil dan kemudian Crimo keluar dari kendaraan dengan tangan terangkat. Crimo terbaring di jalan sebelum polisi menahannya.

Penembakan itu menyebabkan kepanikan bagi penduduk yang menghadiri parade. Ada anak-anak yang meninggalkan sepeda roda tiganya dan orang tua berlari menyelamatkan diri bersama anak-anak mereka.

"Kedengarannya seperti kembang api yang meledak," kata pensiunan dokter Richard Kaufman yang berdiri di seberang jalan dari tempat pria bersenjata itu melepaskan tembakan. Ia mengaku mendengar sekitar 200 tembakan. (Republika.co.id 05 Juli 2022)

Saat Jantung Demokrasi Meramu Kepemilikan Senjata dalam Regulasi

Penembakan itu datang ketika di benak banyak orang Amerika masih hangat mengingat kasus kekerasan senjata seperti yang terjadi pada 24 Mei lalu yang dipilih 19 anak sekolah dan dua guru di sebuah sekolah dasar di Uvalde, Texas. Sebelumnya pada 14 Mei juga terjadi serangan bersenjata yang siap 10 orang di sebuah toko kelontong di Buffalo, New York.

Presiden Joe Biden sendiri menyuarakan keterkejutannya. Ia bersumpah untuk terus memerangi "epidemi kekerasan senjata" yang melanda negara itu.

"Saya tidak akan menyerah," katanya dikutip AFP.

Pekan lalu, Biden sendiri telah menandatangani undang-undang federal pertama yang signifikan tentang keamanan senjata dalam beberapa dekade. Ini beberapa hari setelah Mahkamah Agung (MA) AS memutuskan bahwa orang Amerika memiliki hak mendasar untuk membawa pistol di depan umum.

Menurut situs Arsip Kekerasan Senjata AS, penembakan telah menjadi krisis kekerasan senjata di AS. Di mana ada sekitar 40.000 kematian per tahun disebabkan oleh senjata api.

Menurut data yang sama, ada 309 penembakan massal yang terjadi di AS sejauh ini pada 2022. Di hari yang sama, terdapat pula tiga kasus penembakan lain, meskipun tanpa korban jiwa.

Namun, bagaimana polemik kepemilikan senjata ini akan mampu mendapatkan solusi terbaik? Pada hari kemerdekaan yang sakral bahkan justru terjadi tragedi yang mengerikan tersebut. Padahal hari kemerdekaan pada umumnya dipahami sebagai sesuatu yang sangat dihormati.

Hari Kemerdekaan Amerika Serikat (Independence Day atau Fourth of July) adalah hari libur federal setiap tanggal 4 Juli di Amerika Serikat untuk memperingati disahkannya Deklarasi Kemerdekaan oleh Kongres Kontinental Kedua pada 4 Juli 1776. Deklarasi tersebut merupakan proklamasi kemerdekaan Tiga Belas Koloni dari Kerajaan Britania Raya. Hari Kemerdekaan AS biasanya dirayakan dengan pesta kembang api, parade, barbekyu, karnaval, piknik, konser, pertandingan bisbol, pidato politik, serta berbagai kegiatan dan upacara resmi yang berkaitan dengan sejarah, pemerintahan, dan tradisi Amerika Serikat.

Di mana tidak terbayangkan terjadi penembakan yang mengerikan terjadi dalam parade hari kemerdekaan yang dalam bayangan seharusnya semarak dan meriah. Kembali lagi pada keterkejutan Joe Biden pada peristiwa tersebut, serta keseriusan orang nomor satu di Amerika tersebut dalam memerangi epidemi kekerasan senjata? Permasalahan nya adalah regulasi tersebut sulit diramu dalam negara yang kadung memahami kebebasan sebagai segala-galanya.

Regulasi kepemilikan senjata di AS dapat kita telusuri dimulai dari deklarasi HAM. Pada 15 Desember 1791, AS mengesahkan undang-undang yang dikenal sebagai Bill of Rights. Beleid ini berisi 10 perubahan pertama konstitusi AS yang menegaskan hak-hak dasar warganya.

Atas dasar hukum itulah, kepemilikan senjata setara dengan kebebasan berekspresi, pers, beragama, atau berkumpul.

Pada tahun 1791, AS baru menguasai sekitar sepertiga dari wilayah mereka saat ini. Ketika itu mereka ingin memperluas wilayah ke barat.

AS pada masa itu juga baru saja mengalahkan pasukan Inggris dalam Perang Kemerdekaan (1775-1783). Dalam perang melawan Inggris itu, milisi alias kelompok warga bersenjata memainkan peran penting.

Milisi adalah sekelompok orang yang awalnya berkumpul untuk melindungi komunitas, kota, dan koloni mereka. Saat AS mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1776, mereka akhirnya berperan untuk mempertahankan kepentingan negara bagian.

Senjata panjang utama mereka adalah musket, yaitu perangkat infanteri yang digunakan hingga abad ke-19, dengan jarak tembak efektif sekitar 100 meter dan dapat ditembakkan setidaknya tiga kali dalam satu menit. 

Pada saat itu, ketika identitas budaya Amerika sedang ditempa, banyak kalangan melihat tentara reguler sebagai instrumen untuk melayani kekuasaan. Tentara juga dipandang memiliki kemampuan untuk menindas warga negara.

Oleh karena itu, tidak sedikit warga AS yang percaya bahwa cara terbaik untuk membela diri dari tentara adalah dengan memiliki senjata sendiri dan, jika perlu, mengorganisir diri menjadi milisi.

Bahkan, kaum antifederalis (penentang pemerintah pusat yang kuat) menolak keberadaan tentara profesional, meskipun militer didirikan antara lain untuk dikerahkan jika terjadi perang melawan musuh asing.

Jadi, setelah Undang-Undang Dasar AS secara resmi diratifikasi pada tahun 1788, James Madison, salah satu "bapak pendiri" dan kemudian presiden Amerika Serikat, merancang Amandemen Kedua dengan tujuan memberdayakan milisi di negara bagian.

Dan walau Amandemen Kedua tidak membatasi kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum melalui penggunaan kekuatan, aturan itu menghilangkan kewenangan untuk melucuti senjata warga negara yang ingin membela diri.


Selama bertahun-tahun, warga yang mendukung kepemilikan senjata sipil merasa amandemen kedua konstitusi AS berhasil menegaskan hak-hak mereka.

"Amandemen kedua penting untuk melindungi hak-hak pemilik senjata yang taat hukum," demikian pernyataan Asosiasi Pemilik Senjata AS (NRA).

NRA, yang memiliki 5,5 juta anggota, merupakan salah satu kelompok kepentingan paling berpengaruh dalam politik AS. Mereka menentang sebagian besar proposal yang hendak mempersulit kepemilikan senjata.

Para pendukung kepemilikan senjata berpendapat, penyataan "hak rakyat untuk menyimpan dan memanggul senjata" dalam Amandemen Kedua menyiratkan hak individu secara konstitusional untuk memiliki senjata api.

Menurut mereka, segala peraturan yang melarang atau membatasi kepemilikan senjata tidak sesuai dengan konstitusi.

Namun, penentang kepemilikan senjata lebih fokus pada bagian pertama dari teks Amandemen Kedua, yaitu pernyataan tentang "milisi yang tertata dengan baik."

Sejumlah pakar hukum dari kelompok ini yakin bahwa perancang konstitusi AS tidak bermaksud memberikan hak individu untuk memiliki senjata. Sebaliknya, menurut mereka, regulasi itu dibuat untuk membangun hak kolektif mempertahankan negara jika diserang negara lain.

Konsekuensi dari pendapat hukum ini, kata para pakar ini, setiap warga AS tidak memiliki hak untuk membawa senjata api. Dan oleh karenanya, otoritas federal, negara bagian, dan pemerintahan lokal dapat mengatur, membatasi atau melarang senjata ini.

Pandangan bahwa "hak untuk memanggul senjata" terkait dengan upaya mempertahankan negara secara kolektif muncul dalam putusan Mahkamah Agung pada tahun 1939.

Merujuk putusan itu, pemerintah negara bagian dan lokal berwenang melarang kepemilikan senjata secara individu, seperti yang terjadi di District of Columbia, Washington DC.

Larangan itu berlaku selama hampir tujuh dekade. Pada tahun 2008, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan dalam gugatan antara pemerintah Washington DC melawan Dick Heller, seorang polisi yang mengajukan gugatan karena dilarang memiliki senjata pribadi.

Mahkamah Agung AS saat itu memutuskan, dalam pemungutan suara di antara hakim agung yang berselisih satu suara, bahwa amandemen kedua Konstitusi AS melindungi hak individu memiliki senjata api untuk penggunaan yang sah.

Putusan itu menyatakan hak ini terbatas. Senjata api yang diperbolehkan tidak termasuk senjata kaliber besar seperti senapan mesin.

Namun Mahkamah Agung memutuskan bahwa pelarangan total terhadap warga negara untuk memiliki senjata adalah inkonstitusional. Pembatasan seperti itu akan dinyatakan melanggar tujuan dari perubahan konstitusi terkait pertahanan diri.

Sejak itu, pengadilan yang lebih rendah harus mendengar banyak tuntutan hukum terhadap larangan senjata serbu, persyaratan pendaftaran, dan larangan membawa senjata yang diberlakukan oleh beberapa negara bagian.

Negeri Paman Sam adalah jantungnya Kapitalisme dengan demokrasi sebagai bagian di dalamnya. Di mana tangan manusia diberi hak untuk meregulasi sekelompok masyarakat. Padahal sejatinya manusia tidak pernah benar-benar paham dengan solusi menyelesaikan masalah. Akan selalu ada pro dan kontra. Sehingga seharusnya aturan itu berasal dari Yang Maha Mengetahui.

Polemik kepemilikan senjata tidak akan usai. Kecuali sistem nya di ganti tidak lagi menjadikan manfaat materi, kebebasan, kesetaraan sebagai pondasi membuat regulasi.

Islam dan Kepemilikan Senjata

Agama Islam tidak melarang umatnya menyimpan senjata. Senjata dibutuhkan untuk membela diri dan jihad. Hukum kepemilikan senjata berdasarkan ayat ayat Kitabulloh, menyibak atsar & riwayat, mengibrohi pendapat ulama Salafus soleh, mencermati fakta fakta sosial, kenyataan kenyataan masa kini adalah sebagai berikut
:

- Wajib hukumnya bagi umat muslim menguasai senjata api, manakala umat muslim menjauhi senjata api, sama seperti melumpuhkan kekuatannya sendiri, itu perbuatan dosa besar

-          Niat apa menguasai senjata api ini, yakni buat membela diri, mempertahankan hak-hak, membela kepentingan Islam & umat, bukan buat kepentingan kejahatan seperti mana urusan kaum kriminal

-          Sudah lazim kita ketahui pemerintah sekuler atau aparat keamanan sekuler tak peduli dengan nasib Islam dan nasib umat muslim, maka dari itu kita wajib membela diri sendiri, saat mana tak ada kekuatan negara yang bisa di harapkan bantuannya

-          Memiliki, menyimpan, memakai senjata api di wilayah hukum Indonesia ialah melanggar hukum yang berlaku. Maka dari itu pandai pandailah umat muslim menyimpan senjata biar tak ketahuan aparat berwenang

-          Umat muslim wajib itu memiliki, menyimpan, memakai senjata, biar kekuatannya pulih lagi, biar negara-negara kafirin tak lagi menindas kita. Manakala senjata ini di abaikan para kafirin akan menguasai negara lagi, seperti masa masa dewasa ini

Sehingga telah jelas, meski kepemilikan itu diperbolehkan akan tetapi diperuntukkan untuk kepentingan umat atau dalam lain kata untuk kepentingan publik semata. Serta digunakan untuk membela diri dalam kondisi terdesak. Sehingga dalam hal ini ada standar yang jelas. Sedangkan jika terjadi penyalahgunaan senjata yang mengakibatkan hilangnya nyawa maka akan dikenakan pidana pembunuhan yang diatur secara eksplisit. 

Ketika seseorang membunuh orang lain dengan sengaja, ada tiga hak yang terlibat di sana, hak Allah, hak korban, dan hak wali (keluarga) korban.


Wali korban bisa menuntut hukuman pancung untuk pelaku pembunuhan. Pelaksanaan hukuman ini HANYA bisa dilakukan oleh pemerintah. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk melaksanakan qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….” (Qs. al-Baqarah: 178).

Islam memotivasi agar pihak ahli waris korban menggugurkan hukuman qisas bagi pelaku, dengan catatan, apabila pelaku tidak dikenal sebagai orang jelek. Allah ingatkan,

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ

“Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf, dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu, dan merupakan suatu rahmat.” (QS. al-Baqarah: 178).

Mengingat qisas tidak bisa dibagi-bagi, sehingga jika ada salah satu diantara ahli waris yang memaafkan si pembunuh agar tidak diqisas, maka hukuman qisas ini menjadi gugur. Selanjutnya, si pembunuh wajib menunaikan pilihan kedua, yaitu diyat.

Diyat dalam kasus pembunuhan ada 2:

a. Diyat Mukhaffafah (diyat ringan). Diyat ini berlaku untuk pembunuhan tidak sengaja atau semi sengaja.

b. Diyat Mughaladzah (diyat berat). Diyat ini berlaku untuk pembunuhan sengaja, ketika wali korban membebaskan pelaku dari qishas.

Besar diyat mughaladzah menurut madzhab Syafiiyah dan salah satu riwayat dalam madzhab Hambali senilai 100 ekor onta, dengan rincian: 30 onta hiqqah (onta betina dengan usia masuk tahun keempat), 30 onta jadza’ah (onta betina dengan usia masuk tahun kelima), dan 40 onta induk yang sudah pernah beranak satu yang sedang hamil. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 21/51).

Pada dasarnya, diyat dibayarkan dalam bentuk onta. Namun jika tidak memungkinkan untuk membayar dengan onta, diyat bisa dibayarkan dengan uang senilai harga onta dengan kriteria di atas.

Dengan demikian aturan yang jelas ini akan meregulasi persoalan kepemilikan senjata dengan maksimal.

Wallahu'Alam Bish shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak