Oleh Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Akhir-akhir ini kita semakin sering mendengar dan menyaksikan fakta semakin banyaknya fenomena nikah beda agama.Benny dan Ayu (bukan nama sebenarnya) menikah secara Katolik dengan dispensasi dari gereja. Mereka resmi menikah di Yogyakarta pada 2017 dan pernikahannya sudah tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat(bbc.com,4/4/22).
Hal itu sangat senada dimana Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang mengesahkan atau mengizinkan pernikahan beda agama yang menjadi kontroversi dan perhatian publik. Putusan tersebut dianggap akan menjadi lahirnya putusan yang sama pada masa depan (SINDOnews.com, 24/6/22)
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tholabi Kharlie, mengatakan putusan tersebut akan menjadi preseden lahirnya putusan-putusan serupa bagi mereka yang menikah dengan pasangan yang berbeda agama. “Putusan ini membuka keran bagi pengesahan peristiwa nikah beda agama lainnya," kata Tholabi, Jumat (24/6/2022).
Putusan PN Surabaya ini didasarkan antara lain pada Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: (a) perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan (b) perkawinan warga negara asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga negara asing yang bersangkutan.
Tentang hukum menikah beda agama dalam Islam, kita bisa membagi dalam dua pembahasan, yaitu pernikahan muslim dengan ahli kitab, dan muslim dengan pemeluk agama lainnya.
Imam Ibnu Katsir dalam Juz 30 QS Al-Bayyinah: 1 menjelaskan bahwa ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini karena kepada merekalah Allah menurunkan kitab melalui perantaraan para Rasul, yakni Taurat melalui Nabi Musa as. dan Injil melalui Nabi Isa as.. Pendapat ini telah menjadi kesepakatan di antara para ulama, berdasarkan dalil-dalil antara lain firman Allah berikut
Hai Ahli Kitab, mengapa kalian bantah-membantah hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kalian tidak berpikir?” (QS. Ali Imran [3]: 65).
Pernikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab yang menjaga diri hukumnya adalah boleh. Namun sebaliknya, perempuan muslim diharamkan untuk menikah dengan laki-laki ahli kitab.
Meskipun pernikahan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab yang menjaga kehormatannya adalah boleh. Namun, perlu diingat, kebolehan ini tidak berarti harus dilakukan. Menimbang bahwa saat ini banyak upaya untuk memurtadkan kaum muslimin dan anak-anak mereka melalui perempuan-perempuan ahli kitab yang menikahi muslim, maka pernikahan ini bukanlah opsi yang bisa dipilih dengan ringan.
Apalagi pendidikan anak pertama kali di tangan ibu, bagaimana bila ibu adalah nonmuslim?
Pernikahan seorang muslim (laki-laki maupun perempuan) dengan pemeluk agama di luar Islam dan juga bukan pemeluk ahli kitab hukumnya adalah haram secara mutlak. Apakah ia pemeluk agama Hindu, Buddha, Konghucu, Majusi, Zoroaster, dan sebagainya.
Pemeluk agama seperti ini adalah orang-orang musyrik yang diharamkan pernikahan dengannya sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 221:
Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka…”
Dari pembahasan hukum menikah beda agama, maka jelas haram hukumnya pernikahan orang yang penganut Nasrani dengan perempuan muslim. Menggugat ketentuan ini sama dengan menggugat hukum syarak yang telah Allah tetapkan. Menjadi kewajiban bagi negara untuk menolak pernikahan yang haram dalam pandangan agama karena negara wajib menjamin pelaksanaan hukum agama.
Hanya saja karena negara kita bukan negara yang menerapkan sistem Islam, perlindungan terhadap agama yang menjadi maksud dari penetapan hukum syarak ini tidak bisa dijaga. Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan Nomor 1400K/PDT/1986 pernah mengabulkan perkawinan beda agama oleh dua pihak yang mengajukan kasasi. Putusan itu lantas kerap menjadi rujukan dalam pengajuan izin perkawinan beda agama. Dilansir dari laman resmi Direktori Putusan MA RI, terdapat ratusan dokumen penetapan status perkawinan beda agama (muslimahnews.net,23/2/22)
Oleh sebab itu, untuk bisa menerapkan hukum-hukum Allah secara sempurna, termasuk hukum-hukum dalam pernikahan ini, kita harus menerapkan sistem Islam secara kaffah. Jangan sampai karena kita mengabaikan hukum-hukum-Nya, membuat Allah murka dan menimpakan azab dalam bentuk berbagai kerusakan dalam kehidupan kaum muslim. Na’udzu billahi min dzalik!
Tags
Opini