Islamofobia Warnai Hiruk Pikuk Pencapresan




Oleh: Putri Efhira Farhatunnisa



Ketegangan sempat terjadi di acara deklarasi Anies Baswedan sebagai Calon Presiden, yang diselenggarakan oleh sebuah kelompok pendukung Anies di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (8/6/2022). Hal ini disebabkan oleh dipasangnya bendera tauhid oleh peserta, panitia meminta agar bendera tauhid tersebut di turunkan karena bisa mencoreng citra Anies dan memunculkan pesepsi yang keliru.

Panitia mengatakan kalau bendera tauhid tersebut merupakan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang BHP-nya sudah dicabut. Pemasangan bendera tauhid yang disandingkan dengan bendera merah putih ini berujung pelaporan. Kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam terus dilakukan, terutama di momentum pencalonan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden (Capres). Pada 7 Juni 2022 terjadi penangkapan ketua umum Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Baraja, karena kelompok ini telah menyerukan ide Khilafah.

Penangkapan ini berawal dari konvoi yang mereka lakukan pada 29 Mei 2022. Konvoi ini digelar di Brebes, Jawa Tengah (Jateng), dan Cawang, Jakarta Timur (Jaktim). Para peserta konvoi membawa tulisan "Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah" dan"Jadilah Pelopor Penegak Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah". Padahal konvoi ini bukan yang pertama kalinya digelar, namun sudah berjalan dari tahun 2018 dan tidak pernah dipermasalahkan.

Lalu apa hubungan pencalonan Anies dengan Islamofobia ini? Telah kita ketahui bahwa selama ini Anies Baswedan dianggap dekat dengan kalangan umat Islam yang di cap negatif sebagai radikal. Aksi dukungan terhadap Anies sebagai Capres di demo Patung Kuda (6/6/2022) oleh pihak yang mengaku sebagai Front Pembela Islam (FPI) Reborn dan pengurus resmi FPI menyebutkan bahwa mereka 'palsu'. Pihak resmi FPI menyebut bahwa aksi tersebut merupakan operasi intelijen berbahaya yang sedang memainkan kembali narasi Islamofobia.

Deklarasi di Hotel Bidakara dan aksi dari FPI Reborn palsu ini merupakan suatu indikasi bahwa ada upaya pendiskreditan Anies melalui isu radikalisme dan Khilafah, singkatnya ada pihak yang memanfaatkan pencapresan ini dengan menaikkan isu tersebut untuk menggiring opini publik. Sehingga yang ikut terbawa arus isu radikalisme dan Khilafah, akan mendesak capres-nya secara tidak langsung untuk ikut memonsterisasi ajaran Islam. 

Contohnya saja kelompok Islam yang diduga mendukung Anies dibuat untuk mengatakan 'tidak' pada Khilafah untuk membersihkan diri dari tudingan sebagai 'kelompok Khilafah'. Ini membuktikan bahwa politik demokrasi sangat anti terhadap Islam, mereka tidak akan memberi ruang bernafas untuk Islam. Politik demokrasi hanya memberikan satu pilihan pada semua kontestannya, bila mengikuti prosedur mereka maka harus anti Khilafah (anti Islam).

Hingga ada semacam test case pengkriminalisasian anggota ormas yang secara terang-terangan menyerukan ide Khilafah. Kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam pun terus terjadi, mulai bendera tauhid milik umat Islam hingga ajaran Khilafah yang dinilai buruk dan dituding bahwa Khilafah adalah ideologi. Bendera tauhid disebut-sebut sebagai bendera salah satu ormas yang BHP-nya telah dicabut yakni HTI, padahal pihak HTI sendiri telah mengatakan bahwa HTI tidak memiliki bendera dan mereka hanya memakai bendera milik umat Islam.

Jelas bahwa bendera hitam (Ar Rayah) dan putih (Al Liwa) bertuliskan “La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah” merupakan bendera milik umat Islam. Seperti yang dikatakan Rasulullah SAW dalam hadistnya : 

كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ، وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ

Artinya: Rayah Rasulullah Saw berwarna hitam dan Liwa beliau berwarna putih.” (HR Imam Tirmidzi dan Imam Ibn Majah dari Ibn Abbas)

Framing buruk terhadap Khilafah juga masih belum usai, bahkan tak sedikit yang merendahkan dan mencemooh hingga melecehkan seruan penegakan Khilafah. Adapun tudingan bahwa Khilafah merupakan sebuah ideologi adalah hal yang sangat keliru. Karena Khilafah bukan lah ideologi namun bagian dari ajaran Islam dan kewajiban umat Islam seperti halnya shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya.

Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada 9-11 November 2021 di Jakarta, pernah memuat bahasan tentang Khilafah. Pertemuan itu telah menyepakati 17 poin bahasan. Dalam salah satu rumusannya dinyatakan: jihad dan Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Karena itu Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tersebut merekomendasikan agar masyarakat dan Pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan Khilafah. 

Namun mereka yang telah terbawa arus Islamofobia tidak menggubris rekomendasi MUI tersebut, termasuk pemerintah dan bahkan salah satu pengurus MUI sendiri. Padahal dalam Islam, Khilafah merupakan suatu institusi pemerintahan yang berlandaskan hukum Islam yang keberadaannya merupakan suatu yang wajib. Karena terlaksananya hukum Allah secara sempurna hanya bisa diraih jika ada negara yang menerapkan aturan-Nya. Banyak hukum Allah yang hanya bisa dilaksanakan oleh negara seperti halnya rajam, potong tangan, qishas dan lain sebagainya.

Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim di dunia untuk menerapkan syariat dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).

Ulama pun sepakat bahwa mengangkat khalifah, yakni menegakkan Khilafah merupakan suatu kewajiban. Banyak dalil dari Al-Qur’an, as-Sunah, ijmak sahabat, dan kaidah syariat yang menegaskan kewajiban ini. Imam Al-Qurthubi ketika menafsirkan QS Al-Baqarah [2] ayat 30, menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham yang tuli dari syariat.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii menegaskan,

أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ

Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridai mereka—telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Maka sudah seharusnya seorang Muslim memuliakan agamanya, bukan menentang hukum, syari'at dan ajaran-ajarannya termasuk Khilafah. Jangan mudah untuk diperalat kafir yang menginginkan kehancuran umat Islam, gunakan kecerdasan yang Allah anugerahkan untuk membela agama-Nya. Kenali bendera Islam dan ajaran-ajarannya, jika tak mampu berada di barisan pejuang, maka jangan berada di barisan penghancur Islam. Wallahua'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak