Oleh : Dahlia
Berdasarkan data Perumda Pasar Pakuan Jaya (PPJ) Kota Bogor, harga cabai berbagai jenis melambung pada pekan ini. Kenaikan harga cabai terjadi merata di seluruh pasar se-Kota Bogor.
“Iya harga cabai mulai melambung tinggi, mulai hari ini,” ujar Staff Humas Perumda PPJ, Fachrenza Ardieansyah, Selasa (12/7/2022).
Ia menyebutkan, kenaikan harga terjadi pada cabai merah keriting, cabai merah besar, cabai rawit merah, cabai rawit hijau, dan cabai hijau besar. Saat ini, masing setiap kilogram cabai merah keriting berada di angka Rp 140 ribu, cabai merah besar Rp 130 ribu, cabai rawit merah Rp 140 ribu, cabai rawit hinau Rp 120 ribu, dan cabai hijau besar Rp 45 ribu.
Salah seorang pembeli cabai di warung sayur, Dede (40 tahun), mengatakan, melambungnya harga cabai cukup menyulitkan dirinya yang merupakan penyuka pedas.
Ia masih heran mengapa harga cabai masih saja melambung. Padahal sebelumnya sudah ada kenaikan harga cabai yang juga cukup mengejutkan.
Lonjakan harga cabai bahkan hingga kebutuhan pokok masyarakat lainnya memang selalu menjadi polemik dan menimbulkan gejolak di masyarakat. Apalagi hal ini kerap terjadi tiap menjelang datangnya hari-hari besar keagamaan. Meski demikian pemerintah selalu berdalih menjamin adanya pasokan kebutuhan pokok tersebut, namun lonjakan harga tetap tak terhindarkan bahkan hingga memicu inflasi.
Sejatinya tabiat kapitalisme menjadikan problem kenaikan harga kebutuhan masyarakat berimbas pada perubahan iklim serta tidak tersedianya kebutuhan pokok tersebut. Sebab adanya kebutuhan pokok terpenuhi karena adanya permintaan dan penawaran oleh masyarakat. Karenanya, ketika pasar tradisional maupun modern menaikkan atau menurunkan harga barang hal ini dipengaruhi oleh permintaan masyarakat. Oleh sebab itu, adanya kenaikan harga cabai saat ini tidak hanya disebabkan oleh masalah perubahan iklim, tetapi kurangnya ketersediaan barang disamping permintaan masyarakat yang begitu tinggi apalagi ketika menjelang ramadhan dan lebaran.
Disisi lain, permasalahan ini tak terlepas dari salah tata kelola pengurusan pangan oleh pemerintah yang tidak mampu menanggulangi pasokan kebutuhan masyarakat serta mengendalikan harga dipasaran. Padahal permasalahan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat begitu penting dan harus dipenuhi bukan hanya sekedar naiknya harga cabai tapi juga kebutuhan lainnya seperti bawang, daging, beras dan sebagainya.
Ketidakberesan ini membuat, para mafia bebas memainkan harga barang dipasar salah satunya dengan penimbunan barang. Tak hanya itu, solusi praktis dengan mengandalkan impor pangan/barang menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah yang sulit mengendalikan harga pasar serta menyediakan kebutuhan pokok masyarakat ketika menjelang hari besar keagamaan.
Sungguh disayangkan disaat pasokan pangan masih tersedia justru pemerintah getol melakukan impor. Padahal harusnya pemerintah lebih fokus menangani permasalahan kurangnya pangan misalnya terkait lonjakan harga cabai akibat faktor "alami" dengan melakukan suplay dibeberapa daerah yang memiliki ketersediaan pangan.
Islam telah memberikan solusi bagaimana mengatasi kenaikan harga tersebut. Jika melambungnya harga karena faktor “alami” yang menyebabkan kelangkaan barang, maka Islam mewajibkan negara untuk mengatasi kelangkaan tersebut dengan mencari suplay dari daerah lain.
Pada akhir tahun 17 H, di Madinah terjadi musim paceklik parah yang dikenal dengan sebutan ‘âm ramâdah, Khalifah Umar r.a mengirim surat kepada Amru bin Al Ash, gubernur beliau di Mesir yang isinya:
“Dari hamba Allah, Umar, Amîrul Mukminin, kepada Amru bin al Ash: salaamun ‘alaik, ‘amma ba’du, demi umurku wahai Amru, tidakkah engkau peduli jika engkau dan orang yang bersamamu kenyang, sementara aku dan orang yang bersamaku binasa (karena kelaparan), (kirimkanlah) bantuan!”
Kemudian Amru membalas surat tersebut:
“Kepada hamba Allah, Umar, Amîrul Mukminin, dari hamba Allah, Amru bin al Ash, amma ba’du, aku penuhi seruan engkau, aku penuhi, sungguh telah ku kirim kepadamu unta-unta (dengan muatan makanan diatasnya), yang awal rombongannya akan sampai kepada engkau, sementara ujung rombongannya masih ada di tempatku, wassalaamu ‘alaika wa rahmatullaah” (Imam As Suyuthi (w.911 H), Husnul Muhadharah fi Tarikh Mishr wal Qahirah, 1/156. Maktabah Syamilah)
Jika seluruh wilayah dalam negeri keadaannya sama, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dengan masih memperhatikan produk dalam negeri. Akan tetapi jika melambungnya harga disebabkan pelanggaran terhadap hukum-hukum syari’ah, maka Penguasa harus mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi. Rasulullah saw sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar), beliau juga melarang penimbunan (ihtikar). Khalifah Umar bahkan melarang orang yang tidak mengerti hukum fikih (terkait bisnis) dari melakukan bisnis. Para pebisnis secara berkala juga pernah diuji apakah mengerti hukum syara’ terkait bisnis ataukah tidak, jika tidak faham maka mereka dilarang berbisnis. Hal ini karena setiap kemaksiyatan, apalagi kemaksiyatan terkait ekonomi, itulah yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi.
Jika pelaku kemaksiyatan itu justru penguasa, mereka mengabaikan hukum syara’, maka masyarakatlah yang harus mengambil peran untuk meluruskan hal tersebut. Ketika khalifah Mu’awiyah berkhutbah pasca pencabutan pemberian (subsdi) kepada masyarakat, dan beliau berkata dalam dari atas mimbarnya isma’û wa athî’û (dengarlah oleh kalian dan taatilah), mendengar itu maka berdirilah Abu Muslim seraya berkata: Lâ sam’a wa lâ thô’ata yâ Mu’âwiyah (tidak (wajib) mendengar dan ta’at hai Mu’awiyah). Muawiyah bertanya: “mengapa wahai Abu Muslim?”, maka Abu Muslim menjawab:
كَيْفَ تَمْنَعُ الْعَطَا وَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ كَدِّكَ وَلا كَدِّ أَبِيكَ وَلا مِنْ كَدِّ أُمِّك؟
“bagaimana engkau bisa menyetop subsidi, padahal dia bukan hasil kerja engkau, bukan hasil kerja bapakmu, bukan pula hasil kerja ibumu?” …. akhirnya Muawiyah sadar dan tidak jadi menghentikan subsidi tersebut. (Mawâridudh Dham’ân Li Durûsiz Zamân, 4/117)
Beginilah Islam mengatasi kenaikan harga, yang tentunya hal tersebut akan bisa terlaksana dengan baik jika ditopang oleh penerapan hukum syari’at dalam seluruh aspek kehidupan. Hal yang tidak akan kita dapati dalam sistem kapitalisme yang justru tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Wallahu A'lam