Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat)
Pertamina kembali lagi menaikkan harga jual beberapa produk BBM. Padahal, Pertamina belum lama ini menaikkan harga BBM pada bulan April lalu. Selain itu, gas elpiji nonsubsidi yakni bright gas turut naik, akibat harga minyak dan gas dunia yang melambung tinggi.
Harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) senilai 117,62 dollar AS naik 37 persen dari bulan Januari 2022. Sedangkan, harga elpiji berdasarkan Contract Price Aramco (CPA) senilai 725 dollar AS per metrik ton (MT) naik 13 persen dibandingkan tahun 2021. (kompas.com 10/7/22).
Sudah dipastikan kenaikan harga BBM dan gas elpiji memberikan dampak kenaikan inflasi di seluruh sektor ekonomi. Hingga beban rakyat semakin berat. Harga kebutuhan pokok lainnya juga meningkat. Selain itu, bagi industri kenaikan BBM menambah beban biaya produksi dan mendorong kenaikan harga barang secara umum.
Bila ditelaah, dampak dari kenaikan minyak dunia sangat terasa bagi rakyat miskin, bukan hanya rakyat kelas atas. Mereka sengaja menggaungkan alasan regulasi OPEC hingga konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang memicu harga minyak dunia naik.
Lonjakan harga yang fantastis, membuat masyarakat beralih pada BBM subsidi yaitu Pertalite. Pada akhirnya, beban pemerintah untuk menanggung subsidi Pertalite dari APBN akan bengkak. Sedangkan, peralihan masyarakat dari Pertamax ke Pertalite tidak bisa diprediksi. Untuk itu, pemerintah membatasi pembelian Pertalite dengan menggunakan aplikasi MyPertamina agar penyaluran BBM subsidi tepat sasaran. Sayangnya, kebijakan ini menuai polemik di tengah-tengah masyarakat.
Selain alasan melonjak harga minyak dunia, buruknya tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) sistem neoliberal sekuler memperparah keadaan. Sistem ini juga menjadikan negara sebagai regulator para pengusaha. Akibatnya, semua kebutuhan hidup masyarakat dikelola pada mekanisme pasar global dan berdasarkan orientasi bisnis. Inilah harga mahal yang harus dibayar rakyat, ketika penguasa menerapkan sistem rusak tersebut.
Undang-undang pun memberikan kebebasan swasta atau korporasi untuk mengelola SDA. Alhasil, terjadilah privatisasi SDA yang semakin mengukuhkan hegemoni korporasi. Lebih miris lagi, kerusakan lingkungan tak terhindarkan. Demi mengeruk kekayaan, eksploitasi SDA niscaya mereka akan lakukan.
Mekanisme kapitalisme dalam mengelola SDA sangat jauh berbeda dengan Islam. Secara praktis, negara yang menerapkan Islam sebagai aturan akan menjamin kebutuhan pokok rakyat akan terpenuhi. Bertanggung jawab dari mulai produksi, distribusi hingga mengawasi harga agar sesuai mekanisme pasar. Sistem Islam dengan tegas melarang setiap individu untuk menguasai dan mengeksploitasi SDA. Negara juga menjamin pasokan minyak dalam negeri terpenuhi.
Dalam distribusinya, negara menjual kepada rakyat hanya menggantikan biaya produksi atau memberikan secara gratis. Untuk menjaga kestabilan harga minyak, negara boleh melakukan intervensi melalui mekanisme pasar. Harga disesuaikan dengan permintaan dan penawaran barang bukan menentukan harga secara langsung.
Maka, pandangan Islam dalam menetapkan harga SDA dan tata kelolanya sesuai hadits Rasulullah saw. bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْكَلأِ، وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga perkara: padang, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Sumber daya alam yang jumlahnya besar merupakan kepemilikan umum. Negara wajib mengelola secara langsung dan tidak boleh menyerahkan kepada swasta atau asing. Individu boleh mengambil manfaatnya dari SDA tersebut.
Dengan demikian, pengaturan Islam mengatasi masalah kenaikan harga secara tuntas. Islam akan sempurna diterapkan dalam bingkai Khilafah. Sistem pemerintahan yang mengutamakan kemaslahatan umat. Sehingga kesejahteraan umat akan tercapai. Waallahu a'lam bis shawwab.
Tags
Opini