Oleh: N. Vera Khairunnisa
Peragaan busana "Citayam Fashion Week" (CFW) di kawasan Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat, belakangan ini menjadi sorotan pengguna media sosial. CFW merupakan istilah yang diberikan warganet kepada sekelompok remaja dari daerah Citayam, Bojonggede, Tangerang dan Bekasi, yang sekadar nongkrong di kawasan itu. (kompas. com, 19/07/22)
Viralnya fenomena "Citayam Fashion Week" pun mendapat respon dan dukungan dari para pemegang kebijakan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menyebut tren unik yang dipopulerkan mereka berpotensi bisa menggeliatkan UMKM di kawasan Sudirman. Dengan demikian, diharapkan mereka bisa memberi sumbangsih terhadap kebangkitan ekonomi hingga terciptanya lapangan kerja. (zigi. id, 09/07/22)
Masih menurutnya, tren Citayam Fashion Week (CFW) di Dukuh Atas Jakarta bisa jadi trend center fashion di Indonesia. Ia berharap, tren CFW itu tak hanya sekadar menjadi tren di masa liburan sekolah. Tapi juga bisa sepadan dengan tren Harajuku di Jepang dan lainnya. (wartaekonomi. co. id, 18/07/22)
Gubernur DKI Jakarta, pun menyambut baik adanya pertunjukan fashion show oleh remaja dari kota tetangga Jakarta tersebut. Ia juga tak permasalahkan fenomena Citayam Fashion Week (CFW) di wilayahnya. Ia justru terkagum, karena anak-anak muda bisa melihat perspektif lain dari penyeberangan jalan yang digunakan untuk catwalk bak model di jalanan. (merahputih. com, 19/07/22)
Jika dilihat sepintas, fenomena CFW di SCBD memang tampak wajar saja. Apa salahnya jika kaum muda menikmati dan mengisi masa mudanya dengan penuh kreasi dan ekspresi?
Selama tidak membuat onar, tetap tertib, tetap sekolah, tidak masalah. Daripada mabuk-mabukan dan terlibat narkoba, bukankah lebih baik jika menghabiskan waktu bersama teman sebaya, saling menginspirasi antar sesama kreator dan influencer di dunia maya? Selain itu, dapat pemasukan pula!
Hanya saja, kreasi dan ekspresi yang seperti apa yang mereka tunjukkan?
Jika menampilkan busana yang hanya dinilai dari unsur kenyentrikannya, tidak memperhatikan batasan aurat, kemudian berkumpul campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom, apalagi ditambah dengan berpasang-pasangan alias pacaran, tentu tidak bisa dianggap wajar.
Satu hal yang juga menjadi titik kritis adalah bahwa mereka para pemuda merupakan generasi penerus masa depan. Pertanyaannya, profil anak muda seperti inikah yang kita harapkan bisa mengisi masa depan bangsa?
Fenomena CFW ini tentu tidak terjadi secara kebetulan. Realitasnya, kaum muda kita selama ini sudah begitu akrab dengan media sosial. Sementara media sosial sendiri menjadi salah satu alat propaganda paham sekuler liberal yang melahirkan gaya hidup serba permisif, hedonis, konsumtif, dan serba instan.
Adanya fenomena CFW sesungguhnya menambah panjang problem pemuda hari ini. Betapa banyak dari mereka yang kehilangan visi hidup dan pegangan moral. Generasi yang tidak paham tanggung jawab, baik terhadap masa depan dirinya, keluarga, masyarakat, negara, apalagi agama.
Banyak yang nongkrong karena tidak memiliki kegiatan dan sekadar ikut-ikutan. Memakai pakaian "terbaik" mengikuti tren kebarat-baratan. Mencari pasangan, kemudian bersenang-senang. Nilai plusnya, bisa nambah cuan. Ini dianggap keren dan membanggakan.
Di sisi lain, paradigma penguasa hari ini juga perlu dikritisi. Bagaimana visi, misi, dan fungsi mereka dalam bernegara? Lalu bagaimana pandangan mereka mengenai potensi para pemuda serta tanggung jawab mereka terhadap para pemuda?
Sayangnya, dalam sistem kehidupan sekuler kapitalisme, posisi penguasa memang hanya regulator dan wasit saja. Penguasa dan negara tidak punya fungsi mengurus dan menjaga umat sebagaimana diajarkan Islam.
Wajar jika rakyat, termasuk para pemuda, bisa memilih jalan hidup semau mereka. Soal agama atau moral tidak ada urusan dengan penguasa dan negara.
Dalam paradigma sekuler kapitalisme, potensi pemuda pun dipandang tidak lebih sebatas aset ekonomi saja. Besarnya jumlah pemuda dan bonus demografi yang luar biasa hanya dihitung sebagai potensi andalan untuk menggerakan kembali ekonomi bangsa yang lesu akibat wabah dan krisis yang melanda dunia.
Sementara itu, soal moral dan agama makin lama makin termarjinalkan saja. Proyek moderasi Islam justru diarusderaskan sebagai prasyarat terbentuknya masyarakat inklusif yang–katanya–dibutuhkan untuk mendukung liberalisasi ekonomi yang mendunia. (muslimahnews. com)
Ironisnya, paradigma penguasa dan pembangunan sekuler kapitalistik telah menjauhkan pemuda dari posisi strategisnya sebagai motor peradaban. Mereka hanya diarahkan menjadi sekrup mesin pemutar roda industri kapitalis, sekaligus menjadi objek pasar bagi produk yang dihasilkan.
Hal ini sejalan dengan pengarusan produk pemikiran yang mengubah mindset kaum muda menjadi kian cinta dunia. Hingga pada saat yang sama hilanglah kecintaan akan agama dan perjuangan membangkitkan umatnya. Kondisi inilah yang diharapkan oleh mereka yang memang membenci Islam dan kebangkitan kaum muslim.
Oleh karena itu, para pemuda harus segera diselamatkan. Bagaimana caranya?
Sebagai seorang muslim, kita tentu menjadikan Rasulullah sebaik-baik teladan. Bagaimana mengubah satu kondisi yang tidak Islami menjadi kondisi yang Islami, telah diajarkan oleh beliau, yaitu dengan jalan dakwah.
Allah SWT. Berfirman (artinya): “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.’” (QS Yusuf: 108)
Dakwah untuk mengubah mindset tentang hidup dan hakikat Islam sebagai solusi sahih bagi seluruh problem kehidupan. Tentu bukan hanya menyasar kepada kalangan pemuda, tetapi kepada semua kelompok masyarakat agar mereka siap menerima Islam dengan penuh keyakinan, sekaligus siap memperjuangkan.
Hanya dengan cara inilah umat termasuk di dalamnya para generasi akan memiliki kemampuan untuk menolak segala propaganda sesat yang bersumber dari ideologi sekuler liberal. Melalui dakwah pemikiran pula, pola pikir dan pola sikap mereka, makna dan standar kebahagiaan mereka, akan benar-benar berubah 180 derajat.
Mindset seperti inilah yang pernah dimiliki umat, termasuk kaum muda, pada era peradaban emas Islam. Mereka, kala itu, dengan tepat mendudukan diri mereka dan tanggung jawab hidup mereka sebagai hamba Allah sekaligus khalifah pemakmur alam semesta.
Mereka giat beribadah, dan pada saat yang sama terdorong menjadi pribadi yang bermanfaat untuk umat. Tidak heran jika generasi mereka mampu tampil sebagai mercusuar peradaban selama belasan abad. Ilmu pengetahuan dan kemajuan material berkembang di tangan kaum muslim.
Tidakkah kita rindu para pemuda kembali pada fungsinya sebagai motor perubahan sekaligus pilar peradaban cemerlang?
Tags
Opini