Dendam dalam Hati Berujung Mutilasi



Oleh : Sindy Utami, SH.


Mutilasi di Semarang

Teka-teki identitas korban mutasi di Ungaran, Kabupaten Semarang terungkap.

Korban mutilasi di Semarang bernama Kholidatunn'imah warga Desa Cibunar, RT 01/RW 02, kelurahan Cibunar, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal. 

Pelaku mutilasi adalah mantan pacarnya, Imam Sobari yang juga warga Tegal. 

Lantas siapakah sosok Kholidatunn'imah?
Kholidatunn'imah korban mutilasi di Semarang mempunyai seorang suami yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Taiwan. 

Sedangkan pelaku mutilasi diketahui bernama Imam Sobari, dan masih tinggal di desa yang sama dengan korban yaitu Desa Cibunar, RT 02/RW 02, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal. 


Menurut cerita ayah korban saat dihubungi Tribunjateng.com via telepon, sang anak bekerja di salah satu perusahaan di daerah Ungaran. 

Dengan suara yang terdengar seperti menahan tangis, Aswirto mengatakan pelaku sampai tega melakukan perbuatan keji kepada anaknya diduga karena didasari perasaan dendam. 

Padahal Aswirto bercerita, ia dan keluarga selalu bersikap baik jika pelaku datang ke rumah. Layaknya memperlakukan tamu yang berkunjung. 

Bahkan setelah pelaku keluar dari penjara pun, keluarga Aswirto (keluarga korban) masih bersikap baik kepada pelaku. 

"Iya betul, korban mutilasi yang potongan tubuhnya ditemukan di Ungaran itu anak saya.

Pelaku ini masih tetangga kami.

Ya kalau harapan saya sebagai orangtua, ingin pelaku dihukum seberat-beratnya.

Sesuai apa yang telah diperbuat ke anak saya sampai kehilangan nyawa," ungkap Aswirto, pada Tribunjateng.com, Senin (25/7/2022). 

Kasus Mutilasi Akibat Penerapan Sistem Kapitalisme

Jajaran Polres Semarang mengungkap kasus mutilasi yang dipotong menjadi 11 bagian. Motif pelaku sakit hati karena mengetahui ucapan korban tentang pekerjaan.

Pelaku merupakan sang pacar dari korban bernama Imam Sobari alias Minces (32). Korban dan pelaku masih satu kampung, warga Desa Cibunar, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal.

Beberapa jam sebelum pembunuhan , terjadi saling cekcok antara korban dan pelaku di kamar indekos Jalan Soekarno Hatta KM 30, Bergas, Kabupaten Semarang, Minggu (17/7)

Dini setiap harinya, Minggu (18/7) sekitar pukul 01.00 WIB korban berinisial KH (24) tewas mengenaskan dicekik pelaku lalu dimutilasi di kamar mandi indekos tersebut.

Seusai menghabisi korban, pelaku dengan sadis-motong tubuh korban menggunakan pisau dapur menjadi 11 bagian selama tiga hari berturut-turut.

Di kamar mandi bagian bawah lutut, pangkal paha menjadi tiga bagian, dibuang di lahan samping pabrik Jalan Soekarno Hatta.

Tak sampai disitu atau hari berikutnya, pelaku kembali tubuh korban. Setelah pelaku sempat menjual perhiasan kalung emas.

Mulai tangan sampai usus, jeroan. Lalu Senin sakit kembali lagi bagian kaki yang dibungkus plastik dan dibuang di Sungai Wonoboyo.

Hari kedua atau Selasa (19/7) lalu bagian kepala korban mutilasi dibuang di sungai tak jauh dar Restoran Cimory , Bergas.

Pada Kamis (21/7) pelaku kembali menjual kalung kedua milik korban.

Atas perbuatannya dijerat tiga pasal berlapis. Pasal 339 KUHP, Pasal 338 KUHP Subsidair, dan Pasal 365 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun.

Namun apakah hukuman tersebut layak dan menyelesaikan perkara mutilasi? Mengingat setelah ditelisik lebih jauh, ternyata pelaku berinisial IS telah melakukan pencabulan terhadap korban pada 2015. Atas perbuatannya itu, ia telah mendapat hukuman penjara selama enam tahun.

Setelah bebas, kemudian IS mencari korban di tempat ia bekerja, yakni di pabrik konveksi PT Wory di Kabupaten Semarang.

Hal ini dapat menjadi bukti bahwa pidana penjara tidaklah menyelesaikan perkara. Dengan penerapan ideologi kapitalisme dengan sekulerisme sebagai akidah nya semakin mempermudah dalam menjerumuskan setiap menusia yang tersistem di dalamnya untuk berbuat amoral. Demikianlah hukuman berupa kurungan dibalik jeruji besi tidak mampu memberi efek jera apatah lagi menghapus dosa, sungguh lah tidak mungkin.

Mutilasi Dari Sudut Pandang Islam

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَاِ نْ عَا قَبْتُمْ فَعَا قِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهٖ ۚ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصّٰبِرِيْنَ
(QS. An-Nahl 16: Ayat 126)
وَا صْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ اِلَّا بِا للّٰهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِيْ ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُوْنَ
(QS. An-Nahl 16: Ayat 127)
اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَّا لَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَ
(QS. An-Nahl 16: Ayat 128)

Dari latar belakang historis berdasarkan kajian ayat oleh Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg mengenai Surat Al-Nahl ayat 126, 127, 128 , terbacalah bahwa mutilasi itu tradisi jahiliah yang legal. Mereka yang menang dalam pertempuran acap kali berlaku beringas dan biadab. Sosok musuh yang dirasa menggeregetkan hampir pasti dimutilasi jika berhasil dibunuh. Itulah, maka ketika mereka menang dalam perang Uhud, banyak di antara sahabat yang dimulitasi atau dicincang mayatnya. Kemudian Islam melarang.

Bagi islam, orang yang sudah mati, ya sudahlah. Larangan mutilasi itu berlaku umum, termasuk dalam syariah qisas. Andai si Fulan membunuh orang lain dengan cara memutilasi, maka hukuman qisas atas diri si Fulan hanya dihukum mati saja dngan cara dipenggal, ditembak dsb. dan tidak boleh dengan dimutilasi.

Dari ayat studi ini, ulama' mengambil dalil, bahwa hukuman qisas itu boleh sepadan, selain mutilasi. Misalnya, seseorang membunuh dengan cara diracun, maka hukuman qisasnya boleh dengan cara meracun pelaku. Jika dengan hantaman batu atau digelundungkan dari atas bukit, maka hukuman qisasnya boleh dengan sepadannya.

Tapi teori maslahah yang digagas oleh mayoritas ulama' mutaakhirin lebih manusiawi. Membunuh dengan cara apapun, hukuman qisasnya cukup dihukum mati dengan cara terbaik, yaitu dipenggal lehernya atau ditembak mati.


Menurut penelitian, hukuman penggal leher lebih nyaman ketimbang ditembak. Ketika leher putus dan terpisah dari badan, darahpun keluar deras, maka saat itu pula syaraf-syaraf putus seketika dan tidak lagi bekerja, sehingga nyaris tidak ada rasa sakit. Beda dengan cara ditembak, meski jantung tembus dan berhenti, tapi syaraf di otak masih bekerja dan baru berhenti total setelah beberapa detik. Saat itulah rasa sakit masih dirasakan. Hukum pidana Islam memiliki efek jera dan sekaligus pelebur dosa. Efek jera dalam hal ini adalah agar menjadi perhatian bagi publik untuk tidak melakukan hal yang sama, sebab hukuman nya jelas dan tidak ada celah suap di dalam sistem yang menjadikan Islam sebagai akidahnya sebab setiap abdi negara maupun masyarakat memiliki keterikatan dengan hukum Syara' yang di dalamnya terdapat konsekuensi pahala dan dosa. Selain itu hukum pidana yang dilaksanakan juga sebagai metode peleburan dosa bagi pelaku tindak pidana tersebut. Inilah satu satunya sistem pidana yang adil juga memanusiakan manusia. 


Wallahu'Alam Bish shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak