Oleh: Tri Silvia
(Pemerhati Masyarakat)
Masyarakat sedang ramai membicarakan tentang program terbaru dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang sekaligus merupakan turunan dari program Merdeka Belajar, yakni Dana Abadi Pendidikan. Dana ini dimaksudkan untuk Perguruan Tinggi Negeri yang diampu oleh Pemerintah atau biasa disebut Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH). Adapun program tersebut digagas guna menggenjot kualitas PTN lokal agar mampu bersaing dengan PTN luar yang berstandar dunia.
Mereka berpendapat bahwa kualitas PTN hari ini, jauh lebih penting dibanding kuantitasnya. Dan selama ini dana yang diterima PTN sangat jauh panggang dari api. Artinya masih sangat kecil dibandingkan dengan pendanaan yang dikeluarkan oleh negara lain, termasuk India. Adapun sebagai langkah awal, pemerintah membagi alokasi pendanaan kedalam tiga periode, yakni ;
Periode pertama (2 Juni - 31 Desember 2022), total dana Rp 445 miliar.
Periode kedua (1 Januari 2023 - 31 Desember 2023), total dana Rp 350 miliar.
Periode ketiga, (1 Januari 2024 - 31 Desember 2024) dengan total dana Rp 500 miliar.
Sekilas, tak ada yang salah dengan program ini. Hanya saja, jika ditilik lebih jauh nyatanya program ini bukan hanya melibatkan pihak PTNBH dan pemerintah, melainkan juga swasta. Karena menjadi salah satu tujuan dari program ini adalah bahwa setiap PTNBH yang ada harus mampu memperbesar sumber pendapatannya di luar bantuan Pemerintah dan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Selain itu, setiap PTNBH ini diminta untuk bisa mengelola aset finansial mereka secara independen. (Beritasatu.com, 27/6/2022)
Inilah yang terjadi saat pendidikan berada dibawah ketiak sistem kapitalisme. Paradigma berpikirnya kita pun dibuat jungkir balik sejalan dengan ideologi mereka. Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa materi menjadi aspek terpenting dalam kehidupan mereka. Mereka senantiasa menjadikan materi dan manfaat/keuntungan sebagai tujuan utama perbuatan. Mereka senantiasa mengedepankan hal tersebut dibanding nilai-nilai lain, semisal kemanusiaan, akhlakiyah, apalagi kerohanian.
Alhasil, mengubah lembaga pendidikan menjadi lembaga komersil bukanlah hal yang tabu. Bahkan menjadi keharusan untuk dilakukan dengan berbagai alasan, mulai dari membina kemandirian hingga mengurangi beban anggaran. Lalu, apa jadinya jika perguruan-perguruan tinggi tersebut mengikuti tiap langkah yang diagendakan oleh para kapitalis? Hal yang pasti terjadi, lembaga-lembaga tersebut akan bertransformasi, dari lembaga penghasil insan terdidik yang nantinya akan mendidik masyarakat untuk menghasilkan kemanfaatan bagi umat. Beralih sebagai lembaga pencetak uang yang menghasilkan orang-orang bermental karyawan, yang menjadikan uang serta keuntungan sebagai tujuan utama mereka dalam menuntut ilmu.
Selain merubah orientasi, program inipun menuntut PTNBH-PTNBH terkait untuk memecah fokus mereka. Sebab, mereka tidak hanya bertanggungjawab dalam mewujudkan insan-insan terdidik, melainkan juga dituntut untuk bisa menghasilkan uang dan keuntungan. Hal itupun akan berdampak besar pada materi ajar yang diajarkan di perkuliahan. Materi ajar akan disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini, dan dibatasi pada hal tersebut saja. Padahal ada ilmu lain yang lebih bermanfaat untuk dipelajari dibandingkan dengan materi ajar tersebut.
Sungguh, tujuan utama pembelajaran itu jauh lebih luhur dibanding hanya untuk menghasilkan uang ataupun menciptakan lapangan pekerjaan. Melainkan mengajak masyarakat untuk meraih manfaat dan kebaikan dari ilmu-ilmu yang mereka dapatkan, baik untuk kehidupan dunia ataupun akhirat mereka. Selain itu, yang perlu diingat bahwa Islam menggariskan ada empat nilai yang senantiasa meliputi manusia saat di dunia, yakni materi, akhlak, kemanusiaan, dan ruhiah. Empat nilai ini senantiasa ada dalam aktivitas manusia, namun dibalik keempatnya ada tujuan yang paling penting yang senantiasa menjadi dorongan manusia dalam melaksanakan aktivitasnya, yakni untuk meraih ridho Allah SWT. Dengan pemikiran semacam ini, maka umat muslim akan senantiasa belajar dan mengejar ilmu pengetahuan bukan hanya dengan tujuan untuk mencari uang dan keuntungan.
Sebaliknya umat Islam akan terus terdorong untuk belajar dan menghasilkan kebaikan/ kebermanfaatan untuk umat. Semua hal itu dilakukan dengan tujuan untuk meraih keridhoan Allah dan dengan dorongan talwa sebab memenuhi perintah Allah sebagaimana yang dicantumkan dalam ayat-ayat maupun hadits yang berisi tentang belajar dan menuntut ilmu. Lihatlah bagaimana Allah menurunkan wahyu pertama-Nya kepada Rasulullah SAW yang diawali dengan kata 'iqro' atau 'bacalah'.
Dan aktivitas belajar mengajar pun terus dijalankan dan digencarkan di masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Untuk kemudian dilanjutkan pada masa kekhilafan yang banyak, sampai puncaknya pada masa kekhilafahan Abbasiyah. Dimana kala itu, jumlah sekolah yang tersebar sampai tidak terhitung. Dengan fasilitas yang lengkap, semua sekolah tersebut dibangun oleh negara, tanpa memungut bayaran sedikitpun dari rakyat. Pemerintah memperhatikan sekolah-sekolah tersebut sampai memilihkan sendiri guru yang mengajar didalamnya. Dengan gaji yang fantastis, setiap guru di sekolah-sekolah tersebut diberikan fasilitas penunjang dan dipenuhi segala kebutuhannya oleh negara. Dalam salah satu sumber dikatakan bahwa infak yang diberikan Nizham Al-Mulk pada setiap tahunnya kepada para pengajar sekolah dan fuqaha serta ulama yakni sebanyak 300 ribu dinar. (Prof.Dr.Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia; 2009)
Adapun dalam referensi lain, disampaikan bahwa di masa Umar bin Khattab ra gaji guru yang dibayarkan adalah sejumlah 15 dinar per bulan. Adapun harga emas dinar hari ini (kurs.dollar.web.id, 13/7/2022) adalah Rp 3.307.598,- . Artinya total gaji guru perbulannya setara dengan Rp 49.613.970,-. Jumlah tersebut sangat jauh perbandingannya dengan gaji guru saat ini, yang hanya sejumlah Rp 500 ribu sebulan. Tak hanya sampai disana, ternyata kala itu bukan hanya guru yang mendapat santunan dari negara, melainkan juga para murid. Mereka mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok harian secara cuma-cuma dan juga gaji setiap bulannya. Semua fakta ini menunjukkan kegemilangan sistem pendidikan Islam dalam menunjang negara dan kualitas sumber daya manusia yang sangat berharga kala itu.
Alhasil, jika dikatakan mengenai pengadaan dana abadi perguruan tinggi, maka hal tersebut sudah dari awal diberikan oleh negara kepada tiap sekolah yang dibangunnya. Begitupun sekolah-sekolah yang dibangun secara pribadi, maka kesemuanya berlomba-lomba untuk memberikan keistimewaan kepada para pengajar dan siswa didikan yang turut belajar disana. Meskipun memiliki tujuan yang hampir sama yakni meningkatkan kualitas perguruan-perguruan tinggi yang ada, namun amat sangat terlihat perbedaan kondisi keduanya. Jika saat ini dana abadi perguruan tinggi itu wajib melibatkan pihak swasta, maka dalam sistem pendidikan Islam, semuanya dijamin oleh negara (untuk sekolah yang sengaja dibangun oleh negara). Tanpa memungut biaya sedikitpun, siswa akan fokus pada materi ajar mereka yang kesemuanya memiliki tujuan menghasilkan kebaikan bagi masyarakat secara luas.
Jadi jelaslah bahwa dana abadi sebagaimana yang dimaksudkan, hakikatnya sudah pernah ada dan diimplementasikan secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Dilakukan dengan bentuk yang sempurna, tidak ada embel-embel materi apalagi keuntungan. Tanpa ada orientasi bisnis, semua sekolah berjalan sesuai fungsinya sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat. Begitulah sistem Islam dijalankan, dengan aturan terbaik dari Sang Pencipta. Maka tak heran jika dalam pelaksanaannya, sistem ini mampu mencetak generasi terbaik di masanya, bahkan hingga hari ini. Lihatlah bagaimana keilmuan Ibnu Sina, Alghazali, Alfarabi, Al Khawarijmi, Jabir bin Hayyan, Al Jazari, dan lain sebagainya.
Dunia saat ini sangat membutuhkan para ilmuwan seperti mereka. Yang berkiprah dan berkarya semata-mata untuk kebaikan umat, baik di dunia maupun akhirat. Adapun orang-orang semacam ini takkan mampu untuk tercipta di iklim kapitalis saat ini. Melainkan akan menjamur ketika Islam kembali jaya seperti sediakala.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini