Oleh : Ummu Aqeela
Beberapa bulan terakhir, di berbagai linimasa diwartakan fenomena anak-anak muda “tanggung” berusia belasan tahun dengan dandanan yang mencolok memenuhi kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta. Tepatnya di kawasan SCBD di Jakarta Selatan, selama ini dikenal sebagai Sudirman Business District. Setiap hari kalangan pekerja, hingga pegawai kantoran kerap berlalu lalang di sana. Namun belakangan istilah tersebut berubah menjadi Sudirman Citayam Bojonggede Depok hingga menjadi viral.
Wilayah tersebut pun kini tak hanya diramaikan oleh para pebisnis, namun juga menjadi daya tarik baru bagi para remaja yang berasal dari daerah sekitar ibu kota seperti Depok sampai Kabupaten Bogor.
Menariknya, mereka yang datang kebanyakan memakai outfit yang nyentrik dan modis hingga berhasil mencuri perhatian karena mematahkan kesan Sudirman sebelumnya yang terkesan formal. Biasanya kalangan remaja yang datang ke Sudirman tersebut, berusia mulai dari belasan hingga awal 20 an tahun. Beberapa pakaian yang dikenakan pun terbilang nyentrik seperti kacamata hitam, kemeja flannel hingga jaket dan celana jeans yang memiliki motif sobek di beberapa bagiannya.
Tak sampai di situ, pakaian lain yang menjadi trend adalah jaket, topi hingga gaya rambut yang menonjol. Saking warna warninya gaya berpakaian remaja tersebut, masyarakat dan warganet sampai memunculkan istilah Citayam Fashion Week. Di mana fenomena tersebut akan semakin ramai di saat weekend.
Salah satu Pengamat Sosial, Devie Rahmawati mengatakan jika tren Citayam Fashion Week atau SCBD tersebut akan menciptakan suatu dampak sosial yang unik. Di sana para remaja tersebut akan membawa budaya baru yang berbeda, dan menambah warna di ibu kota.
“Kalau kita liat dari algoritma sosialnya yang ngetren sekarang itu apa sih, yang beda. Ini kan kontras, latar belakangnya kota, tetapi mereka membawa sesuatu yang baru hingga mencuri perhatian (viral)” kata Devie.
Mengutip laman GNFI, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga sempat mengomentari seputar fenomena SCBD dan Citayam Fashion Week. Menurutnya, hal tersebut justru menjadi kesempatan untuk mensetarakan kepemilikan fasilitas umum menjadi milik bersama. Ia menambahkan jika dahulu Sudirman hanya bisa diakses oleh orang-orang yang memiliki kepentingan di lingkungan tersebut yakni pekerja ibu kota. Sehingga tidak semua orang bisa untuk menikmati secara santai kawasan pedestrian terbesar di Jakarta itu. Terlebih saat ini, kawasan tersebut kini menjadi ruang public dengan lukisan mural dengan lampu warna warni yang estetik, seperti di terowongan Kendal.
Fenomena Citayam Wave yang tengah trending di media social dan “menduduki” wilayah Sudirman, Jakarta, adalah bagian dari gaya hidup di masyarakat modern.
Remaja-remaja dari SCBD tidak lebih sebagai gambaran perjuangan “kelas” untuk mengokohkan dirinya di blantika persaingan hidup. Jika label “anak muda Jaksel” diidentikkan sebagai kelas masyarakat atas, maka SCBD menorehkan Citayam Wave atau Citayan Fashion Week sebagai identitas mereka dalam mencari jati diri. Mereka tidak minder atau malu, tetapi justru bangga dan mengejar “viral” karena terpaan media sosial yang intens mendesiminasikan kegiatan mereka.
Jika tongkrongan anak muda Jaksel kerap diasosiasikan dengan caffee dan resto bertarif mahal, maka remaja SCBD sudah merasa bahagia jika bisa jajan tahu bulat atau minum minuman Nutrisari. Dengan uang jajan Rp 50.000 mereka bisa menjadi “idola” yang dimimpikannya. Dengan busana yang dibeli murah dari market place atau berburu dari penjualan barang bekas serta memadupadankan sesuai seleranya, mereka bisa tampil maksimal seperti pesohor. Kolektivitas kelompok menjadikan mereka memiliki teman yang se-ide dan sependapat akan artinya “indentitas”. (KOMPAS.com, 11 Juli 2022)
Remaja merupakan fase di mana manusia sedang mencari jati diri. Mayoritas memaknai remaja sebagai fase transisi dari usia anak-anak menuju usia kedewasaan. Kebimbangan, ketidakpastian dan segala macam godaan akan menghampiri para remaja. Pada fase ini, remaja akan dihadapkan pada problematika hidup dan dituntut untuk segera beradaptasi menghadapi realita kehidupan. Namun fase pencarian jati diri ini rentan dalam memilih teman sepermainan. Remaja saat ini berada di era globalisasi dengan berbagai macam gadget sebagai penunjang sarana informasi semakin memperluas jaringan pergaulan remaja itu. Penting untuk memahami remaja dalam perspektif Islam dan psikologi.
Dalam Islam, remaja sering disebut masa akil baligh. Dalam masa ini, seseorang telah diwajibkan untuk menunaikan ibadah wajib dan menghindari larangan-larangan-Nya. Pada prosesnya, fisik, kecerdasan kognitif dan psikososial jelas mengalami perkembangan dibandingkan masa anak-anak. Dalam menunaikan ibadah wajib, remaja dinilai sudah waktunya untuk melaksanakan ibadah layaknya berpuasa dan shalat. Bahkan remaja dianggap sudah mandiri untuk membayarkan zakat meskipun secara finansial masih disokong oleh orangtuanya.
Pada segi pemikiran atau kognitif, remaja sudah selayaknya memahami berbagai ilmu yang diterima, baik ilmu sosial, umum maupun agama. Dalam ilmu agama, remaja dapat membedakan mana yang baik, benar serta dapat menghindari berbagai larangan yang terdapat pada agama Islam. Namun, meski remaja telah memiliki kapasitas untuk mencerna berbagai hal baru, mereka tetap perlu bimbingan. Layaknya pemula, remaja memerlukan orang untuk membimbing mereka menemukan arah hidup yang baik dan mampu berguna tidak hanya untuk dirinya sendiri, namun untuk masyarakat luas.
Maka harus ada kesadaran dari para pemilik ilmu dan para pemilik kekuasaan hari ini untuk memperbaiki remaja saat ini menyadarkan mereka untuk kembali belajar Islam, belajar etika dan moral serta menginternalisasikan nilai-nilai keislaman kepada hati Sanubari mereka sehingga mereka sadar bahwa tujuan hidupnya hanya untuk mengabdikan diri pada agama dan bangsa serta menginternalisasikan nilai nilai keislamannya pada masa masa yang akan datang untuk menjaga keberadaan agama ini, bukan malah memberi fasilitas luas dan menyiapkan lahan bebas untuk mereka keraktifitas tanpa batas. Sebagai kesimpulan, identitas remaja muslim adalah bagaimana kita memahami siapa kita apa identitas kita sebagai seorang remaja yang beragama Islam.
Begitupun orang tua, anak-anak adalah amanah, tanggung jawab, dan hadiah bagi orangtua. Untuk itu tugas orangtua adalah memastikan anak tumbuh menjadi orang yang suka bekerja keras, produktif. Serta, yang paling utama adalah ia menjadi pribadi yang beriman kepada Allah dan syari’atNYA.
Tidak ada anak yang berperilaku buruk karena karakter alaminya, biasanya hal tersebut dilakukannya berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, rasakan dan pelajari dari lingkungan hidupnya sehari-hari.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Setiap orang dari kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Penguasa adalah pemimpin yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Laki-laki adalah pemimpin yang bertanggung jawab pada keluarganya. Perempuan adalah pemimpin dalam rumah tangga dan bertanggung jawab pada anak-anaknya. [Sahih al-Bukhari]
Anak-anak belajar tentang hal yang benar dan salah sesuai apa yang diberikan orangtuanya. Tanggung jawab orangtua adalah mengajarkan anak untuk membedakan mana benar dan yang salah. Anak memiliki insting alami untuk melakukan hal yang benar, namun insting tersebut harus dirawat dan diasah melalui pengajaran orangtua.
Untuk itu anak wajib diberi batasan untuk membuat perilakunya lebih terjaga, anak tetap diberi kebebasan untuk bersikap tapi tetap tidak boleh melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh agama. Jika Indonesia didominasi oleh generasi muda muslim yang bertakwa, bukan tidak mungkin bangsa ini dapat menjadi negara berprestasi dan mampu membangun peradaban yang gemilang seperti yang dicontohkan Rasul dan para sahabat. Maka, menstandarkan kepribadian remaja Indonesia pada standar Islam adalah cara menghapus keburaman dimasa sekarang dan masa depan.
Wallahu’alam bishowab.