Beli Pertalite Dengan Aplikasi, Cara Negara Berlepas Diri



Oleh: Hamnah B. Lin

Kami lansir dari CNN.Indonesia pada tanggal 29/6/2022, Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) terus berupaya untuk memastikan subsidi energi terutama bahan bakar minyak (BBM) pertalite dan solar tepat sasaran.

Tepat sasaran artinya penikmat subsidi BBM ini memang rakyat yang tidak mampu. Sebab, pada kenyataannya banyak masyarakat kelas menengah bahkan atas ikut mengkonsumsi BBM subsidi. Oleh karenanya, Pertamina berencana untuk memperketat penjualan BBM subsidi dengan mewajibkan masyarakat melakukan registrasi di aplikasi MyPertamina sebelum membeli.

Uji coba pembelian BBM subsidi menggunakan aplikasi dijadwalkan mulai 1 Juli 2022. Rencananya, uji coba dilakukan di beberapa kota/kabupaten yang tersebar di lima provinsi antara lain Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta. Dengan kebijakan ini, Pertamina berharap bisa membuat penyaluran BBM subsidi makin tepat sasaran. Sebab, data yang ada di aplikasi akan menunjukkan pembeli berhak mendapatkan BBM subsidi atau tidak.

Alasan pemerintah yang berulangkali mengatakan bahwa pembelian pertalite harus mmenggunakan aplikasi adalah supaya subsidi BBM tepat pada sasarannya. Melalui data yang dimasukkan ke aplikasi, maka akan benar-benar diketahui apakah kendaraan tersebut dapat mengkonsumsi pertalite.

Namun satu hal ini apakah tidak dipikirkan oleh pemerintah, bahwa tidak semua orang punya HP. Jikapun ada HP, aplikasi ini harus di download dahulu, memastikan ada kuota pada HP, dan kepastian sinyal yang lancar. Bukankah teknis seperti ini akan sangat mempersulit rakyat yang masih banyak terkendala dalam pengetahuan teknologi pergadgetan.

Di sisi lain, BBM nonsubsidi Pertamax malah makin dimudahkan, misalnya dengan pembuatan besar-besaran Pertashop yang menjual Pertamax. Sangat wajar jika rakyat beranggapan semua ini sekadar modus pemerintah untuk menghilangkan Pertalite, persis seperti kala Premium hilang. Sungguh hal ini makin tampak hanya akal-akalan pemerintah yang akan menghilangkan pertalite dari pasaran sebagaimana pernah terjadi pada BBM jenis premium.

Subsidi adalah beban bagi negara, sebuah anggapan dari sistem ekonomi kapitalisme. Maka wajar, subsidi pelan tapi pasti akan segera dihilangkan. Karena sistem ini memiliki standart ideal sebuah negara maju adalah negara yang tanpa memberikan subsidi. Ketergantungan rakyat terhadap subsidi dianggap bentuk ketidakmandirian dan akan menghambat kemajuan sebuah negara. Maka bisa dikatakan negara yang sehat jika subsidi bisa dihilangkan. Sungguh pemikiran yang kejam bukan, ini tataran negara yang seharusnya tidaklah demikian.

Padahal jika melihat fakta dilapangan subsidi itu jumlahnya kecil dan sering salah sasaran, Subsidi triliunan rupiah untuk minyak goreng, misalnya, diberikan bukan untuk rakyat, melainkan untuk pengusaha dengan alasan agar harga jual menjadi murah. Kenyataannya, minyak tetap mahal! Kalaupun ada yang bersubsidi, itu pun bisa sulit didapat apabila memaksa harus menggunakan aplikasi. Bukankah ini yang namanya subsidi salah sasaran? Harusnya untuk rakyat, malah untuk pengusaha.

Belum lagi yang masyarakat sudah ketahui, setiap ada proyek baru pasti ada ladang basah bagi penguasa dan pengusaha. Ini karena buah tak amanahnya para pemegang kebijakan. Seperti aplikasi untuk pembelian BBM ini, untuk setiap top-up atau pengisiannya maka akan dikenai biaya admin Rp 1.000, masih dalam pilihan akan menggunakan jasa pembayaran Link aja. Coba bisa kita kalikan penggunanya, uang admin ini akan masuk ke kantong para pengusaha lagi tanpa mereka bersusah payah. 

Belum lagi korupsi yang selalu menyertai setiap lahirnya kebijakan baru. Tak bisa dielakkan, karena mental pemegang kebijakan yaang aji mumpung dalam setiap proyek baru. Bagaimana bisa mengambil keuntungan sebesar-besarnya senyampang proyek dalaam genggaman.

Oleh karenanya, penyebab sejati sulitnya rakyat mendapatkan BBM bersubsidi adalah aturan main sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi. Kapitalisme menghilangkan peran negara dalam mengurusi umat. Sistem ini pula yang menjadikan APBN kita selalu defisit. Liberalisasi kepemilikan membuat sumber APBN yang melimpah (pengelolaan SDA) malah dikuasai swasta.

Sementara itu, demokrasi melahirkan para birokrat yang kerjanya menjamin para kapitalis bisa terus mendulang harta. Merekalah yang telah menyokong kebutuhan segelintir elite untuk bisa tetap berkuasa. Sistem ini pula yang menghimpun para pemangku kebijakan yang tidak mengenal skala prioritas. 

Sungguh berbanding terbalik jika negara diurus dengan aturan Allah (baitulmal).Pemberian subsidi dalam Islam tidaklah dimaknai pemberian negara yang membebani APBN, akan tetapi semua ini diberikan sebagai bentuk riayah dan tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Pemberian harga BBM murah, biaya sekolah gratis, pembelian rumah murah, ketersediaan kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, pendidikan, semua dijamin negara.

Regulasi kepemilikan mengharamkan penguasaan swasta atas SDA melimpah yang dibutuhkan umat. Hal ini menjadikan kebutuhan hidup merata dirasakan seluruh rakyat. Negara benar-benar ada untuk menjaga rakyat, menjadi pelindung rakyat.

Namun sistem baitulmal ini tidak bisa diterapkan dalam sistem kapitalisme saat ini, sistem saat ini harus dicabut dahulu dan umat meminta diterapkannya syariat Islam yang datang dari kesadaran umat, bahwa hanya aturan dari Allah sematalah yang akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Penguasa yang bertakwa akan melahirkan sifat amanah. Penguasa yang bertakwa akan menjalankan syariat Islam dalam tataran negara, dialah khilafah islamiyah.

Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak