Antara Kumpul Kebo Dan Nikah Beda



Oleh: Ummu Diar

Publik sudah paham definisi kumpul kebo. Istilah yang disematkan untuk perbuatan tinggal serumah tapi tidak ada riwayat nikah. Bersyukur ketika publik relatif satu suara, bahwa kumpul kebo itu negatif. Apapun status sosial pelaku, sekeren apapun, tapi kumpul kebo bukan hal yang dapat "diterima".

Sekarang secara istilah kumpul kebo mungkin jarang terdengar. Namun bukan berarti aktivitas sejenis sudah benar-benar hilang. Derasnya arus liberal pergaulan bebas nyata-nyata tak sedikit yang mengekspos aktivitas kumpul kebo kalangan Barat. Berawal dari pemakluman kelakuan mereka, maka lama-lama merembet juga ke Timur. Hingga tersebutlah pasangan yang aborsi bayi sampai 7 kali dan tidak diketahui riwayat nikah yang heboh di media beberapa waktu lalu.

Namun stigma kumpul kebo nampaknya masih dipegang oleh sebagian orang. Pernah pula beredar di media terkait usulan pernikahan beda agama di salah satu kota besar, dengan alasan agar tidak ada praktik kumpul kebo.

Padahal terkait pernikahan beda agama itu sendiri sudah terdapat regulasi. Pada Pasal 2 Ayat (1) UU 1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Maka, apakah bisa menikah beda agama?

Bagaimana dengan pandangan Islam terhadap pernikahan? Semuanya banyak yang mengetahui jika lelaki muslim hanya boleh menikahi perempuan dari ahli kitab, bukan yang lain. Dan pemudi muslim, tidak boleh menikah dengan lelaki selain muslim.

Jika demikian adanya, maka sebenarnya menikah beda agama itu tidak mudah. Ada timbangan iman yang benar-benar perlu diperhatikan. Sehingga tidak auto menjadi jawaban atas persoalan kumpul kebo atau sebaliknya. Iman, keteguhan meyakini aturan Allah tetaplah harus diposisikan tinggi. Lebih dari kepatuhan terhadap aturan manusia yang terindikasi menyelisi aturan Islam.

Dan dalam masalah pernikahan ini, sebenarnya aturan Allah telah lengkap dalam termaktub dalam fiqih munakahat. Sehingga esensi pernikahan dalam pandangan Islam bukan sebatas bersatu, menyalurkan naluri. Lebih dari itu pernikahan dalam Islam adalah rangkaian ibadah.

Yang namanya ibadah, tujuannya adalah memperoleh keridhaan Allah. Sehingga tidak bisa jika caranya dikerjakan tidak sesuai yang dituju keridhaannya. Itulah mengapa iman dan keteguhan pada aturan Allah harus ditinggikan, sebab memang agar ridha itu benar-benar didapatkan.

Lebih dari itu, pernikahan dalam Islam memang diarahkan untuk melangsungkan keturunan. Keturunan yang dikehendaki bukan yang sekedar mampu bertahan hidup, melainkan generasi sholih yang mampu melanjutkan estafet peradaban dengan kebaikan. Itulah mengapa sejak menikah pun diatur, agar generasi yang lahir didampingi orang tua yang satu tujuan, mengantarkan anak pada jalan keridhaan juga.

Bagaimanapun juga, keluarga memiliki peran penting sebagai tempat tumbuh kembang, tempat penanaman pondasi kehidupan sekaligus penanaman nilai-nilai keimanan pertama dan utama bagi anak-anak. Pondasi bentukan keluarga ini nanti yang akan memberikan kekuatan dan kekokohan bagi anak untuk menerjang badai akhir zaman. Sehingga memang dibutuhkan satu kesamaan, agar apa yang dipancangkan sebagai landasan benar-benar menciptakan kepribadian.

Dari sini maka nampak lah bahwa pernikahan diluar koridor kesamaan agama, sebenarnya bukan hal tepat. Sehingga sulit berharap ada kehidupan keluarga "sehat", sebab sejak dari hal asasi berkaitan dengan keyakinan saja sudah tidak sejalan. Yang sejalan saja masih sering beda pendapat soal bagaimana rumah tangga dijalankan bukan?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak