Akses Pendidikan dengan Sistem Zonasi Bukan Solusi



Oleh : Sendy Novita, S.Pd 
(Praktisi pendidikan)

Baru-baru ini Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Jumeri mengatakan bahwa kebijakan zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), merupakan salah satu upaya meningkatkan akses layanan pendidikan yang berkeadilan. Mampu mengangkat mutu pendididkan yang relevan sehingga bisa lebih baik lagi (Gatra.com 20/6).
Pedoman yang digunakan dalam pelaksanaan PPDB tahun 2022 ternyata masih sama seperti tahun sebelumnya. Yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021yang menjelaskan bahwa PPDB dilakukan melalui empat jalur. Zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan jalur prestasi.
Di jenjang SD, sebanyak 70% dari daya tampung sekolah digunakan untuk zonasi, 15% untuk afirmasi, dan 5% pada jalur perpindahan orang tua. Sedangkan untuk SMP dan SMA, jalur zonasi diberikan kuota sebesar 50%, afirmasi 15%, serta jalur perpindahan orang tua maksimal 5%, dan selebihnya dapat digunakan sebagai jalur prestasi. Hanya saja untuk jalur zonasi jenjang SD kuotanya lebih banyak karena di jenjang tersebut belum diadakan jalur prestasi.

Masalah dalam Zonasi
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi bukanlah yang pertama kali dilaksanakan di tahun ini. Di tahun sebelumnya sistem ini mampu menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Dan kini polemik tersebut kembali terulang. 

Misalnya kasus di SDN 197 Sriwedari Surakarta, Jawa Tengah yang hanya mempunyai satu murid baru hasil PPDB secara daring. Kepala SDN 197 Sriwedari Surakarta, Bambang Suryo Riyadi mengatakan, sejak diterapkan sistem zonasi dari tahun ke tahun jumlah siswa cenderung menurun. Apalagi, SDN Sriwedari No 197 letaknya tidak berada di tengah perkampungan (Antara, Kamis, 30 Juni 2022). 

Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, memang terdapat banyak dampak dari sistem zonasi ini, salah satunya seperti yang dialami oleh SDN 197 Sriwedari. Contoh masalah lain dari sistem zonasi ini adalah banyak orang tua peserta didik melakukan manipulasi data tempat tinggal atau pindah rumah agar dekat dengan sekolah yang ingin dituju karena dinilai unggul atau favorit.

Selain itu, tidak semua kelurahan memiliki sekolah negeri. Karena sekolah negeri memang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Dampak lain adalah jam mengajar guru yang berkurang karena siswa dan kelasnya sedikit. Dengan jumlah jam mengajar minimal 24  Pasti  berdampak pula pada sertifikasi, tunjangan, dan honor para guru.

Berkaca dari fakta tersebut, sistem zonasi ternyata berdampak buruk bila tidak dikelola dengan baik. Jika tanpa ada pemerataan kualitas sekolah, maka zonasi tidak akan diminati, karena siswa tetap memilih sekolah berdasarkan mutu yang bagus, bukan berdasarkan jarak. Padalah jaminan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan wajib dibiayai oleh pemerintah jelas sudah termaktub dalam berbagai regulasi. 

Dalam Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 misalnya, menegaskan bahwa: "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” belum lagi dalam Pasal 5 UU Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan: "Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh anak.” Lalu Pasal 1 ayat 18: "Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.”  jelas pelanggaran hak anak jika zonasi tetap diberlakukan tanpa pengaturan maksimal. Karena right to education adalah hak dasar yang melekat pada anak dan pemerintah wajib memberikan layanan yang berkualitas dan berkeadilan


Zonasi dalam Islam
Terjadinya masalah-masalah dalam sistem zonasi pada PPDB karena kurangnya pemerataan persebaran sekolah. Infrastruktur yang tidak memadai. Ketersediaan sarana dan prasarana yang tidak layak, susah  dijangkau dan diskriminatif harus menjadi perhatian pemerintah. Bahkan tenaga pengajar yang profesional harus benar-benar menjadi prioritas utama. Pendidikan yang berkualitas terdistribusi merata keseluruh jenjang pendidikan baik itu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan lanjutan tanpa terfokus pada sekolah-sekolah tertentu. Sebab, pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah secara penuh. Mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan merata adalah hak seluruh warga negara tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, agama dan sebagainya. 


Pendidikan di dalam Islam tak perlu menggunakan sistem zonasi baik karena jarak dengan sekolah, jalur prestasi, jalur afirmasi maupun jalur lainnya. Dalam Islam pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah sepenuhnya dan ini merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Sehingga negara mempersiapkan fasilitas pendidikan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Berlimpahnya tempat-tempat pendidikan seperti sekolah dengan kualitas terbaik yang diberikan oleh negara memberi ruang kepada seluruh warga negara untuk memilih sekolah sesuai dengan minat dan bakatnya.

Dalam Islam, pendidikan sekolah memiliki tujuan yang jelas. Salah satunya membangun kepribadian, pola pikir dan pola sikap yang Islami. Hal ini dilakukan dengan cara penyempurnaan pembinaan. selanjutnya mendidik dengan keterampilan dan pengetahuan agar mampu berinteraksi dengan lingkungan. Selain itu mempersiapkan anak didik untuk memasuki perguruan tinggi dengan mempelajari berbagai ilmu dasar yang diperlukan.

Islam mengatur jenjang pendidikan secara terperinci. Pengelompokan jenjang atau marhala pendidikan di dalam Islam selalu menitikberatkan perhatian kepada fakta yang terjadi pada diri anak didik. Anak didik akan dilihat apakah masih tergolong anak-anak yang belum baligh atau kah sudah dewasa/baligh. Hal ini akan berhubungan erat dengan pengajaran dan pendidikannya di sekolah. Juga akan menjadi dasar pengaturan hubungan sesama manusia dan hubungan lainnya sesuai dengan hukum-hukum Islam.

Maka dalam menentukan jenjang pendidikan diperlukan pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan anak-anak dan dewasa. Hal ini berkaitan erat dengan kedisiplinan dan pembinaan serta kurikulum pendidikan yang akan diajarkan nantinya. Jenjang pendidikan pertama diperuntukan bagi anak-anak yang baru memasuki usia sekolah sampai dengan usia sepuluh tahun. Jenjang pendidikan kedua sejak anak usia 10 tahun sampai mereka dewasa/baligh. Jenjang pendidikan ketiga adalah mereka yang berusia dewasa/baligh. Begitulah islam memandang zonasi dalam pendidikan. Wallahu’alam bhisowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak