Penulis : Siti Fatimah
(Pemerhati Sosial dan Generasi)
Pesta Demokrasi masih sangat lama, 2 tahun menuju hari pelaksanaan bukanlah waktu yang sebentar. Namun, panggung audisi pemilihan calon presiden sudah dimulai. Meskipun malu-malu dalam menentukan pilihan siapa yang akan dicalonkan, akan tetapi demi partai politiknya menang apapun pasti dilakukan. Tidak perduli apakah kandidat benar-benar memiliki kapabilitas (kemampuan memimpin) ataukah tidak, asalkan mampu menjerat simpati rakyat. Apakah memiliki komitmen akan nasib bangsa yang semakin terpuruk, ataukah perduli dengan agama Islam yang semakin sering mendapatkan penghinaa dan pelecehan.
Dari pemilihan umum yang terdahulu hingga sekarang, terbukti bahwasanya siapapun yang terpilih pastilah sosok yang mendapat dukungan dari para kapitalist. Atau bisa jadi mereka adalah sosok-sosok yang memang berkecimpung dalam dunia usaha berskala besar, karena mereka memang memiliki modal yang besar pula untuk melakukan"big campaign".
Para pejabat yang menduduki posisi penting dalam kabinet kerja saat ini ataupun era-era sebelumnya juga banyak yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha.
Apakah ini merupakan hal baik ataukah buruk? Apakah benar bahwasanya memilih pemimpin yang kaya dapat mencegah tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme?
Dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme rasa-rasanya orang kaya bisa bertambah rakusnya, mustahil ketiga hal tersebut (KKN) dapat dicegah karena memang sistem ini merupakan habitat bagi para koruptor dan penjahat. Sistem Demokrasi Kapitalisme bahkan memaksa pejabat untuk korupsi karena dalam meraih kekuasaan diperlukan modal besar, sehingga masa jabatan digunakan sebaik-baiknya untuk mencari kekayaan guna mengembalikan modal kampanye. Mengeluarkan kebijakan pro pengusaha yang telah menyokongnya ataupun memberikan kursi jabatan bagi mereka yang telah berjasa.
Sudah jelas kan dimana letak bobroknya Demokrasi Kapitalisme? Satu hal yang sangat perlu untuk diperhatikan, mengapa Demokrasi Kapitalisme disebut sebagai sistem rusak?
Dalam Demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Berbeda dengan sistem Islam yang memang layak untuk diperjuangkan. Kedaulatan ada ditangan syara' (Allah SWT sebagai pembuat hukum) yang tercantum dalam Al-Quran, As-Sunnah, Ijma'Sahabat dan Qiyas.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)
Dalam memilih pemimpin pun tidak sembarang calon yang diusung melainkan memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu haruslah laki-laki, beragama Islam, berakal, baliq, merdeka (tidak sedang dibawah tekanan pihak-pihak tertentu), adil serta memiliki keahlian dalam memimpin. Syarat-syarat tersebut haruslah dipenuhi sehingga lahirlah pemimpin yang kompeten dan taat syariat. Tidak seperti sekarang yang pejabatnya bahkan tidak membela rakyat melainkan pro pengusaha dan kepentingan mereka saja.
Lain dengan pemilu saat ini yang mana menghabiskan dana milyaran rupiyah, dengan kotak kardus bersama gemboknya yang sangat fenomenal. Sistem Islam memiliki mekanisme pemilihan memalui sistem baiat yang mampu menghemat biaya dan waktu. Selain itu, karena pemimpin sebagai Junnah yang harus melindungi rakyatnya, maka kebijakan-kebijakan Yang diambil oleh pemerintah haruslah pro dengan semua kepentingan rakyatnya. wallahu'alam bishawab.[]