Ada ‘Kasta’ di Sekolah

 


Oleh  Irohima

Tahun ajaran baru sekolah akan segera dimulai, namun kebijakan zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih saja menyisakan setumpuk permasalahan. Masyarakat mengalami banyak kendala dalam akses memperoleh layanan pendidikan. Banyak sekali calon peserta didik baru yang tidak bisa menjadi siswa sekolah negeri dikarenakan tidak masuk kualifikasi zonasi.

Seperti kasus yang terjadi di SDN 197 Sriwedari Surakarta, Jawa Tengah yang hanya memiliki satu murid baru hasil PPDB secara daring ( tirto.id ). SDN Sriwedari yang terletak diantara gedung-gedung perkantoran dan jauh dari perumahan membuat sistem zonasi tak tepat sasaran. Di samping itu, sekolah swasta dan negeri yang melakukan PPDB secara bersamaan secara tidak langsung menimbulkan persaingan dalam menarik calon peserta didik baru. Persoalan lain pun akan muncul ketika calon siswa yang tidak berhasil masuk sekolah negeri harus terpaksa memilih sekolah swasta yang biayanya tidak murah dan ini jelas memberatkan para orang tua.

Pro kontra terkait kebijakan sistem zonasi sejatinya telah berlangsung lama. Banyak pihak yang menilai bahwa sistem ini sangat bermasalah. Selain rawan terjadi kasus seperti yang menimpa SDN Sriwedari, sistem ini memicu orang tua peserta didik melakukan manipulasi data tempat tinggal. Yang paling krusial adalah tidak meratanya jumlah sekolah negeri di Indonesia membuat tujuan diterapkannya kebijakan zonasi sebagai upaya meningkatkan akses layanan pendidikan berkeadilan hanya akan menjadi wacana berjangka panjang.

Kasus yang terjadi di SDN Sriwedari juga dinilai oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji sebagai bentuk nyata dampak buruk sistem zonasi tanpa pemetaan wilayah dan kesenjangan kualitas, akibatnya akan banyak sekolah seperti SDN Sriwedari yang sepi peminat.

Sistem zonasi adalah sebuah sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal. Sistem ini diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 dan ditujukan untuk mengubah paradigma sekolah favorit dan non favorit. Sistem zonasi mulai diberlakukan pada tahun 2017.

Meski sistem ini disinyalir mampu meratakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak seluruh Indonesia, namun faktanya sistem ini memiliki kelemahan diantaranya :
Peta koordinat yang kurang tepat.
Jarak dekat yang menjadi prioritas sistem ini meniscayakan pemakaian aplikasi google map yang seringkali tidak akurat dan menyebabkan banyak yang gagal masuk zonasi, padahal realitanya domisili sang anak dekat dengan sekolah.

Rentan kelebihan kapasitas. Pemetaan jumlah usia anak sekolah dan jumlah daya tampung sekolah yang kadang sulit dilakukan membuat sekolah rentan mengalami kelebihan kapasitas.

Manipulasi wali murid. Sistem ini mendorong wali murid melakukan manipulasi data tempat tinggal agar bisa memasuki sekolah sesuai keinginan mereka.

Selain berpotensi besar merugikan banyak calon peserta didik, sistem zonasi yang ingin menghilangkan perbedaan ”kasta” sekolah nyatanya kini membuat banyak orang tua cukup terganggu dengan kondisi dimana setiap anak memiliki kesempatan masuk ke sekolah unggulan terlepas dari kemampuan sang anak yang sangat pintar atau yang sangat kurang.

Kondisi ini membuat para orang tua terkadang berpikir ulang untuk memanfaatkan sistem zonasi, walhasil mereka kembali memilih alternatif sekolah swasta. Kondisi ini juga bisa menjadi salah satu faktor kosongnya bangku sekolah negeri dan ramainya minat pada sekolah swasta meski memberatkan dari segi biaya.

Banyaknya orang tua yang terpaksa beralih ke swasta ditambah dengan kondisi jumlah sekolah negeri yang tidak merata membuat wacana mewujudkan pendidikan yang berkualitas ke seluruh anak bangsa menjadi hal yang patut dipertanyakan.

Realita sistem zonasi yang menimbulkan banyak penolakan, kecurangan, kesulitan akses hingga beratnya biaya pendidikan merupakan buah dari sistem pendidikan ala sekuler kapitalis.

Sistem sekuler kapitalis meniscayakan peran penguasa tidak maksimal dalam meriayah rakyat terkait sektor pendidikan. Banyak mengalihkan tanggung jawab memberi hak dasar pendidikan kepada swasta hingga dalam hal ini pihak swastalah yang diuntungkan. Biaya sekolah swasta yang tinggi akan menjadi lahan empuk tersendiri bagi para pemilik modal besar (kapitalis) yang menjadikan sekolah sebagai komoditi yang dikomersialisasi.

Misi pendidikan untuk mencerdaskan bangsa tak lagi menjadi prioritas utama karena dalam sekuler kapitalis yang terpenting adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.

Sekuler kapitalis membuat setiap kebijakan yang dibuat tidak pernah menyentuh akar persoalan hingga membuahkan persoalan demi persoalan baru bermunculan.

Sistem yang berasakan manfaat akan selalu mengutamakan keuntungan dan tentu ini akan berdampak pada setiap kebijakan termasuk kebijakan terkait pendidikan. Sistem ini juga membuat negara abai dalam menunaikan kewajiban sebagai institusi yang bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat akan pendidikan.

Saat kita bandingkan dengan kondisi sekolah saat peradaban Islam tegak, kondisi sekarang sungguh sangat berlawanan. Dalam Islam, justru sekolah negeri akan mendominasi pelaksanaan aktivitas pendidikan. Sekolah-sekolah negeri akan dibangun merata ke seluruh pelosok wilayah sebagai bentuk riayah negara dalam pemerataan pendidikan bagi anak bangsa. Tak kan ada “ kasta “ dalam sekolah karena semua akan diperlakukan sama. Adapun keberadaan sekolah swasta yang dibangun hanya dikarenakan semangat fastabiqul khairat untuk menjadi ladang pahala bukan mencari harta.

Negara dalam Islam akan mengatur hal-hal terkait sarana dan prasarana mulai dari gedung sekolah, laboratorium, perpustakaan hingga guru-guru yang berkualitas. Sistem keuangan Islam yang mumpuni juga akan bisa memberikan pendidikan gratis alias tidak berbiaya kepada seluruh warga.

Konsep pendidikan Islam yang ideal, adil dan merata akan membuat masyarakat akan lega, karena tak perlu bersusah payah mencari sekolah. Tak perlu khawatir juga anaknya yang “pintar” akan “terlantar” dan yang “kurang” akan “terbuang”. Karena Islam akan mendorong setiap aktivitas pendidikan secara total dan menyeluruh dengan memberikan fasilitas penuh dan berkualitas serta didukung tenaga pendidik yang mumpuni dan senantiasa sabar dalam menghadapi kendala apapun dalam proses mengajar.

Mereka akan mengerahkan segenap kemampuannya dalam memberikan pendidikan terbaik bagi anak negeri hingga output yang dihasilkan tak akan pernah gagal, bahkan sebaliknya mampu menelurkan output yang terbaik, beriman dan bertakwa, tangguh serta mampu menjadi tulang punggung peradaban.

Masihkah kita akan bertahan dengan sistem yang selama ini membuat kita resah, tak memuaskan jiwa bahkan cenderung menjadi sumber masalah dan petaka ? Tentu tidak bukan, sebagai orang beriman yang diberi akal dan pikiran, harusnya kita bisa memilah mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bagus dan mana yang membuat kita terjerumus. Dan sudah jelas hanya Islam lah sistem yang terbaik dalam menangani banyak masalah kehidupan termasuk pendidikan.

Wallahu a'lam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak