Oleh Ummu Fatiha
Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Pendidikan
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Jawa Barat setiap tahunnya masih menuai berbagai polemik. Mulai dari jual beli kursi, pemalsuan domisili, hingga urusan surat rekomendasi. Beberapa oknum memanfaatkan kekhawatiran orang tua yang sedang berlomba-lomba mencari sekolah negeri favorit untuk putra putrinya.
Menyikapi adanya potensi penyalahgunaan wewenang oleh kepala sekolah, guru dan staf pendidikan, Bupati Kabupaten Bandung menegaskan bahwa akan ditetapkan sanksi bagi oknum yang menyalahgunakan kedudukan dan jabatannya (rmoljabar.id, 03/06/2022).
Abdul Hadi Wijaya, Wakil Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat, mengungkapkan ada tiga babak penyimpangan dalam PPDB, babak pertama yaitu sebelum PPDB di mana terjadi modus pindah rumah dengan kartu keluarga asli tapi palsu, nilai rapor yang dinaikan, dan orang tua yang pindah kerja tapi sebatas di atas kertas. Babak kedua yaitu saat proses PPDB di mana terjadi modus menaikan nilai rapor siswa ketika memasukan nilai dalam sistem dengan alasan operator lupa dan mengantuk. Babak ketiga yaitu setelah PPDB dimana terjadi “kursi lebih” yang menyebabkan di tahun depan ada anak yang pindah sekolah. (porosmedia.com, 15/06/2022)
PPDB dengan sistem zonasi pada awalnya dimaksudkan untuk pemerataan dan mewujudkan keadilan dalam akses pendidikan. Di mana siswa diharapkan dapat belajar di sekolah yang tidak jauh dari tempat tinggal, nyatanya memunculkan masalah baru. Jumlah sekolah yang belum memadai, perbedaan sarana dan prasarana, serta kualitas sekolah, di antaranya menjadikan sistem zonasi tidak berjalan dengan baik.
Sebelum diberlakukan sistem zonasi, seharusnya dilakukan penambahan sarana prasarana sekolah secara masif khususnya di daerah-daerah terpencil. Minimnya fasilitas pembelajaran merupakan salah satu masalah krusial dalam pendidikan di negeri ini. Walaupun bukan satu-satunya parameter keberhasilan, namun dengan sarana yang memadai, maka akan memberikan peluang bagi seluruh kalangan masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan secara merata.
Permasalahan pendidikan di Indonesia sebelum adanya sistem zonasi, sebenarnya sudah sangat pelik. Misalnya masalah kurikulum yang berganti-ganti, fasilitas pendidikan yang belum layak, kualitas dan kuantitas guru yang masih kurang, minimnya anggaran pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, dan yang lainnya, sampai saat ini belum terselesaikan, malah bermunculan masalah baru.
Semua permasalahan di atas tidak bisa dilepaskan dari penyebab utamanya yaitu penerapan sistem kapitalisme-sekular. Kapitalisme yang mengedepankan keuntungan menjadikan negara tidak maksimal dan serius memenuhi sarana prasarana pendidikan yang memadai bagi seluruh anak didik. Sehingga masih banyak sekolah-sekolah terutama di daerah yang memprihatinkan. Bangunan tidak layak, tenaga pengajar kurang, juga sarana tidak mencukupi.
Anggaran yang disediakan dari APBN bagi pendidikan sangatlah minim. Pendidikan dikomersilkan, bagi yang banyak uang akan mendapatkan kesempatan mendapatkan sekolah yang berkualitas, sementara bagi yang miskin harus rela memperoleh sekolah yang minim fasilitasnya bahkan putus sekolah.
Relasi lembaga pendidikan dan peserta didik mengarah pada transaksi harga antara penjual dan pembeli. Bukan hanya harta kekayaan, yang beredar di kalangan orang kaya saja, tetapi ilmu pengetahuan dan keterampilan pun tidak jauh berbeda.
Sekularisme yaitu meminggirkan agama dari pengaturan kehidupan, telah melahirkan prilaku manusia yang tidak lagi mempertimbangkan halal-haram. Pemalsuan, suap-menyuap, penyalahgunaan wewenang, menjadi hal biasa, sekalipun di lembaga pendidikan. Padahal sejatinya pendidikan adalah proses membentuk karakter anak didik yang bertakwa dan memiliki pengetahuan serta keterampilan sebagai bekal untuk kehidupannya.
Maka dapat kita simpulkan, niat baik saja tidak cukup. Penting untuk mengembalikan apa sebenarnya tujuan (orientasi) pendidikan itu sendiri. Pemerataan untuk mencapai keadilan menjadi absurd di sistem kapitalisme. Masih banyak anak putus sekolah karena tersandung biaya. Padahal mereka adalah aset bangsa yang semuanya menjadi tanggung-jawab negara. Selain sarana prasarana, mau dibentuk ke arah mana out put pendidikan kita? Kalau agama tidak dijadikan pijakan, maka paham liberal lah yang memenuhi relung hati anak didik. Sungguh bencana luar biasa, yang dikejar kehidupan duniawi, mengabaikan ukhrawi.
Sistem pendidikan di bawah naungan kapitalisme sangat berbeda dengan sistem pendidikan di bawah naungan sistem Islam atau khilafah. Seorang khalifah atau pemimpin negara menaruh perhatian besar bagi keberlangsungan proses pendidikan. Negara akan membangun dan menyediakan sarana prasarana pendidikan secara merata baik di daerah maupun di perkotaan tanpa kecuali.
Semua warga negara berkesempatan sama memasuki sekolah dengan kualitas sama, nyaris tanpa biaya. Rasulullah saw bersabda,
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini lah yang disadari oleh para penguasa pada masa kejayaan Islam untuk menyediakan fasilitas pendidikan terbaik, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Sementara di Madrasah Al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al-Muntashir Billah di kota Baghdad, selain fasilitas lengkap, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).
Hal yang tidak kalah penting diperhatikan oleh seorang khalifah, adalah tujuan atau orientasi dari penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya, yaitu membentuk kepribadian Islam (Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah) pada setiap anak didik. Agar terbentuk pola sikap dan pola pikirnya sesuai dengan kehendak Allah Swt. sehingga tidak mudah terjerumus kepada hal yang diharamkan. Akan menjauhi suap menyuap, penyalahgunaan wewenang, pemalsuan, dan yang lainnya. Kelak mereka akan mengisi kekosongan kepemimpinan pendahulunya dengan amanah.
Berharap pemerataan akses pendidikan serta out put yang memiliki karakter generasi pemimpin yang bertakwa dan berkemampuan, hanyalah kepada sistem Islam saja. Sudah saatnya kita rindukan untuk menyelamatkan generasi.
Wallahu a’lam bishawwab