Oleh : Sindy Utami, SH.
Larangan Penghinaan terhadap Penguasa yang Multitafsir
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Raihan Ariatama, menilai beberapa pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dapat menghambat demokratisasi di Indonesia. Dalam draf RKUHP versi September 2019 yang dapat diakses publik, terdapat beberapa pasal kontroversial yang dinilai akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Ia memberi contoh seperti Pasal 218 tentang penghinaan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 tentang penghinaan terhadap pemerintah.
Pasal 273 tentang pidana bagi demonstran yang tidak melakukan pemberitahuan dan menimbulkan keonaran dan Pasal 353 dan 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
"Pasal-pasal tersebut mengandung multitafsir dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik dan mempidanakan para aktivis yang menyuarakan kiritiknya, baik itu melalui aksi demonstrasi maupun melalui sarana teknologi informasi seperti media sosial," kata Ketua Umum PB HMI Raihan Ariatama, Sabtu (18/6/2022) dalam keterangan tertulisnya. (Republika.co.id Sabtu 18 Juni 2022)
Konon 'Freedom of Speech' , Inilah Bayang-bayang Matinya Demokrasi
Indonesia menganut sistem negara hukum dan demokrasi. Penggabungan sistem ini biasa dikenal dengan "negara hukum yang demokratis" (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy.
Konsep negara hukum dan negara demokrasi secara eksplisit ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan UUD NRI 1945. Pada Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Di sisilain prinsip demokrasi juga ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (2). Pasal ini menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Penggabungan dua kutub sistem ini mengharuskan aturan hukum beperan sebagai hal yang membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat harus dipenuhi sepenuhnya, mulai dari disalurkannya, dijalankan, dan diselenggarakan. Sebaliknya, dalam prinsip demokrasi maka suatu hukum harus mencerminkan kepentingan dan perasaan keadilan rakyat sehingga tidak membangkitkan negara hukum yang totaliter. Oleh karenanya hukum harus dibuat dengan mekanisme sedemokratis mungkin.
KUHP merupakan representatif dari bagian eksistensialis negara hukum di indonesia. KUHP yang digunakan sebagai acuan hukum pidana merupakan warisan hukum kolonial belanda yang masih digunakan hingga hari ini. KUHP warisan kolonial yang bersifat liberal ini dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai sosio-filosofik, sosio politik, dan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat yang semakin hari dinamika sosialnya akan bersifat dinamis. Keinginan untuk membuat produk KUHP Nasional juga mendorong harus adanya pembaharuan hukum di negara khususnya KUHP.
Namun demikian, sistem pemilihan yang berbiaya mahal dalam konsep demokrasi, apakah mungkin mewujudkan 'keadilan di tangan rakyat' ? Sekarang mari kita telusuri bagaimana seseorang dapat menjadi pejabat pemerintahan, dimulai dari pemilihan umum (pemilu) yang biasanya diawali masa kampanye. Dalam masa ini setiap orang yang hendak menjabat saling bersaing memperoleh suara rakyat agar menjatuhkan pilihan padanya dengan berbagai cara misal : kunjungan, sosialisasi, bantuan medis, bantuan sosial dan lain sebagainya.
Dan yang lazim biasanya pelaksanaan pencitraan yang bukan tanpa biaya. Lantas dengan biaya besar tersebut, harapannya ketika berkuasa nanti jabatannya akan bisa menutupi biaya-biaya yang ditimbulkan selama kampanye. Dari mana para calon pejabat memperoleh biaya? Sebab semakin besar biaya berbanding lurus dengan peluang berkuasa. Biaya tentu diperoleh paling banyak dari korporasi. Atau banyak pula korporat yang menjajal kursi pejabat agar bisnisnya kian melesat. Sampai disini apa regulasi yang diproduksi? Tentu regulasi yang bersahabat dengan lingkungan pemilik modal. Realisasi nyata dalam pelaksanaanya nampak pada UU Cipta Kerja yang tetap sah meski diunjuk rasa seantero Nusantara.
Dalam situasi tersistem yang demikian maka tidak mungkin suara rakyat adalah dihargai, apalagi dianggap suara Tuhan sebagaimana pepatah Masyur dalam demokrasi yang mengatakan Vox Populi Vox dei. Tatkala pemuja demokrasi bereuforia dengan suara rakyat yang dianggap suara paling agung muncul rancangan regulasi sebagai berikut :
RKUHP Pasal 240
"setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintahan yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Suatu saat ketika rancangan ini disahkan bisa jadi kritik dari rakyat dianggapatau ditafsirkan sebuah hinaan oleh penguasa. Inilah ketika pembungkaman terhadap kritik yang terjadi pada negeri demokrasi yang konon 'menjunjung tinggi suara rakyat' adalah bentuk hipokrit dalam demokrasi. Sehingga proses perumusan RKUHP hingga pengesahannya nanti adalah bentuk bayang-bayang akan matinya demokrasi. Sehingga dengan tumbangnya sistem ini tentu ada sistem lain yang secara alamiah akan menggantikan sistem tersebut.
Kritik dalam Sistem Islam
Kritik terhadap penguasa adalah tabiat kaum muslim dalam melakukan nahi mungkar dan muhasabah lil hukam. Kritik yang dimaksud ialah meluruskan kebijakan penguasa agar sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Siapa pun bebas mengkritik penguasa. Bukankah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa adalah sebaik-baik jihad? Rasulullah saw. bersabda,
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud)
Adapun menghina fisik atau pribadi penguasa, Islam melarangnya secara tegas karena bentuk fisik seseorang adalah sebaik-baik ciptaan Allah Taala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Al-Fatawa mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah. Ia berniat untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain.” (Muslimah News, 13/10/2020)
Memang, terkadang kritik itu pahit, tetapi pahitnya memberikan kesembuhan layaknya obat bagi orang sakit. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan sehat jika amar makruf nahi mungkar senantiasa dilestarikan, saling menasihat dalam kebaikan, dan mencegah kerusakan yang lebih besar.
Khulafa pada masa kekhalifahan Islam telah memberikan teladan terbaik mereka sebagai penguasa kaum muslim. Sebut saja Khalifah Umar bin Khaththab yang lebih senang dikritik rakyatnya. Ketika seorang perempuan tampil berani mengkritiknya perihal mahar, beliau justru berterima kasih kepadanya.
Begitu pula Khalifah Hisyam bin Abdul Malik yang legawa dikritik salah satu ulama tabiin, Atha’ bin Rabbah. Beliau mengingatkan Khalifah tentang bantuan pemerintah untuk penduduk Najd, Hijaz, dan daerah perbatasan. Atha’ juga mengingatkannya perihal jizyah bagi zimi agar ditegakkan sesuai batas kesanggupannya. Khalifah menerimanya dengan lapang dan menjalankannya sesuai pesan sang ulama. Ada pula kisah seorang Arab Badui yang menasihati Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tentang bahayanya pejabat yang memiliki sifat memerintah sesuka hati tanpa berpegang teguh pada keadilan yang berada di tampuk Syara'. Dengan demikian ini adalah sistem paling ideal yang dapat menjamin keadilan dan kebebasan sesuai dengan takaran yang benar.
Wallahu'Alam bish shawwab
Tags
Opini