Oleh : Venti Budhi Hartanti, S.Pd.I
Sungguh betul apa kata pepatah dulu, "guru jasa mu tiada tara" Itu gambaran yang pas buat tenaga pendidikan khususnya di Indonesia. Tugas mereka luar biasa, mencerdaskan anak bangsa. Bekerja dengan dedikasi yang tinggi, demi terwujudnya tugas kemuliyaannya. Mengorbankan banyak hal hanya untuk mendidik anak muridnya. Namun mirisnya ini tidak sebanding dengan gajih yang mereka peroleh. Seperti kisah yang sekarang sedang viral kisah seorang guru honorer yang bergajih tidak sampai Rp. 200 ribu per bulan. Bahkan ada seorang guru yang sekali tatap muka mengajar, hanya digajih Rp. 3.000. Sungguh regulasi yang tidak manusiawi di negeri yang mengaku Zamrud Khatulistiwa.
Tentu ini menjadi pertanyaan yang menggelitik. Guru yang pada dasarnya memiliki tugas mulia dalam mendidik calon-calon generasi penerus dan SDM unggul, penopang keberlangsungan umat pada masa depan, justru masih menyimpan permasalahan pelik yang tidak kunjung berakhir.
Kala Muhadjir Effendy menjadi Mendikbud, ia menjelaskan rendahnya gaji guru honorer lantaran hanya dibiayai pihak sekolah yang mempekerjakan. Ini karena guru honorer tidak terikat instansi mana pun, melainkan diangkat kepala sekolah. Oleh sebab itu, guru honorer merupakan tanggung jawab pihak sekolah yang melakukan pengangkatan untuk membantu kegiatan belajar mengajar di sekolahnya. (Detik, 3/5/2018).
Setelah berganti menteri 2020 lalu, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud 19/2020. Isinya adalah guru honorer bisa mendapatkan gaji dari dana BOS dengan ketentuan dan syarat yang harus terpenuhi.
Seiring berjalannya waktu, program Kemendikbud tersebut pun menuai berbagai reaksi, salah satunya pendapat bahwa dana BOS seharusnya digunakan untuk keperluan mendadak atau mendesak yang diperlukan sekolah. Walhasil, ketika harus membaginya dengan menggaji guru honorer, dana BOS tersebut tidak akan maksimal. (Sindo News, 8/2/2022).
Pada November 2020, pemerintah membuka kesempatan bagi para guru honorer untuk mendaftar dan mengikuti ujian seleksi menjadi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021. Seleksi ini terbuka bagi guru honorer yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini tidak mengajar.
Pemberian gaji peserta PPPK Guru yang lolos pada 2021 maupun 2022 sendiri sudah dianggarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Sayangnya, setelah Januari 2022 berakhir, PPPK Guru belum juga diangkat dan memperoleh status sebagai ASN.
Hingga saat ini, baik panselnas maupun pemerintah daerah (pemda) belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kapan tepatnya PPPK Guru diangkat sebagai ASN. (Tirto, 7/2/2022).
Kabar terbarunya, para guru yang lulus passing grade (PG) PPPK, tetapi tanpa formasi, siap turun ke jalan 23 Mei 2022 ini. Mereka menolak alternatif pertemuan daring dengan pejabat Kemendikbudristek maupun Kemen PAN-RB. Mereka berencana berdemo untuk menuntut kejelasan nasib 193 ribu guru honorer yang lulus PG, tetapi tidak memiliki formasi PPPK. (JPNN, 20/5/2022).
Pemerintah juga telah sepakat menghapus tenaga honorer di lingkungan pemerintahan mulai 2023 mendatang, sejalan dengan mandat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 49/2018.
Tenaga honorer yang teridentifikasi di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah, misalnya guru dan tenaga administrasi, penghasilan yang mereka terima tidak bisa disamakan seperti PNS atau PPPK.
Deputi Bidang SDM Aparatur Kemen PAN-RB Alex Denni mengakui bahwa ada segelintir honorer yang mendapatkan gaji di bawah UMP. Hal ini karena hingga saat ini tidak ada pos anggaran yang secara spesifik dari pemerintah pusat maupun daerah untuk membayar tenaga honorer. Biasanya, pembayaran gaji honorer masuk ke dalam pos belanja barang.
“Karena tidak ada ofisial, jadi enggak ada yang ngatur gajinya. Jadi, kadang-kadang anggaran satu orang itu dibagi tiga daerah,” tegas Alex (CNBS Indonesia, 18/5/2022).
Inilah realitas regulasi penggajian tenaga guru honorer dalam sistem kapitalisme sekuler. Sungguh regulasi yang tidak manusiawi. Padahal, guru honorer memiliki semangat kerja yang tidak jauh beda dengan guru ASN.
Fakta di lapangan bahkan menunjukkan bahwa guru honorer mendapatkan tugas pekerjaan yang lebih berat di luar tugas utamanya, antara lain bisa menjadi operator sekolah, pengelola laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta administrasi lainnya. Walakin, meski beban kerja mereka lebih berat daripada guru ASN, mereka mendapat honor yang sangat minim. Dan sejak isu penghapusan untuk tenaga honorer maka tidak dipungkiri banyak tenaga honorer yang diberhentikan dari sekolah sekolah negeri. Dengan alasan tidak bisa menggajih lagi dan sudah banyaknya tenaga PPPK yang masuk.
Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme
Kalau kita mau jujur, penyebab benang kusut penggajian guru honorer ini tidak pernah terurai tidak lain dan tidak bukan adalah karena penerapan sistem kapitalisme sekuler. Kapitalismelah yang membawa negeri ini masuk ke dalam jurang kehancuran.
Tetap hidup dalam kapitalisme hanya akan membuat para guru menderita dan terhina. Padahal, guru adalah tulang punggung pendidikan nasional yang akan menentukan nasib bangsa. Karena kesejahteraan guru juga sedikit tidaknya akan mempengaruhi dalam kualitas mengajar mereka.
Guru Sejahtera dalam Naungan Khilafah Islamiah
Dalam sistem Islam, negara berkewajiban mengatur segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam sistem pendidikan Islam, negara menetapkan regulasi terkait kurikulum, akreditasi sekolah, metode pengajaran, bahan-bahan ajar, termasuk penggajian tenaga pengajarnya dengan regulasi yang manusiawi, bahkan memuaskan.
Kepala negara (khalifah) akan semaksimal mungkin memenuhi kepentingan rakyatnya, termasuk pada para pegawai yang telah berjasa bagi negara.
Berkenaan hal ini, Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ahkaam menjelaskan bahwa seorang khalifah berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam, kita akan mendapati betapa besarnya perhatian khulafa terhadap pendidikan rakyatnya, demikian pula terhadap nasib para pendidiknya.
Khalifah memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan)—termasuk guru—berupa gaji dan fasilitas, baik perumahan, istri, pembantu, ataupun alat transportasi. Semua harus disiapkan negara.
Guru dalam naungan Khilafah akan mendapatkan penghargaan yang begitu tinggi dari negara, termasuk gaji yang bisa melampaui kebutuhannya.
Sebagai gambaran, diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadhi’ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas). Bila saat ini harga per gram emas Rp900 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp57.375.000.
Begitu pun masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya, yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah, gaji guru berkisar antara 11—40 dinar. Artinya, apabila dikurs dengan nilai saat ini, gaji guru adalah Rp42—153 juta.
Dalam sistem Khilafah para guru begitu terjamin kesejahteraannya tanpa ada pembedaan antara guru honorer dan nonhonorer, سبحان الله.
Demikianlah kesejahteraan guru dalam naungan Khilafah Islam. Selain mereka mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan dalam mengakses sarana-prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Hal ini menjadikan guru bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan negara demi membangun peradaban agung dan mulia, tanpa harus bekerja sampingan dalam rangka mendapatkan tambahan pendapatan.
Inilah regulasi Islam yang sangat visioner. Hanya dengan Khilafah Islamiah, problematik pendidikan (termasuk kesejahteraan guru) dapat terselesaikan dan terlaksana dengan paripurna. Wallahualam.
Tags
Opini