Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Generasi muda dengan segenap potensinya, baik kekuatan fisik, ketajaman berfikir, emosi, semangat dan keberanian menghadapi tantangan, harus dikelola agar seluruh potensi tersebut membawa kebaikan bagi dirinya dan umat. Kaum muda yang sedang dalam proses pencapaian jati diri dan identitas, sering dinarasikan akan menjadi sasaran paling strategis untuk memperkuat Gerakan radikalisme.
Sebagaimana ucapan kasubid kontra propaganda direktorat Pencegahan BNPT. Kolonel Sujatmiko, di Palu, 23 Mei 2022, “ Penyebaran faham radikalisme saat ini menempatkan generasi muda sebagai sasaran. Oleh karena itu, generasi muda harus dilindungi, ditingkatkan kapasitasnya, dan diberi ruang untuk berperan mencegah tumbuh dan berkembangnya faham radikalisme”. (www.anatarnews.com, 23/05/2022)
Narasi ini, sejalan dengan program kurikulum moderat yang dua tahun lalu telah diterbitkan oleh Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) dengan tajuk "Membangun Karakter Moderat” (www.republika.co.id, 3 juli 2020).
Dengan modul ini, diharapkan para guru memiliki panduan untuk menginternalisasi pemahaman Islam yang disebut lebih ramah, lebih toleran, dan terbuka atas perbedaan. Karenanya diharapkan para peserta didik akan terjauhkan dari sikap radikal.
Salah satu agenda yang sangat serius digarap adalah perubahan kurikulum pesantren dan madrasah yang digawangi Kementerian Agama. Momentumnya dipicu temuan 155 buku pelajaran yang dianggap mengandung paham “radikal” seperti ajaran soal Khilafah dan jihad di pertengahan tahun sebelumnya.
Memang bukan kebetulan, jika kedua isu tersebut –khususnya isu Khilafah– sedang ramai-ramainya dibicarakan. Gagasan ini, pelan tapi pasti mulai dikenal masyarakat di berbagai komunitas dan jenjang pemikiran. Bahkan nyaris diterima sebagai visi baru perubahan di tengah gagalnya sistem sekuler-kapitalis memberi kehidupan yang menenteramkan.
Harus diakui, dakwah Islam kaffah dan Khilafah ini telah berhasil membuka mata umat akan hakikat persoalan yang mereka hadapi. Krisis multidimensi yang tiada henti tak lain berakar dari rusaknya sistem yang diterapkan. Yakni sistem sekuler demokrasi kapitalisme-neoliberal yang mengukuhkan hegemoni kapitalisme global.
Siapa pun tak bisa memungkiri kenyataan, sistem ini memang menjadi sumber segala kerusakan. Karena sistem ini begitu menuhankan kebebasan. Mulai dari kebebasan berperilaku, beragama, memiliki, dan berpendapat.
Dari paham kebebasan inilah lahir berbagai aturan hidup yang memicu krisis di berbagai bidang. Mulai dari krisis moral, politik, ekonomi, dan lain-lain. Krisis ini begitu telanjang. Hingga siapa pun yang waras bisa merasakan, bangsa ini sedang menghadapi begitu banyak persoalan.
Tengoklah generasi kita. Materialisme, hedonisme, dan sifat permisif begitu lekat dengan kehidupan mereka. Tak tampak lagi jati diri muslim selain sekadar nama dan pakaian. Mereka telah terpapar sistem hidup yang rusak. Mulai dari pergaulan bebas, narkoba, kekerasan, hingga penyimpangan seksual yang menjijikkan.
Di bidang ekonomi pun tak kalah buruknya. Indonesia kian hari kian tenggelam dalam utang ribawi berkepanjangan. Di saat sama, penguasaan sumber daya dan sektor-sektor vital oleh asing justru dilegalisasi penguasa. Walhasil, kemiskinan pun jadi potret bersama.
Maka, di saat arus kesadaran Islam ideologis ini muncul, mereka berteriak lantang bahwa radikalisme adalah musuh bersama dan ajaran Islam tentang Khilafah dan jihad adalah ajaran yang berbahaya. Padahal faktanya, tak ada hubungan antara krisis multidimensi dan penjajahan oleh asing dan paham radikalisme, ide Khilafah, dan ajaran jihad yang selama ini dimusuhi negara.
Demikianlah, tuduhan radikal jika mempelajari Islam seutuhnya, sangat tidak berdasar. Bahkan istilah radikal pun tidak menjadi istilah umat Islam. Sehingga tidak ada keperluan umat Islam harus merevisi atau menjadikan moderat ajarannya. Langkah moderasi yang terstruktur dan masif ini, sama sekali tidak ada manfaatnya. Justru akan membawa umat ini semakin berpikiran sekuler. Semakin ingin jauh dengan syariat Islam.
Wallahu a’lam.