Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Belakangan, digital startup melakukan efisiensi demi mempertahankan keberlangsungan bisnisnya. Salah satu efisiensi bisnis yang dilakukan perusahaan rintisan ini ialah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sebut saja, LinkAja dan Zenius yang pekan lalu melakukan PHK dengan alasan penyesuaian bisnis di tengah kondisi makro ekonomi yang terjadi saat ini. Sebelumnya, TaniHub juga melakukan PHK karena ada perubahan bisnis. (www.kontan.co.id, 30/05/2022)
PHK massal ini disebabkan startup harus menyesuaikan diri karena perubahan model bisnis dan skema pasar. Selain itu, kondisi ekonomi yang berubah dan terjadinya resesi atau pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Dan seperti diketahui secara umum, bahwa Startup dengan bisnis yang berbasis internet mengeluarkan produk berupa aplikasi yang berbentuk digital dan jasanya beroperasi melalui website. Untuk tumbuh dan berkembang, startup butuh dana dari investor. Maka muncullah perusahaan-perusahaan modal ventura (VC) yang dibentuk untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan startup. Sebagai imbal baliknya, VC mendapatkan saham dari perusahaan startup tersebut.
Saat valuasi atau nilai perusahaan makin tinggi, perusahaan bisa dijual dengan harga yang sangat tinggi atau melakukan initial public offering (IPO) atau penawaran saham perdana ke publik dengan harga saham per lembar yang tinggi. Saat itulah perusahaan dan investor mendapat keuntungan. Permainan bisnis startup inilah yang nantinya bisa mengguncang ekonomi karena fokus investasinya pada sektor ekonomi nonriil sehingga rentan terjadi penggelembungan ekonomi, bahkan bisa pecah.
Jika terjadi guncangan di bidang ekonomi atau politik, misalnya, harga saham bisa turun drastis seketika akibat kepercayaan (trust) publik yang anjlok. Kelabilan kondisi ini yang menjadi penyebab utama mudahnya perusahaan startup melakukan PHK massal.
Kondisi ini berbalik 180 derajat dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam berfokus pada pembangunan ekonomi sektor riil dan tidak mengenal sektor ekonomi nonriil. Dengan kata lain, ekonomi nonriil bertentangan dengan sistem Islam. Hukum jual beli saham di lantai bursa saham juga haram karena di dalamnya terdapat riba dan akad syirkah yang batil.
Islam juga tidak bergantung kepada investasi asing karena hal itu bisa menjadikan ketergantungan terhadap negara lain. Apalagi jika model investasinya membahayakan kaum muslimin seperti yang terjadi pada perusahaan start up, dimana investor menguasai data kaum muslimin.
Negara juga tidak mengembangkan sektor ekonomi nonriil, karena ini artinya industri tidak menjadi prioritas dan produksi negara menjadi tidak ada. Sama saja dengan bergantung pada produk negara lain. Dampaknya, kita akan terus-menerus bergantung impor. Dengan demikian, sistem ekonomi Islam mencegah terjadinya bubble burst (penggelembungan ekonomi).
Negara akan mengembangkan tiga sektor industri, yaitu industri berat, industri strategi berbasis militer, dan di bidang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Untuk menjalankan tiga industri ini, negara harus menjadi negara berdaulat berlandaskan ideologi Islam dalam bentuk negara Khilafah Islamiah.
Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang mencakup tentang perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun distribusi. Asas sistem ekonomi Islam berdiri di atas tiga pilar, pertama, cara harta diperoleh (menyangkut kepemilikan); kedua, terkait pengelolaan kepemilikan; dan ketiga, terkait distribusi kekayaan di tengah masyarakat agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi.
Sistem ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok per individu rakyat, bukan per kapita sehingga negara betul-betul me-riayah (mengurusi) rakyatnya dengan sungguh-sungguh, tidak sekadar mencari untung untuk kepentingan segelintir orang atau swasta.
Wallahualam bi ash showab.