Oleh : Tri Silvia
(Pemerhati Umat)
Beberapa hari kebelakang isu dunia Islam dipenuhi dengan tajuk ujaran islamophobia yang dilontarkan dua orang politisi India, Nupur Sharma dan Delhi Naveen Kumar Jindal. Keduanya berasal dari partai BJP (Barathiya Janata Party), yang notebene merupakan partai penguasa sejak 2014. Berbagai macam sumber menyebutkan jika sejak BJP ini berkuasa, banyak sekali kebijakan yang menimbulkan perpecahan dan perang saudara diantara masyarakat. Terutama antara kaum Muslim dan Hindu yang memang mendominasi negara tersebut.
Kecenderungan islamophobia pun terus dihembuskan disana. Kaum muslimin yang merupakan minoritas terus saja ditekan dengan kebijakan-kebijakan provokatif. Lihatlah bagaimana seruan genosida pada kaum muslim disuarakan. Bukan dalam forum informal yang tidak merepresentasikan kehadiran negara, melainkan forum formal yang dihadiri banyak sekali politisi negara tersebut. Bagaimana bisa di forum formal semacam itu, seruan rendah soal islamophobia bisa muncul ke permukaan? Selain itu, publik pun pastinya masih ingat terkait kebijakan larangan hijab di fasilitas umum salah satunya sekolah dan perguruan tinggi.
Adapun penghinaan yang dilontarkan oleh politisi India beberapa waktu yang lalu tersebut, nyatanya langsung ditanggapi dengan serius oleh negara-negara sekitarnya. Sebutlah Irak, Iran, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Oman, Malaysia, Uni Emirat Arab, Mesir, Yordania, Afghanistan, Pakistan, Bahrain, Maladewa, Libya, Turki, Indonesia, begitupula OKI (Organisasi Kerjasama Islam), kesemuanya mengecam penghinaan yang dilakukan dan menuntut permintaan maaf dari pemerintah India terkait hal tersebut.
Sedangkan di dalam negerinya sendiri, gejolak pun tak kalah besarnya. Partai oposisi menekan pemerintah dengan keras untuk menghukum dua petinggi partai BJP tersebut, dengan alasan bahwa mereka telah merusak citra India di dunia internasional. Menteri Luar Negeri India pun dengan tegas telah menyatakan bahwa pernyataan yang keluar dari dua orang politisi tersebut tidak mencerminkan pandangan pemerintah. Lalu, BJP sendiri telah menangguhkan status keanggotaan dari Nupur Sharma dan memecat Naveen Jindal atas ucapan penghinaan yang telah mereka lakukan.
Lebih parah lagi, kerusuhan yang terjadi secara intens di tengah masyarakat nyatanya memperparah konflik yang terjadi. Belakangan diketahui, bahkan diunggah videonya ke media sosial bahwa petugas kepolisian tega menembakkan senjata tajam ke arah para pengunjuk rasa. Hal itu bahkan telah merenggut nyawa dua orang pemuda dengan nama Mudasir (14) dan Sahil (19). Selain menewaskan dua orang pemuda tadi, kejadian tersebut menyisakan 13 orang terluka parah dan dirawat di rumah sakit. (Merdeka.com, 13/06/2022)
Tak hanya tega menyasarkan timah panas ke arah pengunjuk rasa, pemerintah bahkan dengan tega nya merobohkan beberapa rumah warga ataupun tokoh yang dianggap terlibat dalam aksi demonstrasi yang tengah marak kala itu. Salah satunya menimpa politisi sekaligus pemuka agama Islam di Uttar Pradesh, Javed Ahmad. Hal itu dilakukan setelah sebelumnya diminta untuk mengosongkan rumahnya. Sontak hal tersebut mengundang banyak kecaman dari masyarakat. Belum lagi penahanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada warganya yang disinyalir terlibat dalam kerusuhan yang terjadi. Hingga saat ini, terhitung ada 300 orang yang telah ditangkap oleh pihak kepolisian. (bbc.com, 13/06/2022)
Sungguh, fenomena tersebut telah menjadi lumrah di iklim demokrasi liberal seperti saat ini. Pasalnya, semua orang merasa berhak untuk berpendapat dan bertindak sesuka hati, namun tak suka jika ada yang berusaha untuk menyerang balik mereka. Apalagi jika yang berkepentingan adalah para penguasa dan pengusaha, maka hakikat kebenaran seakan-akan milik mereka. Sebaliknya, bagi rakyat jelata yang tak punya dana ataupun usaha, maka tugas mereka hanya sekedar menerima meski badan dan harga diri diinjak bertubi-tubi. Semua hak dan kuasa dinisbikan, termasuk urusan agama yang utama.
Sungguh, kondisi saat ini jauh bertolak belakang dengan fitrah kaum muslimin. Dengan alasan efesiensi, segala hak beragama mereka dibatasi. Mulai dari hal besar semacam urusan perpolitikan dan kemasyarakatan, hingga yang kecil menyangkut urusan personal semacam hijab dan ibadah sholat. Bagaikan segerombolan ikan yang hidup tidak pada habibatnya, umat saat ini hanya bisa menggelepar tak karuan arah. Sebab tak punya pegangan yang dapat melindungi dan mengembalikan mereka pada habitatnya.
Rindu rasanya masa itu, dimana para pemimpin memegang satu prinsip yang sama, berlindung pada satu atap yang sama, mengayomi betul rakyatnya dengan penuh tanggungjawab dan kebijaksanaan. Mengawasi semua pemenuhan kebutuhan rakyatnya tanpa pandang bulu, termasuk urusan fitrah mereka sebagai muslim. Hal tersebut bukan lagi menjadi urusan personal, tapi menjadi urusan negara. Semua kekuatan akan dihimpunkan untuk menghilangkan musuh-musuh Islam yang berkomplot untuk menindas kaum muslimin, dan menghina mereka dan ajaran Islam yang mereka pegang.
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Amr bin Ash ketika menjadi Gubernur Syam kala itu. Saat itu, ada yang meminta beliau membuat patung Rasulullah SAW lantas mematahkan hidungnya sebagai ganti rugi akan terpotong nya patung Tuhan mereka. Gubernur Amr Ash pun dibuat murka karenanya, namun tetap berpikir jernih lantas berbicara untuk mengorbankan hidungnya sendiri dibanding harus menghina Rasulullah dengan membuat patung beliau.
Lalu ada pula teater yang digelar di Prancis, isi teater tersebut bercerita tentang kisah Rasulullah SAW dan menjadikan tokoh utamanya berperan sebagai Rasulullah SAW. Kala itu, Sultan Abdul Hamid lah yang berkuasa, sebagai khalifah ke-34 dari Utsmaniyah. Beliau murka lantas memanggil duta besar Prancis kemudian memberi ultimatum kepada mereka untuk menghentikan kegiatan teater tersebut dengan ancaman yang begitu menakutkan bagi mereka. Begitu besarnya kemarahan Sultan Abdul Hamid membuat akhirnya kegiatan teater itupun dibatalkan. (Republika.co.id, 27/10/2022)
Kasus penghinaan terhadap Islam, ajaran, ataupun umatnya sekalipun adalah hal yang besar bagi kekhilafahan. Mereka akan mengatasinya dengan serius disertai dengan ketegasan tindakan atasnya. Jikalaupun harus menurunkan tentara maka khilafah akan melakukannya, demi membela kehormatan Islam dan kaum muslimin. Jauh berbeda dengan hari ini, ketika umat Islam terkotak-kotak dalam banyak negara atau nation state. Mereka hanya bisa mengecam tindakan yang dilakukan dan mengancam akan memboikot produk-produk mereka. Secara kenegaraan mungkin, langkah tersebut bisa cukup berhasil untuk menarik permohonan maaf pemerintah kepada negara-negara muslim tersebut. Namun nyatanya tidak bisa melindungi kaum muslimin yang ada di bawah kekuasaan negara tersebut.
Sungguh tindakan pengecaman ataupun pemboikotan yang dilakukan, tidak akan punya dampak yang begitu besar tanpa adanya persatuan umat muslim sedunia. Hasilnya hanya akan bersifat parsial dan sementara saja, dan jelas tidak akan bisa menciptakan jera bagi mereka para pembenci Islam. Mereka akan terus melancarkan aksinya, meski hujatan ada di sana sini. Tanpa adanya hukuman yang tegas dan perlindungan atas seluruh umat muslim di dunia, maka penghinaan akan terus terjadi, berulang waktu demi waktu.
Artinya, dari kasus ini umat Islam harusnya belajar bahwa tak akan ada penyelesaian dari setiap kasus penistaan atau penghinaan, kecuali dengan adanya persatuan kaum muslimin di bawah satu panji dan satu kalimat. Laa Ilaaha illa Allah. Dimana semua umat Islam bersatu dalam satu sistem kepemimpinan, pemerintahan dan kekuasaan. Dengan satu sistem yang menjadi dasar segala kebijakan, dan menjadikan urusan kaum muslimin sebagai pusat perhatian mereka. Dakwah dan jihad menjadi dasar thoriqoh mereka dalam menyebarkan kedamaian di seluruh dunia. Itulah Islam, dengan sistem pemerintahannya yang disebut khilafah. Semoga masa itu akan segera datang. Masa saat umat Islam tidak lagi bercerai berai atas nama nation state. Melainkan bersatu dibawah panji 'Laa Ilaaha illa Allah'.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini