Oleh: Lilih Solihah.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyatakan, kebijakan penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR). "Tenaga honorer sekarang kesejahteraannya jauh di bawah UMR. Pemerintah dan DPR mencari jalan agar kompensasi tenaga honorer bisa setara dengan UMR," kata Tjahjo dalam siaran persnya, dikutip Ahad (5/6/2022).
Tjahjo menerangkan, penghapusan pegawai non-ASN atau honorer ini merupakan amanat UU No. 5/2014 tentang ASN. Penghapusan ini juga mengacu pada Pasal 96 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Padal 96 itu menyebutkan bahwa Pegawai non-ASN yang bertugas di instansi pemerintah dapat diangkat menjadi PPPK apabila memenuhi persyaratan. Pengangkatan harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun sejak PP tersebut diundangkan. (Republika.co.id, 5/6/2022).
Terlihat kebijakan pemerintah ini hanya berfokus menyelesaikan masalah penumpukan jumlah guru honorer agar tidak memberatkan tanggungan keuangan pemerintah pusat. Padahal bila dipraktikkan kebijakan ini akan berdampak ratusan ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan, menimbulkan masalah sosial ekonomi dan bahkan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah. Kebijakan ini pun mengindikasikan lepas tangannya pemerintah pusat terhadap kebutuhan sekolah thd guru dan kebutuhan akan kesejahteraan guru. Ini juga mencerminkan rendahnya perhatian terhadap nilai sector pendidikan bagi pembangunan SDM.
Kesengsaraan dan penderitaan yang dialami oleh para guru honorer, tak lain merupakan dampak dari sistem kapitalisme yang tak mampu memenuhi kepentingan dan kesejahteraan para guru, ya beginilah jika kita hidup dalam sistem kapitalisme yang menjadi akar masalah dari seluruh kesengsaraan dan keterpurukan masyarakat yang terjadi selama ini. Dan kini telah terbukti, sudah begitu banyak korban kedzaliman dalam sistem kapitalisme ini, termasuk hak para guru yang dijadikan bulan-bulanan tak mendapatkan hal yang sepatutnya untuk diterima.
Padahal guru adalah seorang pendidik yang sangat berjasa dan memiliki jiwa keikhlasan dalam mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Akan tetapi, sungguh miris pengorbanan guru dalam pandangan pemimpin kapitalisme sama sekali tak dihargai dan tak diberi balasan yang istimewa sesuai dengan apa yang para guru persembahan untuk generasi bangsa
Jauh sekali berbeda jika dalam sistem Islam, guru adalah aparatur negara. Jadi dengan itu, tidak akan ada pembeda antara guru PNS atau guru honorer, karena semua guru sama-sama dimuliakan dalam Islam. Selain itu, pemimpin dalam Islam (khilafah) memberi penghargaan tinggi terhadap para guru, termasuk memberikan gaji yang tinggi dan memuaskan.
Sejarah telah mencatat bagaimana kesejahteraan dan ketentraman guru selama 14 abad lamanya dalam kepemimpinan khilafah. Seperti pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra, beliau pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak di Madinah sebanyak 15 dinar, jika di konversi ke harga emas, maka bisa setara dengan Rp 51 juta tiap bulan.
Adapula di masa Shalahuddin Al Ayyubi, Syekh Najmuddin al-Khabusyani, misalnya yang menjadi guru di Madrasah al-Shalahiyyah, setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar untuk mengawasi wakaf madrasah, jika 1 dinar = 4,25 gram emas, maka 40 dinar = 170 gram emas, bila 1 gram emas harganya Rp800 ribu, maka gaji guru pada saat itu tiap bulannya mencapai Rp136 juta.
Kehebatan dalam sistem Islam dalam menggaji profesi guru dengan harga yang sangat fantastis ini tak perlu diherankan, karena semua itu diambil dari baitul mal yakni dari pos fai dan kharaj, Maka hanya dengan menerapkan aturan Islam secara menyeluruhlah yang bisa mensejahterkan umat terutama untuk para guru.
Wallahua'lam bissahwab.
Tags
Opini