Oleh Siti Uswatun Khasanah
(Aktivis Dakwah Pelajar)
Masih ingat dengan aksi mematikan mikrofon yang dilakukan oleh ketua DPR-RI di tahun 2020 saat rapat pengesahan UU Cipta Kerja? Ternyata hal ini kembali terjadi di tahun 2021 dan 2022 ini? Di tahun 2021, Ketua DPR RI Puan Maharani mematikan mikrofon pada Rapat Persetujuan Jenderal TNI. Anggota Komisi dari Fraksi PKS, Fahmi Alaydroes mengajukan interupsi namun Puan tidak menggubris dan mematikan mikrofon lalu mengakhiri rapat.
Yang baru-baru ini terjadi, Politisi PDIP itu kembali mematikan mikrofon saat rapat paripurna yang digelar pada 24 Mei 2022. Amin AK, salah satu anggota DPR-RI dari Fraksi PKS ketika itu meminta waktu untuk berbicara ketika Puan akan mengetuk palu untuk mengakhiri rapat. Namun Puan tidak memberikan waktu karena rapat telah berlangsung selama tiga jam, melewati 30 menit dari jadwal yang ditentukan selama pandemi dan telah memasuki waktu Dzuhur. Amin tetap meminta waktunya, setelah berbicara mengenai kejadian terkini terkait L967.
Amin kemudian menyampaikan interupsinya, dan mempersoalkan tidak adanya aturan hukum yang mengatur larangan terhadap seks bebas, dan penyimpangan seksual. Ia pun mendorong revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur ketentuan tindak pidana kesusilaan secara lengkap. Namun setelah tiga menit berbicara mikrifonnya tiba-tiba mati, Puan kembali berbicara dan menutup rapat dengan mengetuk palu. (tribunnews.com)
Fakta di atas menjadi bukti, bahwa kebebasan bersuara atau kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi yang selama ini diemban oleh negeri ini hanyalah sebuah ilusi. Jika rapat diakhiri karena aturan yang ditetapkan, namun mematikan mikrofon ketika oposisi sedang interupsi merupakan tindakan mematikan suara rakyat. Apalagi ketika argumen yang disampaikan bertentangan dengan kepentingannya.
Hal ini menjadi bukti bahwa kebebasan berpendapat itu hanya diberikan kepada orang yang sependapat dengannya. Artinya pendapat yang diterima hanya pendapat yang tidak menghambat kepentingannya. Namun, ketika pendapat yang disampaikan oleh oposisi bertentangan dengan kepentingannya maka hal inilah yang terjadi.
Kebebasan berpendapat pun biasanya hanya diberikan kepada pihak yang satu kubu dengannya, namun bila tidak satu kubu suaranya pun dibungkam.
Aksi mematikan mikrofon ini juga merupakan sikap otoriter. Pemimpin rapat membatasi pendapat yang boleh diajukan dan boleh didengar, lagi-lagi pendapat hanya sesuai dengan keinginannya semata. Jelas, bahwa penguasa dalam sistem demokrasi tidak berpihak pada suara rakyat, hanya berpihak pada pemilik modal.
Peristiwa ini pun menjadi bukti bahwa aturan hukum dalam demokrasi hanya dibuat untuk kepentingan kaum kapitalis. Hukum dalam demokrasi itu lemah, karena hukum buatan manusia ini hanya dibuat untuk kepentingan sebagian kelompok alias kelompok penguasa saja. Padahal dasar dari demokrasi itu 'dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat' nyatanya hal itu hanyalah omong kosong semata. Sesungguhnya hukum dalam demokrasi ini lemah sebab diciptakan oleh manusia itu sendiri. Demokrasi telah mencampakan aturan Sang Pencipta, meletakkan ayat konstitusi di atas ayat suci.
Maka wajar terjadi perbedaan pendapat dalam pembuatan undang-undang demokrasi, menurut pihak yang satu undang-undang ini sudah benar namun tidak bagi pihak lain. Sudah disahkan undang-undang berlaku untuk semuanya padahal satu undang-undang belum tentu cocok untuk kelompok yang lain, dengan kata lain mereka hanya mementingkan kelompoknya saja. Sehingga undang-undang dalam demokrasi lemah secara penerapan karena memang akarnya sudah lemah. Lemah karena tidak ada nilai mutlak yang dipegang. Undang-undang perlu direvisi, diamandemen dan lain sebagainya demi kepentingan kapitalis.
Menjadi wakil rakyat hendaknya selalu mendengarkan suara rakyat, tidak menutup telinga bahkan membungkan suara rakyat, namun demikian sistem demokrasi. Alih-alih menjadi wakil untuk rakyat bersuara, menjadi wadah kritik bagi rakyat malah antikritik terhadap rakyat. Kinerja yang seharusnya dijalankan untuk kepentingan rakyat dan mengurus urusan rakyat, justru bekerja hanya untuk kepentingan kelompoknya semata. Masih mau menggunakan sistem demokrasi yang lemah dan serba terbatas ini?
Dalam Islam, apabila seorang berpendapat dengan standar syari'at maka wajib didengar. Tidak ada tempat bagi pemimpin antikritik di dalam Islam, asalkan standar kritikannya sesuai syari'at bukan hawa nafsu semata. Khalifah Ummar pernah dikritik oleh seorang wanita karena membatasi mahar seorang suami kepada seorang istri, namun hal ini tidak didasari oleh dalil yang shahih. Wanita itu menunjukan Qur'an Surah An-nisa ayat 20, bahwa Allah tidak memberikan batasan atas pemberian mahar. Khalifah Umar pun beristighfat dan mengatakan "Wanita itu benar dan Umar yang salah."
Kritik yang disampaikan oleh wanita itu bukan atas dasar hawa nafsunya melainkan untuk membuka kebenaran Islam, agar kebijakan yang ditetapkan penguasa atau Khalifah Umar pada saat itu tetap sesuai dengan hukum syara'. Khalifah Umar pun berlapang dada atas kritikan yang disampaikan oleh wanita itu karena kritikan sesuai dengan hukum syara', Khalifah Umar juga teladan pemimpin yang berkenan mendengatkna interupsi sampai selesai.
Di dalam Islam, wakil rakyat disebut dengam majelis umat. Majelis umat ini bertugas melakukan muhasabah pada penguasa. Majelis umat berada di tengah-tengah rakyat dan hidup membersamai rakyat, jadi majelis umat merasakan bagaimana kebijakan yang diterapkan dan dirasakan oleh rakyat. Majelis Umat juga berwenang memberikan kritik dan saran pada penguasa, suara Majelis umat ini cerminan suara rakyat dalam sistem Khilafah. Majelis umat bukan penguasa, mereka hanya bagian dari rakyat. Tidak ada gaji untuk mereka karena bukan pegawai negara, sehingga posisinya tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak bertugas mengurus umat, hanya menjadi wadah aspirasi bagi umat dan memberikan muhasabah serta masukan kepada penguasa, posisinya benar-benar sebagai wakil rakyat.
Dasar majelis umat dengan khalifah adalah dasar yang sama yaitu syari'at Islam. Maka terjadi harmonisasi antara penguasa dengan majelis umat yakni demi tegaknya syari'at Islam secara menyeluruh.
Kedaulatan dalam khilafah hanya terletak pada syari'at Islam bukan pada penguasa ataupun pada rakyat. Syari'at Islam adalah aturan hidup yang ditetapkan Allah untuk manusia. Maka penerapan Syari'at Islam secara kafah harus benar-benar diterapkan dalam sistem khilafah. Hanya Allah sebagai Al-Mudabbir yang berhak mengatur manusia, yaitu melalui syari'at Islam. Syari'at Islam ini mutlak nilainya maka tidak ada revisi ataupun amandemen atas undang-undang yang telah sesuai syari'at karena syari'at Islam ini telah disempurnakan oleh Sang Maha Sempurna.
Syari'at Islam pun bersifat universal, mampu dilaksanakan oleh siapapun karena yang menurunkan syari'at Islam dan yang menciptakan manusia adalah Dzat yang sama. Sistem Islam tidak membuka peluang sedikitpun bagi manusia yang lemah dan terbatas untuk membuat aturan sesuai hawa nafsunya.
Syari'at Islam adalah satu-satunya solusi atas setiap permasalahan yang dialami oleh manusia. Niscaya tidak akan ada kesengsaraan yang dialami manusia dalam penerapan Syari'at Islam secara kafah ini karena penerapan syari'at Islam akan mengembalikan manusia pada fitrahnya.
Hendaknya Kaum Muslim sadar, bahwa syari'at Islam harus diterapkan di bumi Allah ini. Tinggalkan sistem demokrasi, songsong tinggi peradaban gemilang dengan khilafah.
Wallahu a'lam bisshawab.