Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd.
Telah tercantum dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam suratnya, Tjahjo meminta kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di semua instansi pemerintah untuk menentukan status pegawai non-ASN (non-PNS, non-PPPK, dan eks-Tenaga Honorer Kategori II).
Dalam surat tersebut Menteri PANRB juga menyebut bahwa nantinya status kepegawaian di instansi pemerintah hanya PNS dan PPPK. Proses penentuan status tersebut akan dilakukan paling lambat pada 28 November 2023 (Republika.co.id, 06/06/2022).
Banyak yang menyayangkan kebijakan ini, misalnya Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengkritik, rencana pemerintah terkait penghapusan status tenaga honorer pada 28 November 2023 mendatang.
Trubus mengatakan, penghapusan tenaga honorer justru akan berdampak buruk terhadap pelayanan publik. Mengingat, jumlah tenaga honorer yang tersedia di masing-masing Kementerian/lembaga pemerintah tidak sedikit.
Dengan rencana penghapusan tenaga honorer ini, maka otomatis pelayananan publik akan terganggu. Seperti penerbitan sertifikat tanah dan lain-lainnya," ujar Trubus kepada Merdeka.com di Jakarta, Jumat (3/6).
Selain pelayanan publik, penghapusan tenaga honorer justru akan berdampak buruk terhadap sektor ketenagakerjaan. Mengingat, kian bertambahnya jumlah pengangguran.
"Bisa dibayangkan ada berapa banyak nanti kan jumlah orang menganggur setelah honorer di hapus," paparnya.
Sejatinya, keberadaan honorer sangat dibutuhkan, bukan membebani justru membantu dalam percepatan layanan publik. Bahkan banyak fakta dilapangan, para honorer lebih banyak mendapatkan tugas kerja daripada ASN.
Pemerintah seharusnya mengerti bahwa keberadaan tenaga honorer yang jumlahnya cukup besar dan merata diseluruh wilayah Indonesia ini, menunjukkan kurangnya tenaga yang berstatus ASN, menunjukan ketidak seriusan pemerintah dalam mensejahterakan para tenaga kerjanya.
Tetapi, bukannya pemerintah memberi perhatian lebih kepada para honorer, pemerintah justru memandangnya sebelah mata.
Melansir keterangan resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), pada tahun 2018-2020, sebanyak 438.590 THK-II (tenaga honorer kategori II) mengikuti seleksi CASN (CPNS dan PPPK). Per Juni 2021 (sebelum pelaksanaan seleksi CASN 2021), terdapat sisa THK-II sebanyak 410.010 orang.
Itu artinya masih ada sebanyak 410.010 tenaga honorer saat ini. Jumlah THK-II itu terdiri atas tenaga pendidik sebanyak 123.502, tenaga kesehatan 4.782, tenaga penyuluh 2.333, dan tenaga administrasi 279.393 (5 Juni 2022, detik.com).
Dengan adanya keputusan itu maka Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri atas dua jenis antara lain PNS dan PPPK. Tenaga honorer akan dihapuskan dan diganti dengan sistem outsourcing.
Meski begitu, masih ada kesempatan bagi tenaga honorer mengikuti tes CPNS. Tapi tentu tidak semua dapat lulus dalam tes tersebut.
Sistem Kapitalisme Gagal Mensejahterakan Honorer
Saat musim janji kampanye, kita sering mendengar, kalau pemerintah akan mensejahterakan nasib para honorer. Namun nyatanya, semua hanya sebatas harapan kosong.
Karena dengan penghapusan status mereka, pemerintah tidak mempertimbangkan sebesar apa pengorbanan mereka, sudah berapa tahun mereka mengabdi, tanpa mempertimbangkan pekerjaan pengganti untuk lahan mencari nafkah dan tanpa mempertimbangkan kelumpuhan pelayanan publik tanpa adanya para honorer yang membantu.
Penghapusan ini sekaligus mengkonfirmasi kalau pemerintah sudah tidak mampu menggajih para honorer dan tidak bisa diharapkan lagi kelak bisa mengangkat derajat mereka.
Padahal, betapa banyak keluarga yang bergantung dari gajih dengan bekerja sebagai honorer. Bahkan sudah tidak bisa lagi mendaftar di instasi lain karena sudah terpaut usia.
Kalau sudah begini, lantas dimana tanggung jawab pemerintah?
Berbeda halnya dengan sistem Islam. Dimana tidak ada perbedaan status pekerja, sebutan pekerja ASN/PNS dan honorer tidak dikenal dalam negara islam. Semua pekerja (ajir) yang terikat akad kerja digaji sesuai dengan pekerjaan mereka tanpa memandang status dan agama. Semisal guru yang digaji 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas x 600ribu = 2.550.000 x 15 dinar = Rp. 38.250.000/bulan) tanpa memandang guru tersebut sertifikasi atau non sertifikasi. Waallahu a'lam.