Oleh: Ita Mumtaz
Barang-barang kebutuhan pokok rakyat naik drastis. Minyak goreng, Bahan Bakar Minyak, iuran BPJS, tarif dasar listrik, berbagai pajak, barang-barang retail, dan lain-lain. Hal ini bertentangan dengan pernyataan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalahkan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju saat pandemi menerjang dunia.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa kebijakan menaikkan tarif listrik golongan 3000 VA ke atas sudah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo dalam sidang Kabinet dan juga telah disetujui oleh Badan Anggaran (Banggar) pada rapat paripurna DPR RI Kamis (19/05/2022).
(CNBCIndonesia.com, 20/05/2022)
Melihat fakta menyedihkan ini, Direktur Riset Center Of Reform On Economics (CORE) Piter Abdullah menilai kenaikan tarif dasar listrik untuk golongan 3000 VA ke atas akan menyebabkan inflasi ke depan, masyarakat miskin akan menerima dampak tak langsung dari kenaikan tarif listrik tersebut. (JPNN.Com, 22/05/2022)
Alasan pemerintah menaikan TDL bagi pelanggan 3000 VA ke atas karena mereka tergolong masyarakat mampu. Jadi pemerintah perlu dibantu oleh orang-orang kaya. Sungguh aneh ketetapan pemerintah tentang pembayaran listrik ini. Bukankah listrik adalah kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi oleh negara? Jike pemerintah minta bantuan kepada rakyat, lalu di mana peran negara dalam mengayomi dan menyejahterakan rakyat?
Dalam Islam memang ada semacam pungutan yang dibebankan atas orang-orang kaya saja dalam kondisi tertentu. Namun hanya bersifat sementara dan bukan menjadi sumber utama pemasukan negara. Itu pun untuk dikembalikan kepada kepentingan rakyat. Negara tidak memanfaatkan dan memeras keringat rakyat untuk kepentingan oligarki seperti saat ini.
Belum lagi dampak serius yang akan terjadi akibat kenaikan harga-harga, yakni inflasi. Industri akan gulung tikar karena tingginya biaya operasional akibat lonjakan tarif listrik. Daya beli jelas akan turun dan roda perekonomian melemah. Tidak ada beda antara konsumen nonsubdisi dan subsidi, semua akan tertimpa dampak.
Dalam Islam, negara adalah pengayom umat. Negara yang memiliki amanah untuk mengawal kesejahteraan rakyat. Bukan malah memalak rakyat dengan menarik berbagai pungutan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, rakyat yang sudah kesulitan mencari nafkah harus dibebani dengan iuran pajak dan pembayaran listrik dan lain-lain yang berkaitan dengan kebutuhan hidupnya.
Demikianlah dalam sistem kapitalisme, negara justru berbisnis dan mencari keuntungan dengan memanfaatkan rakyat yang membutuhkan. Negara senantiasa memperhitungkan untung dan rugi dalam melayani kebutuhan rakyat.
Sebenarnya liberalisasi listrik yang diadopsi oleh negara kapitalime sangat bertentangan dengan Islam. Karena listrik adalah energi milik umum yang harus diberikan kepada rakyat secara gratis. Namun dalam sistem kapitalisme, listrik justru diprivatisasi dengan disahkannya UU ketenagalistrikan No.20 Tahun 2002. UU ini mengatur soal unbundling vertikal sehingga membuka ruang bagi swasta untuk mengelolanya. Dari sini maka peran pemerintah tak lain hanya sebagai regulator.
Padahal Indonesia adalah negera kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah, seperti minyak bumi dan gas. Namun semua itu hanya bisa dinikmati oleh para pemilik modal dan oligarki yang berkolaborasi dengan penguasa untuk merampok kekayaan milik rakyat.
Saatnya kembali kepada sistem ekonomi Islam yang akan mengembalikan kekayaan rakyat kepada pemilik sejatinya. Sehingga energi listrik gratis untuk rakyat bukan hanya impian. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Tags
Opini