Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese dijadwalkan akan melawat ke Indonesia pada 5-7 Juni. Kunjungan tersebut menjadi lawatan resmi pertama kepala pemerintah negara kanguru ke-31 itu ke luar negeri setelah terpilih pada Senin, 23 Mei 2022.
Direktur Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri Santo Darmosumarto dalam jumpa pers, Kamis (2/6/2022), mengatakan kunjungan resmi Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Indonesia tersebut menunjukkan arti penting dari perjanjian kemitraan strategis komprehensif yang ditandatangani kedua negara pada 2018.
Dia menambahkan pemimpin dari Partai Buruh ini direncanakan mengadakan pembicaraan dengan Presiden Joko Widodo pada Senin, 6 Juni 2022. Pertemuan pemimpin kedua negara terakhir kali diselenggarakan pada Februari 2022 di Ibu Kota Canberra, Australia.
"Dalam pertemuan tersebut diharapkan kedua pemimpin berfokus pada upaya penguatan kemitraan ekonomi antara kedua negara, terutama dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi, pemulihan secara umum pasca pandemi (Covid-19). Terdapat juga kemungkinan kedua pemimpin akan mengangkat isu-isu yang menjadi perhatian bersama di tingkat regional ataupun tingkat global," kata Santo.
Sekalipun kunjungan bilateral tersebut menghasilkan kerjasama baru di bidang strategis, seharusnya pemerintah juga tidak boleh kendor membahas terkait Papua dengan penguasa negeri kangguru itu.
Keduanya diperkirakan akan membahas Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang ditandatangani pada tahun 2020.
IA-CEPA adalah perjanjian komprehensif berdasarkan empat pilar kepentingan termasuk ekonomi, kemanusiaan, keamanan dan kerja sama maritime.
Dilansir dari laman Greenleft, awalnya Selandia Baru dan Australia mendukung Belanda untuk tetap bercokol di Papua. Selandia Baru dan Australia melihat Papua sebagai kepentingan strategis untuk mempertahankan kolonialisme sebagai daerah penyangga potensi serangan dari arah Utara. Dengan kata lain mereka ingin Papua tetap menjadi sekutu Barat. Meski demikian hal tersebut urung terlaksana karena Papua telah menjadi bagian dari NKRI.
Menurut analisis Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institut (GFI) pada laman The Global Review, tulisannya yang berjudul "Amerika-Inggris-Australia-Belanda, Mata Rantai Gerakan Internasionalisasi Untuk Papua Merdeka," seolah menyibak tabir adanya kepentingan asing dibalik masalah yang terjadi di wilayah Papua.
Fakta pembahasan perjanjian bilateral dua negara tersebut maupun kisruh yang terus berkelanjutan di Papua sejatinya menggambarkan arah orientasi kepemimpinan saat ini. Orintasi tersebut begitu kental dengan asas manfaat, terutama di bidang ekonomi, investasi, pendidikan, serta kesehatan yang bisa menghasilkan keuntungan.
Lain halnya masalah Papua yang membutuhkan kedaulatan mutlak, Papua sudah lama hidup dalam kolonialisasi modern. Seperti liberalisasi UU yang membuat tambang emas Freeport dimiliki asing. Maupun Gerakan Papua Merdeka yang mendapat support dari luar negeri termasuk Australia.
Orientasi kepemimpinan seperti itu menunjukan ciri khas dari kepemimpinan sistem kapitalisme. Maka bisa dikatakan, sistem kapitalisme-lah perongrong kedaulatan bangsa dan penyebab abainya negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat khususnya warga Papua.
Sangat berbeda dengan sistem Islam Khilafah yang berdiri di atas landasan aqidah Islam. Dalam Islam, negara diposisikan sebagai periayah (pengurus) dan junah (perisai).
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya,"(HR. al-Bukhari).
"Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya,"(HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Dari hadis tersebut, Khilafah akan menjamin kesejahteraan rakyatnya maupun melindungi warganya dari intervensi asing. Untuk menjamin kesejahteraan rakyat, Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Khilafah akan mengatur pola produksi, distribusi, dan konsumsi kebutuhan rakyat bisa tercukupi. Sistem ini pula yang menjamin ketersediaan pelayanan umum seperti pendidikan bisa dirasakan setiap warga negara Khilafah secara gratis. Pelayanan kesehatan bisa merata dengan kualitas terbaik. Sektor pendidikan akan mampu menghasilkan tenaga terdidik bersaksiyah Islam dan ahli ilmu pengetahuan. Keamanan rakyat terjamin, karena tidak ada penyadapan maupun intervensi asing.
Sistem ekonomi Islam menjamin negara terlibat langsung untuk memastikan lapangan pekerjaan cukup untuk setiap laki-laki yang menjadi kepala keluarga.
Sistem ekonomi Islam juga melarang sumber daya alam seperti Freeport dikuasai asing, karena SDA termasuk harta kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya diberikan kepada rakyat baik langsung berupa subsidi ataupun tidak langsung berupa jaminan fasilitas umum.
Dan perlu diketahui, Khilafah mampu mewujudkanya tanpa harus bekerja sama dengan negara lain. Khilafah adalah negara mandiri yang memanfaatkan setiap potensi wilayah kekuasaannya. Pasokan bahan bisa didatangkan antar wilayah Khilafah.
Sebagai contoh, ketika masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab terjadi wabah di Syam. Penyediaan bahan makanan di daerah itu didatangkan dari wilayah Mesir dan Irak. Kemandirian tersebut tidak lepas dari penerapan Islam secara kaffah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan yang menjadikan Khilafah berhasil menjadi negara adidaya.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini