Oleh : Ummu Hafidz
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Bantuan sosial atau bansos yang semestinya jadi jaring pengaman masyarakat kala pandemi merebak, justru malah banyak yang tak tepat sasaran. Hal ini diungkapkan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester II tahun 2021. Penyaluran Bansos yang tak sesuai ketentuan mencapai Rp. 6,93 Triliun. Tak cuma itu, Kartu Prakerja yang menjadi program stimulus sekaligus pelatihan, juga terdapat pemborosan anggaran hingga mencapai Rp. 298,85 Miliar. (www. kumparan.com)
Alasan utama permasalahan tersebut adalah kesalahan dalam integrasi data. Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa keluarga miskin yang benar-benar kekurangan justru belum tersentuh bantuan sosial ini. Padahal Pandemi masih berlangsung hingga sekarang dan kerap mengakibatkan banyak warga terdampak. Seperti mulai kepada keluarga yang terkena PHK, anak-anak yang terancam putus sekolah, hingga bencana kelaparan yang di rasakan oleh keluarga yang tidak terdata sebagai penerima Bansos. Padahal justru merekalah yang perlu perhatian khusus dari pemerintah.
Selain bansos, BPK juga menemukan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) tidak terdistribusi dan KPM tidak bertransaksi bansos PKH dan Sembako/BPNT dengan nilai saldo yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp1,11 triliun. Sungguh Ironi, dana yang tidak sedikit digelontorkan pemerintah dalam upaya memberantas kemiskinan justru tidak tepat sasaran. Selain mengakibatkan kemiskinan makin merajalela, hal tersebut juga menyulut peningkatan tindak kejahatan yang terjadi di Indonesia.
Pada sistem demokrasi kapitalisme saat ini, penghasilan yang didapatkan negara berasal dari pajak yang diambil secara paksa dari rakyat. Negara tidak lagi memilah rakyat mana yang seharusnya membayar pajak, sehingga rakyat kecil pun dengan penghasilan yang sangat minim tetap diwajibkan untuk membayar pajak, guna membantu keuangan negara. Untuk memenuhi pemasukan negara saja, rakyat harus ikut menyumbang.
Penghasilan yang didapatkan negara dengan cara menarik pajak justru menambah kesulitan masyarakat dan tidak memberikan dampak baik dalam pengurusan terhadap rakyat. Masih banyak didapati rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal, tidak bisa makan dalam jangka waktu panjang, mati kelaparan, tindak kekerasan yang terjadi demi pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Alhasil, masalah tidak hanya berhenti pada kebutuhan pangan saja, tapi merembet kepada permasalahan lain. Hal ini di sebabkan, abainya negara terhadap kondisi masyarakat dan hanya terfokus kepada masyarakat bermodal, yang bisa menambah pemasokan keuangan negara.
Maka wajarlah jika terjadi kesalahan dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Sebagaimana pada fakta di atas, bagaimana bisa negara sampai lalai dalam pendataan rakyatnya padahal hal ini sangat penting untuk mengetahui kondisi masyarakatnya. Sudah pemasukan keuangan negara terbesar berasal dari pajak rakyat, namun penyaluran dana bantuannya masih terjadi kesalahan, bukankah ini bentuk dari kesalahan negara dalam pengeluaran serta pengelolaan harta negara?
Setiap individu rakyat pasti menginginkan pengelolaan ekonomi oleh negara yang berkeadilan dan mensejahterakan. Hal tersebut tak akan pernah didapatkan apabila negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Karena sudah dari akarnya, kapitalisme menumbuhkan bibit kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi sistemik.
Sunnatullah adanya perbedaan kemampuan fisik dan akal level individu dalam akses ekonomi. Perbedaan ini tentu saja akan menyebabkan adanya ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Sehingga syariat Islam mewajibkan negara melakukan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat (QS. Al Hasyr ayat 7). Dengan kebijakan ini dapat mempersempit bahkan mengatasi ketimpangan ekonomi antara si kaya dan miskin.
Mekanisme distribusi kekayaan ini dilakukan melalui beberapa instrumen. Pertama, adanya filantropi Islam berupa zakat, infaq, sedekah dan wakaf oleh individu yang mampu, yang bernilai ibadah. Sasaran pemberiannya pun sudah ditentukan dalam Al-Qur'an dan hadis yaitu fakir, miskin, orang yang berhutang, memerdekakan hamba sahaya, dan lain sebagainya.
Kedua, adanya diwaanu al ‘athaai (seksi santunan) dalam baitul mal. Seksi ini mengurusi santunan negara kepada rakyat yang membutuhkan. Baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari (seperti fakir, miskin, orang yang berutang, orang yang lemah fisik dan sebagainya) atau modal pengembangan ekonomi (seperti para petani, peternak, pemilik industri, dan sebagainya). Santunan ini diberikan secara cuma-cuma tanpa kompensansi balik kepada negara.
Ketiga, adanya diwaanu ath-thawaari (seksi urusan darurat/bencana alam) dalam baitul mal. Seksi ini mengurusi bantuan negara kepada rakyat khusus kondisi darurat/bencana alam mendadak. Seperti gempa bumi, banjir, angin topan, tsunami, termasuk terjadinya wabah penyakit menular seperti sekarang. Karena dalam kondisi darurat/bencana alam yang diperhatikan adalah keselamatan jiwa rakyat. Bantuan ini tak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama bencana tapi juga untuk rekonstruksi pasca bencana.
Instrumen-instrumen ini tak hanya potensial bagi negara dalam mengatasi kemiskinan, tapi juga untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Adanya ketiga instrumen ini menunjukkan bahwa negara memiliki instrumen pokok yang siginifikan menjamin pemerataan ekonomi rakyat. Karena pemenuhan kebutuhan setiap rakyat adalah kewajiban negara. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari:
"Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."
Kita juga perlu belajar dari sejarah, bagaimana seorang Pemimpin Muslim, Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mampu mensejahterakan rakyatnya hingga tidak ada satu pun warganya yang berhak menerima zakat. Beliau bahkan selalu terjun langsung ke seluruh wilayah dalam membagikan bantuan bagi warga miskin, sehingga tidak ada indikasi salah sasaran dalam pemberian program bantuan. Hal ini yang perlu diterapkan dalam sistem saat ini, terutama dalam memastikan bahwa bantuan sosial bagi masyarakat miskin tepat sasaran. Hal itu hanya bisa diraih dengan menerapkan Islam secara utuh dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini