Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Pelaksanaan ibadah haji, tidak pernah sepi dari Pernik pemberitaan. Dan yang cukup membuat miris adalah senantiasa ada permasalah yang muncul. Padahal sudah berpuluh – puluh tahun pemerintah kita menyelenggarakan ibadah haji. Sehingga ini bisa menjadi tambahan beban mental khususnya bagi para calon jama’ah. Tak terkecuali tahun ini, 2022. Kurang dari sepekan pemberangkatan jemaah haji ke Tanah Suci, persoalan besar muncul. Biaya haji membengkak signifikan. Nilainya mencapai Rp 1,5 triliun. (www.jawapos.com, 22/05/2022)
Kekurangan biaya tersebut tidak terlepas dari kebijakan Kerajaan Arab Saudi pada musim haji 1443 H/2022 yang menaikkan harga paket layanan di masyair, baik Arafah, Muzdalifah, maupun Mina (Armuzna). Kebijakan tersebut berdampak terhadap adanya penambahan biaya bagi jemaah haji Indonesia.
Dan sebagaimana yang dirilis gelora.co pada 31 mei 2022, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta tambahan anggaran kepada Komisi VIII DPR RI terkait operasional haji reguler dan khusus pada pelaksanaan haji tahun ini. Lebih dari Rp1,5 triliun diminta dalam rapat kerja bersama dengan Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan.
Tanpa melalui proses yang panjang, DPR menyetujui penambahan biaya dana haji yang akan ditomboki pemerintah. DPR dan Kemenag sepakat kekurangan dana haji akan dibebankan pada dana efisiensi haji 2014-2019. (www. kumparan.com, 31/5/2022).
Adalah menjadi rahasia publik, bahwa Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) telah menginvenstasikan dana haji dalam bentuk sukuk, deposito, dan bentuk-bentuk lain. Akumulasi dana hingga 2021 telah mencapai Rp158,88 triliun. Alasan investasi adalah untuk menyubsidi biaya penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun. Dana yang dikelola BPKH merupakan setoran awal jemaah haji reguler Rp25 juta dan US$4.000 bagi haji khusus.
Namun yang kemudian juga menjadi tanda tanya besar bagi publik adalah hasil investasinya? Kenapa saat jumlah akumulasi jama’ah semakin banyak (artinya uang yang diinvestasikan semakin besar) dan adanya penundaan pemberangkatn calon jama’ah akibat pandemi, justru BPKH kekurangan biaya? Bukankah seharusnya sudah bisa diprediksi, jika aka nada kenaikan biaya ibadah haji di tahun ini? Bukankah karena ini uang jama’ah dibawa ke dunia investasi?
Hal ini mengonfirmasikan pada publik bahwa BPKH sebagai pengelola keuangan haji masih asal-asalan mengelola dana dan berada di bawah kepemimpinan pemerintahan kapitalis yang tidak serius mengurusi segala urusan rakyat.
Menanggapi kondisi ini, Sekjen HIMPUH, M.Firman Taufik menyatakan bahwa, upgrade fasilitas seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Saudi sebenarnya tidak begitu diperlukan. Mengingat masa tinggal di Arafah dan Mina relatif singkat, hanya empat hari. Apalagi Indonesia telah mengurangi kuota jemaah haji menjadi 100.051 jemaah, artinya berkurang hampir 50% sehingga tidak dibutuhkan penambahan fasilitas baru, mencukupi dengan yang sudah ada. (www. bbc.com, 2/6/2022).
Adapun Ketua Komnas Haji dan Umroh, Mustolih Siradj, mengkhawatirkan bahwa tambahan biaya sebesar Rp1,5 triliun akan berpengaruh pada neraca keuangan haji yang dikelola BPKH. Serta berimbas pada nilai manfaat atau imbal hasil yang diterima calon jemaah tunggu. Ia pun mengkhawatirkan subsidi dana haji yang makin besar justru menjadi “bom waktu” pengeluaran haji. Besar subsidi mencapai Rp90 juta per jemaah, dengan kata lain bisa saja akan terjadi kenaikan biaya haji pada tahun berikutnya dan menalangi kekurangan dana seperti halnya tahun ini.
Hal itu disebabkan uang hasil kelolaan haji tersedot untuk menyubsidi penyelenggaraan ibadah haji pada tahun berjalan. Dengan kata lain, “pemerintah gali lubang tutup lubang” untuk mendanai pembiayaan haji. Parahnya lagi, meminta penambahan biaya dengan berbagai alasan baru disampaikan pada akhir Mei. Sementara keberangkatan jemaah haji reguler akan dimulai tanggal 4 Juni 2022.
Inilah gambaran pengelolaan dana haji dalam sistem kapitalis. Berbeda halnya dengan Islam. Paradigma yang dibangun mengurusi penyelenggaraan haji ialah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummah. Tidak akan ditemukan paradigma bisnis, untung dan rugi, serta menggunakan dana haji untuk bisnis, investasi dan sebagainya.
Khilafah berupaya dengan segala cara mengoptimalkan sumber pendapatan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Prinsip Khilafah ialah menjamin segala kebutuhan rakyat dengan efektif, efisien, dan penuh tanggung jawab.
Menyiapkan seluruh sarana dan prasarana yang dibutuhkan jama’ah, mengelola keuangan haji dengan hati-hati dan sangat cermat. Pembiayaan haji tidak menyusahkan jemaah, dan pelayanan berkualitas diberikan kepada mereka. Negara memenuhi kebutuhan rombongan, memastikan keamanan, dan keselamatan mereka. Tentu semua ini hanya mungkin jika didukung oleh sistem ekonomi Islam dan juga sistem Islam yang lainnya. Dan semua itu hanya ada pada sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah. Wallahualam.