Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Sejumlah perusahaan rintisan atau start-up yang cukup dikenal di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan.
Beberapa di antaranya adalah LinkAja hingga Zenius.
Adapun fenomena PHK massal ini disebut disebabkan karena Indonesia masih terguncang kondisi makro-ekonomi selama masa pandemi Covid-19.
Berdasarkan fenomena itu, apakah kondisi ini termasuk fenomena Bubble Burst?
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan, fenomena PHK massal yang terjadi di sejumlah startup di Indonesia dalam waktu berdekatan ini bisa dibilang sebagai bubble burst.
"Ini masuknya banyak, dia (para startup) ini menggelembung besar kemudian pecah dan hilang," ujar Didik saat dihubungi Kompas.com, Minggu (29/5/2022).
Menurut dia, kondisi startup di Indonesia sebelum pandemi dan saat pandemi cukup kontras.
Sebelum pandemi, para perusahaan ini membesar atau secara instan merekrut banyak karyawan untuk membangun perusahaan.
"Hilangnya start-up ini atau dipangkasnya jumlah karyawannya ini seperti kunang-kunang, datang sebentar, besok bisa hilang," lanjut dia.
Fenomena bubble burst seperti gelembung yang ditiup membesar, lalu kemudian 'plop!' sekejap meletus. Itulah yang terjadi pada startup hari ini. Startup tumbuh sangat pesat, namun mengalami kejatuhan yang cepat pula.
Di Indonesia sendiri, beberapa startup besar telah mem-PHK ratusan karyawannya. Di antaranya adalah edu-tech Zenius, furnitur Fabelio, platform pertanian Tani Hub, fintech landing Uang Teman, e-commerce JD.ID, dan aplikasi pembayaran LinkAja. Bahkan beberapa startup ada yang telah gulung tikar, misalnya Airy Rooms, Stoqo, Qlapa, dan Sorabel.
Penyebab dari fenomena kebangkrutan startup ini adalah pendanaan yang sulit. Hal itu terjadi karena Startup bergantung sepenuhnya pada pendanaan pihak luar melalui fundraising, private placement, sampai pinjaman, dan investasi. Sebagai imbal baliknya, investor mendapatkan saham dari perusahaan startup tersebut. Setelah mendapat dana dari investor, startup mengembangkan perusahaan secara instan tanpa melalui proses yang organik dan merekrut karyawan dalam jumlah besar. Inilah saat-saat booming startup. Mereka rela jor-joran mengembangkan modal demi menggaet pengguna.
Sayangnya, di tengah euforia itu tiba-tiba terjadi situasi tak terduga. Adanya gelombang pandemi menerjang perekonomian hingga terjadi resesi yang kemudian menyebabkan turunnya harga saham. Perubahan perilaku investor ini mempengaruhi keberlanjutan perusahaan startup dan berujung pada kebangkrutan.
Fenomena merugikan ini pun menjadi hal yang wajar dan akan terus menerus terjadi di sistem kapitalisme dengan penerapan ekonomi nonriilnya. Dalam sektor ekonomi nonriil, uang yang tadinya hanya sebagai alat tukar menjadi komoditas yang diperdagangkan. Sektor nonriil ini dikembangkan oleh negara-negara kapitalis untuk melakukan investasi secara tidak langsung, yaitu melalui pasar modal dengan membeli saham-saham yang ada di pasar modal.
Keuntungan ekonomi tidak diperoleh dari kegiatan investasi produksi barang dan jasa. Keuntungan itu diperoleh melalui investasi spekulatif dalam sektor nonriil. Termasuk juga bunga yang diberikan bank. Uang banyak diputar di sektor nonriil namun mengambil keuntungan di sektor riil dengan menarik bunga. Para pelaku usaha sektor riil yang mengambil pinjaman di perbankan menjadi sasaran untuk “diambil” keuntungannya “dibagikan” kepada sektor nonriil sebagai profit share para nasabah penabung.
Jelas dengan semua fakta kerusakan dan kerugian yang terjadi seharusnya membuat kita tersadar akan kecacatan sistem kapitalisme. Sistem ekonomi yang aturan-aturannya berakibat menciptakan masalah baru dan tidak mampu mensejahterakan manusia. Lantas, mengapa sistem ini masih diadopsi secara luas dan dipertahankan oleh negara-negara dunia?
Padahal bagi kaum Muslim yang sadar, Allah Swt telah merunkan kepada manusia suatu petunjuk yang jelas serta menyangkut seluruh pengaturan kehidupan kita, termasuk untuk mengatur ekonomi. Itulah sistem Islam, yang juga meliputi sistem ekonomi Islam sudah seharusnya diterapkan dalam kehidupan. Namun fakta menunjukan sebaliknya, negeri-negeri Muslim tetap mempertahankan sistem ekomomi kapitalis yang senantiasa menjadikan kita berada dalam masalah. Terus-menerus menjadi pasar empuk sekaligus konsumen produk-produk asing yang menjadikan kita negara pengekor jauh dari kata kedaulatan dan kemandirian.
Sementara sistem Islam dalam hal pengaturan ekonomi, hanya bertumpu pada sektor riil, seperti pertanian, pertambangan, perdagangan, dan jasa. Negara maupun swasta haram mengembangkan sektor ekonomi nonriil. Bisnis Islam harus selalu memperhatikan syariat-syariat muamalah tanpa kecuali. Sehingga otomatis riba, saham, pasar modal, fiat money dan crypto currency akan ditinggalkan sama sekali. Dengan pengaturan ini fenomena bubble burst tidak akan mungkin terjadi.
Islam memberikan aturan pengelolaan sumber daya alam sebagai kepemilikan umum untuk pembangunan negara dan mencukupi seluruh kebutuhan rakyat baik kebutuhan pokok maupun kolektif. Negara wajib meriayah rakyat dengan amanah karena konsekuensi iman dan kesadarannya akan pertanggungjawaban di akhirat kelak.
"Dan sekali-kali Allah tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman",(Qs.An-Nisa : 141).
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini