Oleh : Mira Sutami H ( Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik )
Jumlah kasus kriminal di negeri ini kian hari kian bertambah. Banyak upaya dilakukan untuk menekan angka kriminal namun tak menemukan solusi yang tepat. Hal itu terbukti hotel prodeo selalu penuh sesak dengan para pelaku kriminal baik yang ringan maupun berat. Dengan membengkaknya jumlah napi tersebut juga merupakan beban bagi negara tentunya. Untuk mengurangi jumlah penghuni hotel prodeo maka pihak Kejagung telah menghentikan 1.070
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice itu diterapkan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya ringan, sesuai Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan restorative justice.
Berdasarkan survei penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM sebesar 85,2% responden mendukung penerapan pendekatan keadilan restoratif untuk menghentikan perkara pidana yang tidak perlu serta kejahatan yang sifatnya ringan. Fadil menjelaskan mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, masyarakat menuntut reformasi serius dalam praktik penegakan hukum yang cenderung berfokus pada pembalasan dengan pemenjaraan, daripada memulihkan keadilan justice.
Penerapan praktik keadilan restoratif diharapkan membawa konsekuensi mengurangi napi di lembaga pemasyarakatan. Menurut Fadil, ada 3 pendekatan poin penting yang perlu diperhatikan. Pertama keadilan restoratif mesti memperkuat kohesi sosial antara anggota masyarakat. Kedua, memotivasi kejaksaan untuk terlibat dalam tujuan keadilan, yaitu pemulihan, bagi mereka yang membutuhkannya. Ketiga, penerapan proses keadilan restoratif akan mendorong pelaku untuk merenungkan aktivitas yang salah dan kerugian yang ditimbulkannya termasuk bagaimana ia harus merehabilitasi dirinya. (news.detik.com,23/ 5/2022)
Sangat disayangkan sebenarnya kebijakan dari pihak Kejagung tersebut yang berupaya untuk mencabut tindak kriminal yang dianggap ringan secara masal. Karena malah akan meresahkan masyarakat. Bagaimana tidak sebelumnya adanya sanksi untuk kasus kriminal saja angka kriminal semakin meningkat tiap harinya apalagi bila kriminal ringan dicabut secara masal. Tentu bisa dibayangkan bagaimana keadaan masyarakat pasti akan muncul huru - hara pastinya.
Alasan penuhnya penjara menunjukkan bila negeri ini tidak memiliki sumber sanksi yang jelas sehingga kejahatan semakin bertambah dan bertambah. Sehingga wajar bila menjadi beban negara setelah penjara makin penuh karena pembiayaan napi yang begitu banyak. Seharusnya ketika sumber sanksi jelas dan tegas tidak semua tindak kejahatan sanksinya adalah dipenjara maka Kejagung tidak usah mengeluarkan restorasi keadilan agar meringankan beban negara. Sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku kejahatan memang sangat didambakan umat saat ini.
Selain itu kebijakan tersebut juga membahayakan karena bisa menjadi peluang perbuatan curang. Karena para pelaku tindakan kriminal berat bisa mencari celah untuk mendapat hukuman ringan tersebut. Hal itu bisa terjadi karena bukan rahasia umum dalam sistem kapitalis uang sering kali berbicara. Bukan lagi hukum yang berbicara. Dengan begitu maka akan semakin meresahkan, sehingga bisa jadi mosi tidak percaya terhadap hukum dari masyarakat akan semakin tinggi.
Nah, itulah fakta bahwa sistem kapitalis sekuler itu telah gagal dalam menangani masalah kriminal. Terlihat jelas bahwa hukum sanksi yang diterapkan tak mampu memberantas angka kriminal namun malah menyuburkan perbuatan kriminal dan kejahatan lainnya. Maka umat sesungguhnya membutuhkan suatu sistem yang adil. Dimana sanksi yang diterapkan akan mampu memberantas kejahatan apapun bentuknya.
Sistem tersebut harus berasal dari wahyu sang pencipta tentunya. Sistem Islam tentu jawabannya. Sanksi dalam Islam itu sangat tegas tidak pandang bulu. Setiap perbuatan yang melanggaran aturan Allah pasti ada sanksinya baik itu perkara ringan maupun berat. Hukum Islam juga tidak berpihak pada yang kuat saja tapi sangat adil. Karena dimata Islam tiap individu berhak mendapatkan jaminan keamanan dari negara. Jadi pelaku kejahatan baik yang lemah maupun yang kuat, yang kaya atau miskin bila melakukan tindak kejahatan ya pasti mendapatkan sanksi yang sama.
Sanksi dalam bukan hanya hukuman penjara saja namun disesuaikan dengan berat dan ringannya tindak pelanggarannya. Semisal mencuri dengan takaran yang telah ditentukan syariat maka akan diberi sanksi berupa potong tangan. Bila seseorang berbuat zina misalnya maka bila dia telah menikah maka akan dirajam dan bila belum menikah maka akan dicambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Namun jangan salah kenapa hukum Islam sepertinya sangat berat sekali karena hukum Islam mempunyai dua fungsi pertama mencegah dari tindakan yang sama. Yang kedua sebagai penebus sehingga ketika di dunia sudah mendapatkan sanksi maka diakhirat dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban lagi. Dengan begitu maka angka kejahatan dan kriminalitas dengan mudah dapat berkurang bahkan bisa jadi tak ada kasus kejahatan sama sekali di suatu negara.
Namun, penerapan hukum yang seperti itu tidak akan bisa terwujud tanpa institusi yaitu khilafah. Bila umat menginginkan keadilan maka harusnya ada institusi khilafah. Namun sayang institusi tersebut saat belum ada. Maka umat lah yang seharusnya berkewajiban untuk memperjuangkan tegaknya khilafah. Apalagi sekarang ini jumlah muslim sangat besar namun karena tidak ada pelindung maka keadilan tak didapat. Bahkan umat lemah tanpa khilafah.
Wallahu a'lam bish shawab